Mohon tunggu...
Achmad Humaidy
Achmad Humaidy Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger -- Challenger -- Entertainer

#BloggerEksis My Instagram: @me_eksis My Twitter: @me_idy My Blog: https://www.blogger-eksis.my.id

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Tradisi Ramadan yang Dirindukan Warga Betawi

10 Mei 2019   00:00 Diperbarui: 10 Mei 2019   21:09 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
salah satu patung yang ada di ibukota (pixabay.com)

Kedatangan bulan Ramadan selalu ditunggu oleh masyarakat Indonesia terutama bagi kita yang beragama Islam. Dengan keberagaman masyarakat di dalamnya, Indonesia memiliki tradisi unik di berbagai daerah untuk menyambut bulan yang penuh berkah. Misal tradisi nyadran dari Jawa Timur, tradisi meugang dari Aceh, tradisi balimau dari Sumatera Barat, tradisi megibung dari Bali, tradisi munggahan dari Jawa Barat, dan sebagainya. Berhubung babeh penulis merupakan keturunan dari Betawi, maka aku ingin mengulik tentang tradisi yang mungkin sudah jarang ditemui di ibukota tercinta ini.

Ciri khas warga Betawi hidup atas kesederhanaan dan memegang teguh asas kekeluargaan yang erat. Corak dasar warga dari etnis ini terlihat membaur karena mereka sering beranggapan "makan nggak makan, asal kumpul". Artinya, mereka selalu mengutamakan kepentingan bersama dibanding golongan.

Banyak tradisi unik yang dahulu dilakukan oleh warga Betawi di bulan Ramadan, seperti:

1. Mandi merang atau keramas merang

Tradisi ini dilakukan warga Betawi untuk membersihkan diri jelang bulan suci Ramadan. Konon mereka mandi di sungai yang airnya masih bersih dan diakhiri dengan berwudhu. Tradisi ini biasa dilakukan para perempuan berkemben kain batik untuk melakukan siraman.

Hal yang membedakan dengan mandi pada umumnya, mereka selalu menggunakan merang, sejenis bekas tangkai padi yang sudah kering. Batang padi itu dibakar lalu direndam. Selanjutnya dioleskan ke seluruh tubuh lalu dibilas dengan air.

Saat itu, merang jadi pengganti sampo dan sabun. Beberapa warga terkadang juga mandi dengan air kembang, lidah buaya, dan minyak kemiri. Mandi yang disertai keramas ini selalu digosok-gosokkan ke ubun-ubun supaya air meresap sampai ke pori kulit kepala. Ritual siraman tidak hanya dimaksudkan untuk membersihkan badan, tetapi juga disimbolkan untuk membersihkan 'hati'.

Beberapa warga Betawi masih ada yang mempertahankan kearifan lokal ini. Mereka melakukan keramas merang di sekitar Sungai Cisadane. Dari tradisi ini, kita juga akan peduli terhadap kebersihan dan kelestarian sungai agar selalu dijaga tanpa membuang sampah ke alirannya.

2. Tradisi Ziarah Kubur

Tradisi ini masih banyak ditemui sampai sekarang. Orang-orang asli Betawi banyak yang dimakamkan di pemakaman Karet yang menjadi pemakaman pertama di Jakarta. Biasanya mereka yang berziarah dari golongan kaum adam karena kaum hawa dikhawatirkan bisa mendapat haid. Selama ziarah, mereka akan mendoakan arwah yang sudah tenang di alam kubur sambil menaburkan kembang tujuh rupa dan air wangi agar makam tampak bersih.

3. Tradisi Andil

Tradisi ini dikenal dengan sebutan patungan kerbau jelang lebaran. Seekor kerbau bisa dibeli oleh beberapa orang. Ada juga yang membuat sistem tradisi ini seperti arisan.

Setelah uang terkumpul dan dibelikan kerbau, maka kerbau disembelih. Seluruh daging dan tulang hewan yang disembelih akan dibagi rata kepada warga yang ikut patungan. Beberapa bagian juga disisihkan untuk sedekah bagi warga yang kesusahan atau orang-orang yang ikut bantu merawat dan memotong kerbau itu.

Tentu tradisi ini sudah punah. Sulit sekali untuk menemukan kerbau di kota besar. Warga betawi pun lebih memilih untuk memakan daging ayam atau daging sapi yang mudah didapat.

4. Tradisi tadarus dan itikaf

Tradisi ini dipengaruhi oleh budaya Arab. Selama bulan Ramadan, para warga betawi diajak untuk "malaman" atau berkumpul di langgar (surau) serta musala sambil membaca Alquran secara bergiliran. Target mereka bisa khatam Alquran selama sebulan.

Biasanya mereka membaca sampai waktu sahur tiba. Sebelum santap sahur, mereka akan keliling kampung sambil membangunkan orang-orang yang masih terlelap tidur. Cara membangunkan orang untuk sahur pun beragam, ada yang sambil teriak, main kentongan, pukul tiang listrik, atau memukul bedug.

Jika sudah mendekati H-10 lebaran, mereka juga akan berada di masjid untuk melakukan ibadah secara penuh dengan meninggalkan kehidupan duniawi. Biasanya mereka akan melakukan itikaf pada malam-malam ganjil. Mereka ingin mengejar pahala dari malam lailatul qadar yang lebih baik daripada 1000 bulan.

5. Tradisi buat kue

Akar kelapa sebagai salah satu kue khas Jakarta (tempatwisataindonesia.id)
Akar kelapa sebagai salah satu kue khas Jakarta (tempatwisataindonesia.id)
Tradisi ini terkesan umum karena bisa dilakukan oleh warga dari mana saja. Tapi, warga betawi lebih senang membuat kue dibanding harus membeli. Apalagi zaman dahulu masih belum banyak toko yang menjual kue kering dan kue basah seperti sekarang.

Kue yang dibikin juga terbilang khas karena bahan dan cara pembuatan masih tradisional. Misal, dodol betawi yang harus diaduk menggunakan kuali besar. Ada juga yang membuat tape uli dengan dijemur, ditumbuk, dan dibungkus daun pisang. Beberapa warga membuat kue-kue khas lain seperti akar kelapa, biji ketapang, bumbucin, wajik, kembang goyang, manisan kolang-kaling, ongol-ongol, roti gambang, kue bugis, kue cincin, kue dongkal, kue rangi, kue apem, kue pepe, kue lupis, kue cente manis, kue cucur, kue pancong, kue putu mayang, dan kue talam. Rasanya tentu berbeda dengan kue-kue dalam toples yang serba kekinian.

6. Tradisi Nyorog

Tradisi ini dikenal sebagai tradisi antar rantang, ruwahan, atau nyorong. Biasa dilakukan sebelum bulan Ramadan dan menjelang lebaran. Nyorog dianggap bisa menjadi ajang silaturahmi untuk saling bermaafan.

Sebelum Ramadan, nyorog dilakukan dengan membawa bingkisan berupa sembilan bahan pokok (sembako). Mereka datang bertamu dengan mengantar beras, kopi, gula, telur, minyak, dan sebagainya. Tuan rumah juga sudah menyiapkan bingkisan untuk dibawa pulang oleh tamu tersebut setelah dijamu.

Sementara jelang lebaran, rantang yang diantar sudah disiapkan isi makanan-makanan khas Betawi seperti semur daging, sup ayam, gabus pucung, bandeng presmol, dan masih banyak lagi. Beberapa warga bahkan menerapkan konsep apa yang diantar, itu yang dibawa pulang. Contoh kalau kita membawa gabus pucung ke rumah engkong, maka engkong akan mengembalikan kembali gabus pucung itu ke rumah kita. Hal itu dilakukan bisa selang beberapa hari atau saat itu juga.

Gabus pucung yang biasa diantar (tempatwisataindonesia.id)
Gabus pucung yang biasa diantar (tempatwisataindonesia.id)
Mereka yang saling menukar rantang tak mengenal rentang kasta. Rantang biasa diberikan ke keluarga, tetangga, atau tokoh masyarakat setempat. Beberapa warga betawi juga selalu mendahulukan untuk mengantar rantang ke orang yang lebih tua atau disebut sepuh. Dengan kata lain anak muda juga harus sowan ke orang-orang yang lebih dihormati seperti guru ngaji.

Berhubung Jakarta sudah menjadi kota besar, tradisi ini terancam karena banyak jiwa-jiwa yang masih mempertahankan ego alias hidup dalam individualisme yang kental. Beberapa warga Betawi mungkin masih nyorog, namun tradisi ini tak dianggap sebagai suatu perayaan. Padahal tradisi ini memiliki nilai filosofi untuk saling berbagi karena warga Betawi dikenal sebagai sosok yang tidak pelit.

Tradisi nyorog sejatinya tak hanya melulu dilakukan menjelang Ramadan tiba. Tradisi itu juga biasa dilakukan dalam acara pernikahan adat Betawi. Di mana, pihak keluarga mempelai laki-laki sebelum lamaran sudah mendatangi keluarga mempelai perempuan lebih dulu dengan membawa sorogan atau bahan makanan disertai bingkisan.

Konsep tradisi nyorog dinilai sebagai bentuk kesinambungan antar ekosistem yakni, manusia, lingkungan, dan Tuhannya. Dari tradisi ini, kita akan mengenal siklus yang saling terkait dalam kehidupan yang melibatkan manusia, lingkungan atau alam, dan Tuhan. Maka bukan tidak mungkin tradisi ini harus tetap dilakukan sampai sekarang.

Banyak warga asli Jakarta sudah pindah ke luar ibukota karena mereka menjual tanahnya dan hidup di pinggiran Jakarta seperti Tangerang, Depok, Bekasi, dan Bogor. Semoga saja tradisi nyorog tetap dilestarikan agar masyarakat khususnya orang asli Betawi yang beragama Islam tidak lupa terhadap sang pencipta atas apa yang telah diberikan karena tradisi ini mampu mengajari kita untuk terus bersyukur.

Sudah seharusnya tradisi dilestarikan karena didalamnya ada budaya yang sarat makna. Perubahan zaman menjadi tantangan untuk  memperkenalkan kembali tradisi tersebut kepada anak dan cucu kita nanti. Kita harus sadar bahwa tradisi-tradisi di atas cukup menghibur warga Betawi yang tidak mengenal tradisi mudik. Mereka akan menikmati tradisi itu sambil menjaga kampung halamannya sendiri saat ibukota sepi.

Kuatkan lagi identitas sebagai warga Betawi untuk mengenalkan tradisi dan budaya Betawi secara lebih luas. Sebagaimana kita tahu, kebudayaan Betawi merupakan akulturasi dari berbagai kebudayaan yang lain. Keterbukaan dan penerimaan menjadi prasyarat mengapa budaya dan tradisi Betawi harus hadir sampai sekarang.

Biar bagaimanapun tradisi lebih baik berlanjut untuk dinikmati lintas generasi karena didalamnya kita bisa menjunjung tinggi esensi kehidupan bermasyarakat yang lebih beradab. Walau berbeda-beda tradisi yang ada, tapi kita tetap sama yaitu INDONESIA.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun