Padahal yang kita sebut maya itu cukup menguasai, menuntun, memengaruhi, mewarnai, memobilisasi gerak pikiran dan warna batin kita sehingga koneksinya menggerakkan praksis perilaku kita di dunia nyata. “Sesuatu” yang hadir begitu nyata dalam alam pikiran dan perasaan masihkan berstatus maya?
Jika demikian adakah alam nyata dan benar-benar nyata tersisa dalam hidup kita? Pertanyaan versi lain, jika yang benar-benar nyata saja di-maya-kan, realitas nyata seperti apa yang kita terima sebagai yang benar-benar nyata?
Materialisme sedang mengalami evolusi. Kulit arinya mengelupas. “Sampah” digital menjadi katalisatornya. Manusia akan semakin materialistis karena yang “sekadar materi” telah terserap ke dalam kemayaan. Kini, manusia berburu materi yang lebih dari “sekadar” itu. Ia akan menancapkan kuat-kuat materi ke dalam jantung hidup kita. Karena yang benar-benar materi terseret ke arus dunia maya, maka tidak ada sikap lain kecuali menambah bobot materialisme dalam sikap dan cara berpikirnya.
Siang malam, pagi sore, kita berinteraksi dengan gawai sebagai pintu masuk menuju dunia maya. Arus informasi bagai hujan lebat, menjadi kenyataan sikap berpikir, alam batin, warna perilaku, model budaya kita. Terputus sejenak saja kita sontak kelimpungan. Dunia serasa kiamat.
“Ah, kiamat, saya tidak percaya kiamat!” tiba-tiba teman saya bersuara. “Saya tidak percaya hari kiamat sudah dekat, karena saya tidak percaya hari kiamat itu ada. Hidup ini terlalu indah dan mewah untuk dipenggal dengan sebuah kiamat. Paham?!”*
Maaf, pembaca. Kadang tamu saya suka berpikir aneh. []
*) Cerpen “Mbah Mahdi dan Cerita Pagi Itu”, oleh Indra Tranggono (cerpen.print.kompas.com)
Jagalan 170816
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI