Mohon tunggu...
Achmad Humaidy
Achmad Humaidy Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger -- Challenger -- Entertainer

#BloggerEksis My Instagram: @me_eksis My Twitter: @me_idy My Blog: https://www.blogger-eksis.my.id

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Danur 2 Maddah, Kualitas Film Horor Indonesia yang Tidak Menakutkan

9 April 2018   12:30 Diperbarui: 9 April 2018   22:32 5073
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: kompas.com/andy muttia keteng

Babak awal tidak dimanfaatkan untuk preambul karakter kepada penonton supaya relate ke dalam cerita. Hubungan Risa dengan kawan-kawan hantu tidak pernah diungkap secara mendalam. Tidak ada kontribusi cerita yang senada sehingga penonton sulit mengenal ikatan diantara mereka. Sepanjang durasi juga tidak ada momen Elisabeth dan Ivanna muncul bersama. Pergeseran karakter makhluk halus tersebut menimbulkan perbedaan pendapat karena tidak ada kedalaman karakter yang signifikan sejak awal. Karakterisasi dalam film Danur 2: Maddah terasa tidak memiliki pembentukan yang layak.

Akhir cerita dibuat kaku karena makhlus halus hanya kalah sebagai akibat dari sobekan buku diary (catatan harian) hantu tersebut. Sungguh penyelesaian yang tidak ada tantangan sehingga membuat film semakin tidak elegan apalagi diklaim based on true story.

Trik menakut-nakuti (jump scare)juga terbilang receh sehingga hanya berupaya mengagetkan siapa saja saat berada di bangku penonton. Ada unsur pintu dan hal-hal sederhana seperti api kompor menyala yang mampu memberi efek ketegangan. Namun, semua itu tidak mampu terakumulasi ke dalam plot yang berisi. Penonton hanya diberi narasi yang mungkin tidak akan terngiang dalam ingatan setelah menonton film ini.

Saat mengungkap kisah horor, penulis skenario harus memperhatikan jalan cerita. Hal ini harus dilakukan karena ada beberapa penonton yang memang tidak percaya dengan makhluk gaib atau hal-hal yang bersifat takhayul. Apalagi film ini tidak ada kemajuan untuk membuat penonton peduli terhadap karakter-karakter yang ada. Menakut-nakuti penonton masih menjadi formula horor sang sutradara dalam menggarap versi sekuel yang masih berada di bawah naungan rumah produksi MD Pictures dan Pichouse Films.

Prilly Latuconsina sebagai Risa sedang berjalan di rumah sakit
Prilly Latuconsina sebagai Risa sedang berjalan di rumah sakit
Sutradara masih dipercayakan kepada Awi Suryadi. Sensitivitas pengadeganan masih tampak mengganggu unsur sinematik. Jejak langkah teror tidak terhubung dalam relevansi yang jelas. Ada adegan mimpi berulang kali dialami oleh Risa. Seharusnya adegan ini bisa membangun konstruksi menakutkan sebelum hantu itu muncul. Nyatanya atmosfer tersebut justru mengusik rasa nyaman penonton.

Dari segi pencahayaan, penata cahaya membuat nuansa Maddah lebih gelap dibanding prekuelnya. Lampu kelap-kelip menjadi pilihan untuk mengangkat nuansa horor. Hanya di beberapa bagian justru terlihat mencekam yang berlebihan sehingga penonton sudah kebal melihat latar yang sudah di set sedemikian rupa. Sebagai contoh rumah sakit diterangi dengan lampu yang tampak korslet dan nuansa lorong yang begitu sepi. Bisa jadi latar itu hanya kontrakan yang disewa untuk syuting film. Hal ini sangat mengganggu dan mengacaukan visual.

Musik keras juga tergolong rumusan basi dalam meracik film horor yang mengharapkan ketakutan dari penonton. Musik yang dihadirkan dalam Maddah identik dengan natural sound dan berupaya mendekati penonton untuk merasakan apa yang ada di set. Sayang musik yang berasal dari biola rusak dan piano tak punya daya untuk menghentak kuat. Iringan musik tak peka membentuk adegan menjadi lebih seram.

Padahal lagu 'Boneka Abdi' cukup misterius. Apalagi saat dimainkan melalui irama pada piano yang ditekan. Konon lagu ini dikenal dengan judul Story Of Peter yang bercerita tentang sahabat hantu pada masanya yang memang digemari oleh anak-anak Belanda yang dulu pernah tinggal di Hindia Belanda atau sekarang disebut Indonesia. Lagu ini seolah menjadi mantra  untuk memanggil makhluk halus itu datang.

Jika melihat pemeranan, bakat Prilly Latuconsina dengan performa matang justru hanya terasa dimanfaatkan. Naskah menghalanginya untuk aktualisasi akting lebih berkembang. Kegundahan hati Risa tak mampu memberi simpati kepada penonton film ini. Prilly tidak bisa berimprovisasi lebih dalam.

Meski saat adegan kesurupan, Ia bisa mendapat pujian. Namun, kostum piyama yang dikenakan saat mau tidur tampak tidak sesuai realita. Seolah gaun putih panjang yang tampak bagai kostum kuntilanak itu sudah dipersiapkan oleh Angelia Florensia.

Untung saja deretan hantu yang menjelma sebagai penunggu rumah terbantu oleh tata rias dari hasil riasan Maria Margaretha Earlene. Wajah pucat dengan elemen horor yang khas memang memberi ketakutan tersendiri. Penonton pun enggan menatap mereka lebih lama.

Selain itu semua kinerja departemen kamera dari Adrian Sugiono layak mendapat pujian. Visual mengantar penonton ke dalam nuansa "ada sesuatu yang tidak beres di sekitar". Ada sudut kemiringan gambar yang berani ketika ada karakter memeriksa suara-suara misteri yang memberi motivasi ngeri. Kamera juga jelas menampilkan hantu di layar dengan efek mengerikan. Meski beberapa penonton mungkin akan mengira jika teknik tersebut masuk ke dalam disturbing angle.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun