Mohon tunggu...
Achmad Hidir
Achmad Hidir Mohon Tunggu...

Pengagum para filsuf

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Ambiguitas Pendidikan Seks di Indonesia

26 April 2017   14:34 Diperbarui: 27 April 2017   00:00 3176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Antara Tabu dan Pornografi

Pembicaraan yang berkenaan dengan masalah seks di dalam banyak budaya masyarakat kita masih selalu dianggap sesuatu yang tabu dan perlu dihindari. Mengapa ?. karena pembicaraan seks di mata masyarakat kita selalu diartikan dalam arti yang sempit, hanya seputar kegiatan seksual yang mengarah pada persetubuhan atau reproduksi saja. Selain itu ekspresi seksualitas dalam bentuknya yang nyata, seperti dalam unsur seni, misalnya film, fotografi, tarian dan lain sebagainya seringkali pula memberikan makna subyektif bagi sebagian masyarakat. Maka muncullah istilah “pornografi” di mana istilah inipun sangat relatif sifatnya. Kerelatifannya itu dapat diukur dari ukuran pantas atau tidaknya sesuatu ekspresi seksual yang dapat dilihat  terutama menyangkut konsep aurat dari seorang manusia.

Oleh karena sifatnya yang sensitif dan relatif  inilah, maka pembicaraan seks menjadi tabu dan terkesankan selalu mengarah pada konteks yang disebut dengan porno. Sehingga dalam banyak diskusi, tulisan dan pembicaraan umum tampaknya lebih menarik kalau topik pembicaraannya sekitar masalah; kemiskinan, politik, ekonomi, atau masalah pendidikan. Karena bila pembicaraan mulai mengarah pada masalah seksualitas, maka segera akan terjebak pada dua konsep tadi, yakni tabu dan porno.

Pada hal topik pembicaraan masalah seks sebenarnya tidak kalah menariknya untuk dibicarakan. Bukti demikian menariknya pembicaran seks, hal ini dapat dilihat dari antusiasme masyarakat dalam berbagai acara seminar dan talk show, yang selalu banyak dipenuhi oleh masyarakat dari berbagai golongan. Selain itu, pembicaraan masalah seks, sebenarnya adalah sesuatu pembicaraan yang riil karena seksualitas menjadi inti dari seseorang dari sekian banyak atribut (status) manusia, selain pendidikan, umur, pekerjaan ataupun sukubangsa. Dan yang pasti setiap orang apapun status sosialnya pasti memiliki atribut seksnya.

Mengapa Pembicaraan Seksualitas Menjadi Menarik ?.

Pembicaraan masalah seksualitas menjadi menarik, karena ekspresi seksualitas di dalam dunia manusia itu diatur secara  budaya, dan dikemas oleh aturan moralitas, tabu dan berbagai upacara inisiasi. Seks adalah keadaan anatomi biologis manusia yang dibawa oleh seseorang secara alami. Seks seringkali dibedakan dalam dua bentuk yaitu perempuan dan laki-laki. Sedangkan gender yang kini sudah populer di Indonesia, lebih merupakan ekspresi psikologis yang dibungkus oleh kultural sebagai hasil ikutan dari jenis kelamin (seks) seseorang tadi. Artinya, seseorang dapat mengekspresikan orientasi seksualnya melalui gender yang dimilikinya. Di indonesia, gender seringkali dibagi dalam 3 kategori, yakni; laki-laki, perempuan dan banci (Julia Suryakusuma,1991).

Dalam budaya-budaya lama di Indonesia ataupun di berbagai daerah lain di dunia mitos tentang seksualitas telah lama hidup dan subur. Dan telah lama juga menarik perhatian masyarakat itu di zamannya. Bukti-bukti ke arah itu dapat dilihat dari relief-relief pada candi-candi kuno di Indonesia, buku-buku primbon, kamasutra, dan berbagai kepercayaan masyarakat tentang khasiat obat-obatan tradisional dan mantra-mantra yang diyakini dapat meningkatkan seksualitasnya. Berbagai kegiatan upacara inisiasi dalam kaitannya dengan seksualitaspun sampai saat ini  tampaknya masih banyak dalam masyarakat kita yang tetap mempraktekkannya.

Seberapa Pentingkah Pendidikan Seks?.

Masalah pendidikan seks sampai saat ini masih sedikit untuk dibicarakan, kalaupun ada masih terbatas pada kalangan tertentu saja.  Pada hal seksualitas adalah landasan kehidupan sosial yang seringkali sangat menentukan kehidupan masyarakat di masa depan. Kesalahan penyebaran informasi yang keliru pada masyarakat akan berdampak kehancuran tatanan kehidupan sosial. Ini disebabkan karena seks itu sendiri bersifat alami dan kebutuhan ekspresi seksualitas itupun pasti dialami oleh setiap orang, sementara pembicaraan seks masih dianggap sesuatu yang tabu. Maka konsekuensinya, banyak kaum remaja yang mencari informasi tentang kehidupan seksualitasnya menjadi tak terarah dan banyaknya terjadi kesalahpahaman tentang kehidupan seksualitasnya.

Hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh penulis bersama rekan-rekan dari Pusat Penelitian Kependudukan Unri tahun 2000 lalu di Kota Batam, tentang kesehataan reproduksi remaja dan pemahamannya terhadap seksualitas sangat menarik untuk disimak. Dari hasil beberapa temuan itu, penulis sangat tersentak. Mengapa ?, karena ternyata banyak kaum remaja yang nota bene sebenarnya telah matang dalam proses reproduksi namun tidak banyak memahami masalah-masalah seksualitas. Kalaupun ada namun pemahaman itu keliru dan lebih banyak mereka peroleh dari hasil pengalaman rekan-rekan mereka. Bukti untuk itu misalnya, masih banyaknya kalangan remaja yang memiliki persepsi dan pemahaman yang keliru tentang proses terjadinya konsepsi, jenis dan gejala PMS dan HIV/AIDS, akibat aborsi, jenis-jenis ISR, masturbasi dan juga jenis serta fungsi alat dan obat kontrasepsi.

Banyak dari mereka (remaja ini) tidak diiringi dengan pengetahuan dan pemahaman yang memadai tentang berbagai perilaku seksual dengan segala konsekuensinya, tetapi justru lebih banyak dipengaruhi oleh nilai budaya baru yang permissive terhadap seks bebas. Arus informasi yang demikian terbuka dengan banyaknya media massa yang memberikan akses pada mereka untuk menikmati suguhan pornografi dewasa ini telah demikian banyak. Sementara kesempatan pendidikan yang lebih luas, baik untuk kaum wanita maupun pria untuk memasuki jenjang pendidikan tinggi semakin terbuka sebagai akibat kemampuan sosial ekonomi keluarganya. Sehingga menimbulkan terjadinya diskrepansi antara kematangan biologis dengan kematangan sosial.

Yayah Khisbiyah (1997) dari hasil studinya itu, menjelaskan bahwa insiden kehamilan pranikah di kalangan remaja terjadi secara proporsional pada kategori status sosial ekonomi rendah, menengah dan atas serta mereka juga berasal dari keluarga yang dipersepsikan sendiri secara harmonis. Temuan hasil studinya itu telah merontokkan asumsi konservatif yang selalu mengatakan bahwa kenakalan dan perilaku menyimpang di kalangan remaja itu selalu berawal dan berasal dari situasi broken home, kemiskinan, kurangnya pendidikan dan berbagai alasan lainnya.

Dari berbagai hasil studi itu, dapat disimpulkan bahwa; perilaku seks pranikah di kalangan remaja ini kenyataannya tidak ditunjang dengan pengetahuan dan pemahaman yang memadai, sehingga menimbulkan banyaknya kasus-kasus unwanted pregnancy dan korban dari perilaku seks yang tidak bertanggung jawab. Lebih dari itu, akibat dari perilaku seperti ini tidak saja merugikan individu remaja itu sendiri, tetapi juga sangat merugikan keluarga dan masyarakat dalam tataran yang lebih luas.

 Situasi ini semakin diperparah dengan arah perkembangan dan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat ternyata tidak diiringi dengan penambahan pemahaman dan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan miskinnya pelayananan dan bimbingan tentang berbagai hal berkaitan dengan masalah-masalah hubungan antar jenis.

Hasil studi yang dilakukan  berkaitan dengan kesehatan reproduksi di beberapa daerah menunjukkan bahwa masih banyak di kalangan masyarakat kita yang belum mengerti tentang terjadinya proses kehamilan, upaya mencegah kehamilan, cara penggunaan alat kontrasepsi, penularan PMS, jenis dan fungsi alat kontrasepsi dan lain sebagainya  yang akibat ini semua akan berdampak pada kualitas kesehatan reproduksi mereka.

Penyebab ini semua disebabkan oleh multi faktor, namun yang utama karena masih adanya kesalahpahaman dan pengertian yang keliru perihal masalah-masalah organ dan hubungan seksual. Sehingga semakin marak timbulnya TFR di kalangan remaja, angka aborsi (termasuk unsafe abortion), penyalahgunaan narkoba dan maraknya HIV/AIDS. Sementara di sisi lain untuk membicarakan masalah-masalah itu dalam budaya kita masih dianggap tabu. Bila kondisi seperti itu, maka tampaknya pendidikan seks yang bertanggung jawab menjadi penting untuk dilakukan.

Perlukah Pendidikan Seks Di Rumah dan di Sekolah ?.

Rendahnya pemahaman dan pengetahuan remaja dalam kesehatan reproduksi tidak terlepas dari peran pendidikan formal dan informal di rumah. Untuk peran pendidikan formal perlu kiranya segera dibentuk kurikulum yang mencoba memberikan proses pembelajaran berkaitan dengan masalah kesehatan reproduksi dan pendidikan seks yang sehat dan produktif serta bertanggung jawab. Artinya, untuk jenis pelajaran-pelajaran yang relevan, semisal biologi perlu dijelaskan pula tentang fungsi reproduksi dengan segala dampak negatif positifnya termasuk PMS, HIV/AIDS. Tidak perlu terlalu vulgar namun masih dalam tatanan budaya Indonesia. Laksana seorang dokter hendak mengoperasi pasiennya. Bukankah seorang dokterpun kalau hendak mengoperasi pasiennya katakanlah bagian perutnya, maka bagian lainnya akan ditutup dan hanya yang dibuka bagian yang diperlukannya saja ?. Hal ini karena pendidikan seks masih ditabukan di sekolah, maka perlu dicarikan alternatif tanpa secara ekplisit (Dede Oetomo, 1993). Apalagi dalam RUU Sisdiknas pun belum secara nyata mengedepankan pentingnya muatan pendidikan seks ini.

Sementara itu, khusus remaja muslim banyak temuan di lapangan mereka mengalami menstruasi dan mimpi basah tetapi mereka tidak tahu bagaimana tertibnya untuk melakukan mandi junub. Hal ini juga karena tidak pernah mereka diajarkan oleh orang tuanya dan guru agamanya di sekolah. Sementara bagi mereka sendiri untuk mencari tahu dan bertanya masih memiliki rasa malu. Terlebih pada guru dan orang tuanya. Adanya sumbatan akan pembicaraan seksualitas menyebabkan ketidaktahuan mereka.  Maka saat ini perlu kiranya kita segera membuka sedikit kran untuk pembicaraan seks yang bertanggung jawab di dalam rumah dan sekolah-sekolah karena zaman telah berubah demikian cepat.

Apalagi  diyakini banyak para ahli di Amerika, bahwa keharmonisan keluarga dapat mengurangi tindak perilaku seks di luar nikah dan kehamilan yang tak dikehendaki di kalangan remaja. Ini dapat dibuktikan dari laporan salah satu media massa di Amerika yang menjelaskan kedekatan antara seorang anak dengan orangtuanya dapat menjadi kontrol yang bersifat latent  terhadap si anak yang pada gilirannya mampu mencegah perilaku menyimpang pada anak di luar lingkungan keluarga. Selain itu tersedianya buku dan bacaan yang mendidik dan relevan tentang konsekuensi seks pranikah dan berbagai akibat PMS di rumah yang dapat diakses oleh anak remaja (tentunya masih tetap dibawah bimbingan orang tua) diyakini juga dapat mengurangi penyebaran HIV/AIDS dan penambahan pengetahuan remaja tentang berbagai bahaya dan perilaku seks bebas.

                                                                 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun