“Tumben nongol,” kata saya kepada seorang teman yang lama tidak bertemu karena komunikasi kami cukup melalui obrolan chat.
“Kalau tidak nongol dicari. Begitu sudah nongol, ditumben-tumbenkan!”
Saya tertawa. “Tumben nongol begitu saja. Biasanya kirim kabar dulu,”
“HP saya amoh. Kata tukang service, Hpnya bootloop.”
“Apa itu?”
“Mboh ra ngerti aku. Pokoknya HP begitu menyala, mati lagi, menyala lagi, mati lagi!”
“Enak itu, bisa mati hidup berulang kali.”
Kawan saya tambah bersungut-sungut. “Tidak begitu. Mati hidup, mati hidup, mati berulang kali untuk hidup lagi tepat untuk memenuhi keinginan manusia. Cita-cita hampir semua manusia adalah kalau perlu tidak usah ada mati. Hidup selamanya. Kalaupun ada kematian hendaknya ada kehidupan. Itupun kehidupan dunia saja bukan kehidupan akhirat.”
“Soal HP bootloop jadi begitu panjang pembahasannya?”
“Kamu jangan memancing saya terus. Lagi jengkel ini!”
“Jengkel kenapa?”
“Gusti Pengeran! Jengkel HP saya error sejak dua hari lalu!”
Saya tertawa lagi. Lebih keras.
“Lihat, kamu tertawa-tawa begitu karena senang melihat saya menderita. Iya kan?”
“Jadi kamu dibuat menderita oleh HP error?”
“Sangat, sangat menderita. Pekerjaan terbengkalai. Email tidak terbaca. Koordinasi dengan teman-teman putus seketika. File yang mestinya terkirim jadi tidak jelas kapan dikirim. Saya benar-benar linglung. Tidak tahu harus berbuat apa.”
Semoga apa yang terjadi pada kawan saya bukan sejenis social media anxiety disorder. Gangguang kecemasan akibat terlalu lekat dengan gawai yang menimbulkan dampak psikis kepada pelakunya.
Seorang praktisi meditasi, Adji Silarus, menyarankan agar kita puasa gawai sedikitnya dua hari untuk mendetoksifikasi “racun-racun” digital dalam diri. Mendaur ulang sampah-sampah dari dunia maya. Terlalu lekat dengan gawai, menurut Aji, akan mendistraksi kita dari aktivitas harian yang sedang kita kerjakan di dunia nyata. Tidak sedikit kasus seseorang merasa kesepian dan tidak puas dengan dirinya akibat terlalu aktif di media sosial. Ia pun kehilangan dirinya yang otentik.
Apabila dihubungkan dengan semangat kemerdekaan RI, diam-diam kita sedang “dijajah” oleh pasukan dari dunia maya. Sedikit-sedikit lihat HP. Sedikit-sedikit baca WA. Sedikit-sedikit ngecek email. Hanya sedikit, hanya sekilas, tapi selalu berulang tidak lebih dari semenit.
Menjalani hidup, bertatap muka dengan kawan, mengikuti rapat, menerima tamu cukup kita hadirkan sebagian dari kesadaran kita, sedangkan sebagian dari kesadaran yang lain mengintip-intip, mencuri-curi, melihat sekilas-sekilas kehidupan di dunia maya.
Dunia maya, mengapa kita menyebutnya maya? Barangkali “realitas” yang terjadi di dunia maya itu tidak benar-benar ada ataukah kita menatap dunia “maya” itu melalui layar HP sehingga ia pantas disebut maya ataukah dunia “maya” itu merupakan gambaran dari gagasan yang terbentuk oleh gelombang otak yang mustahil dilihat secara kasat mata ataukah kita sedang mengalami kerancuan, split, sehingga terjadi tumpang tindih apa nyata apa maya?
Yang nyata di-maya-kan, yang maya di-nyata-kan. Yang nyata-nyata sebagai baju dan melekat di badan, di-maya-kan sebagai seolah-olah bahkan diterima sebagai bukan baju. Yang seolah-olah baju dan hadir sebagai “bayangan” baju, di-nyata-kan sebagai benar-benar baju.
Padahal yang kita sebut maya itu cukup menguasai, menuntun, memengaruhi, mewarnai, memobilisasi gerak pikiran dan warna batin kita sehingga koneksinya menggerakkan praksis perilaku kita di dunia nyata. “Sesuatu” yang hadir begitu nyata dalam alam pikiran dan perasaan masihkan berstatus maya?
Jika demikian adakah alam nyata dan benar-benar nyata tersisa dalam hidup kita? Pertanyaan versi lain, jika yang benar-benar nyata saja di-maya-kan, realitas nyata seperti apa yang kita terima sebagai yang benar-benar nyata?
Materialisme sedang mengalami evolusi. Kulit arinya mengelupas. “Sampah” digital menjadi katalisatornya. Manusia akan semakin materialistis karena yang “sekadar materi” telah terserap ke dalam kemayaan. Kini, manusia berburu materi yang lebih dari “sekadar” itu. Ia akan menancapkan kuat-kuat materi ke dalam jantung hidup kita. Karena yang benar-benar materi terseret ke arus dunia maya, maka tidak ada sikap lain kecuali menambah bobot materialisme dalam sikap dan cara berpikirnya.
Siang malam, pagi sore, kita berinteraksi dengan gawai sebagai pintu masuk menuju dunia maya. Arus informasi bagai hujan lebat, menjadi kenyataan sikap berpikir, alam batin, warna perilaku, model budaya kita. Terputus sejenak saja kita sontak kelimpungan. Dunia serasa kiamat.
“Ah, kiamat, saya tidak percaya kiamat!” tiba-tiba teman saya bersuara. “Saya tidak percaya hari kiamat sudah dekat, karena saya tidak percaya hari kiamat itu ada. Hidup ini terlalu indah dan mewah untuk dipenggal dengan sebuah kiamat. Paham?!”*
Maaf, pembaca. Kadang tamu saya suka berpikir aneh. []
*) Cerpen “Mbah Mahdi dan Cerita Pagi Itu”, oleh Indra Tranggono (cerpen.print.kompas.com)
Jagalan 170816
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI