Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sejarah Perang Kerajaan-kerajaan di Nusantara

8 Oktober 2019   04:10 Diperbarui: 8 Oktober 2019   04:39 3015
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.bukalapak.com 

SEBELUM kedatangan bangsa Eropa -- Portugis, Belanda, dan Inggris -- terjadinya perang di Nusantara cenderung dipicu faktor perselisihan antar kerajaan, pemberontakan dari para punggawa, atau intrik politik di lingkup keluarga istana. Namun sesudah kedatangan bangsa Eropa, perang tidak hanya melibatkan kerajaan-kerajaan di Nusantara, melainkan pula melibatkan bangsa asing tersebut.

Bila mencermati lebih jauh mengenai sejarah perang di Nusantara, di mana perang tidak hanya terjadi di kerajaan-kerajaan besar di Jawa, namun pula kerajaan-kerajaan besar yang ada di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.

Kerajaan-Kerajaan di Sunda

DALAM sejarah kerajaan-kerajaan yang ada di Sunda dimulai dengan Salakanagara yang didirikan oleh Dewawarman I pada tahun 130. Surutnya Kerajaan Salakanagara yang waktu itu di bawah kekuasaan Dewawarman VIII karena mendapatkan serangan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Maurya pada tahun 362.

Sebelum runtuhnya Kerajaan Salakanagara, timbullah Kerajaan Tarumanagara yang didirikan oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman (putra menantu Dewawarman VIII) pada tahun 358. Pasca pemerintahan Linggawarwan (666-669), Tarumanagara mengalamai masa surut. Karena Tarusbawa yang seharusnya menjadi raja justru memindahkan pusat pemerintahannya di Sunda. Selain itu, terdapat dugaan bahwa runtuhnya Tarumanagara karena mendapat tekanan dan serangan dari Sriwijaya (Sumatera).

Diketahui bahwa Kerajaan Sunda tidak berlangsung lama, sesudah Sanjaya berkuasa sebagai raja Sunda-Galuh dari tahun 723 hingga 732. Namun semasa pemerintahan Prabu Niskala Wastu Kancana, Sunda-Galuh mendapatkan serangan dari Banten pada tahun 1527. Sesudah itu, lahirlah Kerajaan Pakuan Pajajaran yang mengalami keruntuhannya sesudah mendapatkan serangan dari Kesultanan Banten di bawah komando Maulana Yusuf pada tahun 1579). Sesudah ditaklukkan oleh Kesultanan Banten, Kerajaan Pakuan Pajajaran menjadi bagian dari kekuasaan Sumedanglarang.


Di masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun (1580-1608), Sumedanglarang mengalami masa surut sesudah mendapatkan serangan besar-besaran dari Kesultanan Cirebon. Sesudah terjadi perang saudara, Kesultanan Cirebon pun mengalami masa surut pada tahun 1926. Di mana pada tahun tersebut, pemerintahan Kesultanan Cirebon dihapuskan secara resmi sesudah pengesahan Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon).

Kerajaan-Kerajaan di Jawa

DALAM catatan sejarah, kerajaan-kerajaan tertua di Jawa yang berdiri pada abad ke-7 tersebut berada di wilayah Pantura. Menurut catatan sejarah, terdapat tiga kerajaan di wilayah Pantura yang dikuasai Depunta Syailendra, Santanu (raja bawahan Sriwijaya), dan Kartikeyasingha (raja Kalingga). Letak kerajaan yang dikuasai Depunta Syailendra tidak diketahui, namun letak kerajaan yang dikuasai Santanu berada di Batang. Sementara, letak kerajaan Kalingga yang dikuasi Kartikeyasingha berada di Jepara.

Pasca pemerintahan Kartikeyasingha (648-674), Kalingga dikuasai oleh istrinya yakni Ratu Jay Shima (674-695). Menjelang akhir pemerintahan Ratu Jay Shima, Kalingga dibagi menjadi dua bagian yakni Kalingga utara untuk putrinya yakni Dewi Parwati. Sementara, Kalingga Selatan diberikan kepada putranya yakni Narayana. Kelak Kalingga Utara dikuasai oleh Sanjaya (cucu Dewi Parwati atau putra Sannaha) dan Kalingga Selatan dikuasai Dewa Singha. Semasa pemerintahan Dewa Singha, Kalingga Selatan dapat dikuasai oleh Sanjaya melalui jalan peperangan.

Sesudah memerebut wilayah Kalingga Selatan, Sanjaya yang pernah berkuasa di Sunda dan Kalingga Utara tersebut menjabat sebagai raja Medang dengan ibukota Bhumi Mataram (Medang i Bhumi Mataram) pada tahun (754-760).  Semaja menjadi raja, tahta kekuasaan Sanjaya digulingkan oleh Rakai Panangkaran Dyah Pancapana (Tejahpurnapane Panamkarana) yang berasal dari Dinasti Syailendra.

Sesudah Dyah Pancapana menjadi raja, Medang dikuasai oleh raja-raja dari Dinasti Syailendra, yakni: Rakai Panunggalan Dyah Daranindra, Samaragrawira, Samaratungga, dan Pramodhawardhani. Di era pemerintahan Pramodhawardhani inilah, Medang pula dikuasai oleh keturunan Sanjaya yakni Rakai Pikatan Mpu Manuku. Mengingat Mpu Manuku yang Medang dengan ibukota Mamrati menjadi suami Pramodhawardhani.

Di masa pemerintahan Mpu Manuku (versi pertama: 838-855 atau versi kedua: 840-856), terjadilah kudeta yang dilakukan Rakai Walaing Mpu Kombhayoni. Akan tetapi, pemberontakan Mpu Kombhayoni tersebut berhasil dipadamkan oleh putra bungsu Mpu Manuku yakni Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala. Karena prestasinya itu, Dyah Lokapala dinobatkan sebagai raja Medang (856-880).

Dinobatkannya Dyah Lokapala sebagai raja Medang kiranya membuat cemburu Rakai Gurunwangi Dyah Saladu. Karenanya Dyah Saladu yang mendapat dukungan Rakai Limus Dyah Dewendra melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Dyah Lokapala. Akibatnya Dyah Lokapala turun dari tahta.

Menangggapi pemberontakan Dyah Saladu, Rakai Watuhumalang Mpu Teguh (putra Mpu Manuku dan selir Mpu Tamer) yang menjadi raja Medang pada tahun 896-899 mengutus Rakai Watukura Dyah Balitung menantunya untuk menumpas pemberontakan tersebut. Berkat ketangguhan Dyah Balitung, pemberontakan yang dilakukan Dyah Saladu dapat dipadamkan. Dyah Balitung pun kemudian menjadi raja Medang dengan ibukota di Poh Pitu sesudah pemerintahan Mpu Teguh.

Ketika menjadi raja Medang pada tahun 899-910, Dyah Balitung mendapat serangan dari Rakai Hino Mpu Daksa yang mendapatkan dukungan Dyah Saladu. Akibat dari kudeta itu, Dyah Balitung turun tahta. Pasca pemerintahan Dyah Balitung, Mpu Daksa naik tahta (910-919). Pasca pemerintahan Mpu Daksa, Rakai Layang Dyah Tulodong yang merupakan putra menantunya naik tahta (919-924).

Baru memerintah lima tahun, kekuasaan Dyah Tulodong mendapat serangan Rakai Sumba Dyah Wawa yang mendapat dukungan Mpu Sindok. Akibat pemberontakan Dyah Wawa tersebut, Dyah Tulodong turun tahta. Di masa pemerintahan Dyah Wawa (924-928) inilah, terjadilah bencana yakni meletusnya Gunung Merapi pada tahun 928. Sejak itu runtuhlah Kerajaan Medang periode Jawa Tengah.

Pasca runtuhnya Kerajaan Medang periode yang disebabkan bukan karena perang tersebut, Mpu Sindok mendirikan Kerajaan Medang di wilayah Jawa Timur tepatnya di Tamwlang (928) dan berakhir di Watugaluh (929). Sejak pemerintahan Mpu Sindok, Sri Isyanatunggawijaya, Sri Isyanatunggawijaya; Medang periode Jawa Timur tidak mengalami pergolakan. Baru semasa pemerintahan Dhamawangsa Teguh, Medang mengalami kehancuran sesudah mendapatkan serangan Haji Wurawari yang mendapatkan dukungan pasukan Sriwijaya. Peristiwa hancurnya Medang ini dikenal dengan Mahapralaya yang terjadi pada tahun 1007 (versi pertama) atau 1016 (versi kedua).

Sejarah Kerajaan Medang telah berakhir. Tidak lama kemudian, timbullah Kerajaan Kahuripan di bawah kekuasaan Airlangga (1009-1042). Sebelum turun tahta untuk menjadi seorang pertapa, Airlangga ingin mewariskan tahta Kahuripan pada Sanggramawijaya Tunggadewi. Karena putra mahkotanya tersebut tidak bersedia menjadi raja, Airlangga membagi wilayah Kahuripan menjadi dua bagian yakni Janggala untuk diwariskan pada Mapanji Garaskan dan Kahuripan diwariskan pada Sri Samarawijaya.

Sejak mendapatkan warisan bumi Janggala, Mapanji Garasakan menjadi raja dengan pusat pemerintahan di Kahuripan. Sementara Sri Samarawijaya menjadi raja di Kadiri dengan pusat pemerintahan di Dhaha. Berbeda dengan Kadiri, Janggala mengalami keruntuhannya karena serangan Kadiri yang terus menerus. Sementara Kadiri mengalami keruntuhannya karena serangan Ken Arok dari Singhasari yang mendapatkan dukungan para pendeta Hindu dan Buddha yang tidak mau takluk pada Sri Kertajaya. Raja Kadiri yang memerintah pada tahun 1182-1222.

Sesudah berhasil menaklukkan Sri Kertajaya, Ken Arok menobatkan diri sebagai raja di Singhasari (Tumapel) yang semula dikuasai oleh Akuwu Tunggul Ametung. 

Menurut Serat Pararaton, keberlangsungan Singhasari diwarnai dengan intrik-intrik politik di lingkup keluarga istana sendiri. Ken Arok tewas dibunuh Bathara Anusapati (putra Tunggul Ametung dan Ken Dedes). 

Anusapati dibunuh Apanji Tohjaja (putra Ken Arok dan Ken Umang). Apanji Tohjaya dibunuh Ranggawuni (putra Mahisa Wongateleng). Pasca pemerintahan Ranggawuni, Singhasari dipimpin oleh putranya yakni Kertanagara. Di masa pemerintahan Kertanagara inilah, Singhasari mengalami kehancurannya sesudah mendapat serangan Jayakatwang (bupati Gelanggelang). Di dalam melakukan serangan tersebut, Jayakatwang mendapat dukungan Arya Wiraraja, Patih Kebo Mundarang, Ardharaja, dan pasukan Jarang Guyang.

Ketika penyerangan Jayakatwang terhadap Singhasari, Dyah Wijaya (menantu Kertanagara) melarikan diri beserta pengikutnya ke Sumenep. Oleh Arya Wiraraja, Dyah Wijaya disarankan untuk menyerahkan diri pada Jayakatwang. 

Sesudah mendapat ampunan, Dyah Wijaya mendapatkan hadiah Hutan Tarik yang kemudian menjadi pedukuhannya. Di hutan Tarik itulah, Dyah Wijaya menyusun kekuatan untuk melakukan serangan terhadap Jawakatwang.

Pucuk dicinta ulam tiba. Ketika pasukan Tartar datang di Jawa untuk membalas dendam pada Kertanagara, Dyah Wijaya memanfaatkan pasukan yang dipimpin oleh Shih Pi, Ike Mese, dan Kau Hsing untuk menyerang Jayakatwang. 

Melalui pasukan Tartar itulah, Dyah Wijaya berhasil menggulingkan kekuasaan Jayakatwang pada tahun 1293. Sesudah Jayakatwang tewas dan pasukan Tartar berhasil diusir dari tanah Jawa, Dyah Wijaya menobatkan diri sebagai raja di Majapahit. Semasa pemerintahan Dyah Wijaya, Majapahit mulai dilanda intrik-intrik internal di lingkup para punggawa hingga menimbulkan perang antara pasukan Majapahit di bawah komando Lembusora dengan pasukan Tuban di bawah kepemimpinan Ranggalawe. Dalam perang yang berlangsung di Sungai Tambak Beras itu, Ranggalawe tewas di tangan Mahesa Nabrang. Sementara Mahesa Nabrang sendiri tewas di tangan Lembusora yang masih merupakan paman dari Ranggalawe.

Sejak awal hingga akhir pemerintahan Majapahit senantiasa dilanda perang baik dengan kerajaan lain maupun perang antar keluarga sendiri dan perang yang timbul akibat kudeta. 

Perang dengan negara lain semisal Perang Bubat antara Majapahit dengan Sunda pada tahun 1357. Perang antar keluarga yakni Perang Paregreg yang terhadi pada tahun 1404-1406. 

Perang yang timbul akibat kudeta terjadi semasa pemerintahan Dyah Wijaya, Jayanagara, Tribhuwana Wijayatunggadewi, Kertawijaya, dan Singhawikramawardhana. Majaphit mengalami kehancuran semasa pemerintahan Girishawardhana sesudah mendapatkan serangan dari Kesultanan Demak Bintara pada tahun 1527.

Jauh sebelum runtuhnya Kerajaan Majapahit, Kesultanan Demak Bintara telah berdiri pada tahun 1478. Semasa pemerintahan Raden Patah (1478-1518) dan pemerintahan Patiunus (1518-1521), Kesultanan Demak melancarkan serangan terhadap Portugis yang bercokol di Malaka. Perang terhadap Portugis pun berlanjut di masa pemerintahan Sultan Tranggono (1521-1546). 

Di masa itu, Portugis membantu pasukan Majapahit yang telah berstatus kadipaten dan berhasrat melakukan pemberontakan terhadap Kesultanan Demak. Namun pemberontakan dari Majapahit tersebut berhasil dipadamkan oleh Sultan Trenggono pada tahun 1527.

Kesultanan Demak mengalami masa surut semasa pemerintahan Sunan Prawata (1546-1549). Ketika Sunan Prawata baru memerintah selama tiga tahun di Kesultnan Demak dengan ibukot di Gunung Prawata, Arya Penangsang berhasrat membunuhnya. Hasrat pembunuhan Arya Penangsang tersebut karena Sunan Prawata merupakan dalang pembunuhan ayahnya yakni Surawiyata. Sesudah tujuan membunuh Sunan Prawata melalui Rangkut abdinya itu tercapai, Arya Penangsang menjadi raja Kesultanan Demak dengan ibukota di Jipang.

Belum lama memerintah, kekuasaan Arya Penangsang atas Kesultanan Demak sudah digulingkan oleh Sultan Hadiwijaya melalui utusannya yakni Ki Ageng Pemanahan, Ki Penjawi, Danang Sutawijaya, dan Ki Juru Mrentani. Sesudah Arya Penangsang turun tahta, maka Jipang dan Demak berada di bawah kekuasaan Sultan Hadiwijaya.

Sesudah Sultan Hadiwijaya mangkat, Danang Sutawijaya yang merupakan putra Ki Ageng Pemanahan mendirtikan Kesultanan Mataram dengan bergelar Panembahan Senapati. Di masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645, Kesultanan mencapai puncak kejayaan. Namun ketika Sunan Amangkurat I menjadi raja untuk menggantikan Sultan Agung, Kesultanan Mataram mengalami keruntuhan karena pemberontakan Trunajaya pada tahun 1677.  

Pasca runtuhnya Kesultanan Mataram, kemudian muncullah Kasunanan Kartasura yang didirikan oleh Sunan Amangkurat II pada tahun 1575. Akibat Geger Pecinan pada tahun 1742, ibukota Kasunanan Kartasura dipindahkan ke Surakarta oleh Sunan Pakubuwana II. Karenanya Kasunanan Kartasura kemudian dikenal dengan Kasunanan Surakarta.

Sejak masa pemerintahan Sunan Pakubuwana II sampai Sunan Pakubuwana III, terjadi Perang Suksesi Jawa Tiga. Dari perang inilah kemudian mengakibatkan munculnya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) yang melahirkan Kesultanan Yogyakarta di bawah kekuasaan Sultan Hamengkubuwana I (Pangeran Mangkubumi/Raden Mas Sujana), serta Perjanjian Salatiga (13 Februari 1757) yang melahirkan Praja Mangkunegaran di bawah kekuasaan KGPAA Mangkunegara I.

Kerajaan Sriwijaya

SEJAK abad ketujuh, Sriwijaya telah berdiri. Sebagai kerajaan maritim yang selalu berpindah-pindah pusat pemerintahannya tersebut memiliki hubungan erat dengan kerajaan-kerajaan di Jawa dan Sunda. Fakta ini ditunjukkan melalui kebijakan Ratu Jay Shima (raja Kalingga) yang menjalin persahabatan antara Kalingga, Sunda, dan Sriwijaya.

Di masa pemerintahan raja-raja Dinasti Syailendra di Medang, hubungan persahabatan antara Sriwijaya dengan Medang sangat terjaga dengan baik. Bahkan terdapat dugaan bahwa sewaktu pemerintahan Samaratungga, ibukota Sriwijaya adalah Medang itu sendiri. Fakta ini ditunjukkan dengan kebijakan Samaratungga yang membagi wilayah kekuasaan sebelum kemangkatannya kepada kedua putranya yakni Pramodhawardhani dan Balaputradewa. Pramodhawardhani mendapat wilayah Medang, sementara Balaputradewa mendapat wilayah Sriwijaya.

Hubungan antara Medang dan Sriwijaya telah lama terjalin dengan baik. Namun semasa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa, Sriwijaya mendapat serangan dari Medang (periode Jawa Timur) di bawah komando Dharmawangsa Teguh pada tahun 990. Namun sebagai kerajaan yang kuat, Sriwijaya berbalik menyerang Medang dengan berada di balik pemberontakan Haji Wurawari pada tahun 1016. Akibatnya, Medang mengalami keruntuhannya yang ditandai dengan kematian massal (maha pralaya).

Namun setahun kemudian yakni tepatnya tahun 1017, Sriwijaya yang bermaksud menguasai daerah-daerah di Asia Tenggara tersebut justru mulai mendapat serangan Rajendra Chola I, raja dari Dinasti Chola yang tinggal di daerah Koromandel (India Selatan). Hingga pada tahun 1025, Sriwijaya mengalami keruntuhannya sesudah rajanya yang bernama Sangrama Vijayottunggawarman berhasil ditawan oleh Rajendra Cola I.

Kerajaan Pagaruyung

RUNTUHNYA Kerajaan Sriwijaya yang dikenal dengan kerajaan Buddha tersebut memunculkan kerajaan baru yakni Pagaruyung yang letaknya di Sumatera Barat. Suatu kerajaan yang didirikan oleh Adityawarman. Sepeninggal Adityawarwan, Pagaruyung dipimpin oleh Ananggawarwan (1375-1417).

Di masa Ananggawarman, Pagaruyung pernah mendapatkan serangan dari Majapahit. Di mana waktu itu Majapahit dipimpin oleh Wikramawardhana (1390-1428). Namun, pasukan dari Majapahit tersebut berhasil dipukul mundur oleh pasukan Pagaruyung. Fakta ini menunjukkan bahwa Majapahit sudah mulai melmah angkatan perangnya. Tidak sebagaimana semasa pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389).

Pasca pemerintahan Ananggawarman, Pagaruyung berubah status menjadi Kerajaan Islam (Kesultanan). Adapun sultan-sultan yang memimpin Kesultanan Pagaruyung adalah Sultan Ahmadsyah (1668-1674), Sultan Indermasyah (1674-1730), Sultan Arifin Muningsyah (1780-1821), dan Sultan Bagagarsyah (1821-1833).

Sejak pemerintahan Sultan Arifin Muningsyah, Pagaruyung mulai mengalami masa surut. Daerah-daerah di pesisir barat berhasil dikuasai Aceh, sedangkan nderapura telah menjadi kerajaan merdeka. Hingga saat pecah Perang Padri, Sultan Arifin Muningsyah meninggalkan istana menuju Lubuk Jambi.

Pagaruyung benar-benar mengalami kehancurannya ketika Sultan Tangkal Alam Bagagar yang mendapatkan dukungan kaum adat dan kaum padri berhasil dihancurkan oleh Belanda. Sultan Tangkal Alam Bagagar berhasil ditangkap di Batu Sangkar (2 Mei 1833) dan dibuang di Batavia.

Kesultanan Samudra Pasai

BERDASARKAN Hikayat Raja-Raja Pasai, Kesultanan Samudra Pasai yang dikenal dengan Kesultanan Pasai atau Kesultanan Samudra Darussalam didirikan oleh Marah Silu (Sultan Malik as-Saleh) sekitar tahun 1267. Suatu pendapat mengatakan bahwa Kesultanan Samudra Pasai terletak di Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara, Aceh, Indonesia.

Kesultanan Samudra Pasai berusia sekitar 254 tahun yakni dari tahun 1267 hingga 1521. Pada tahun 1345 dan 1350, Samudra Pasai yang waktu itu dipimpin Sultan Ahmad Malik az-Zahir mendapatkan serangan dari Majapahit hingga mengalami kelumpuhannya.

Di masa pemerintahan Sultan Zain al-Abidin Malik az-Zahir (1383-1405), Kesultanan Samudra Pasai mengalami kebangkitan. Akan tetapi, Namun Samudra Pasai mengalami keruntuhannya sesudah mendapat serangan dari Portugis pada tahun 1521.

Kesultanan Aceh Darussalam

PADA tahun 1360, Kesultanan Aceh Darussalam didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah. Semasa pemerintahannya, Aceh Darussalam hanya menguasai wilayah Banda Aceh dan Aceh Besar. Namun lambat-laun, Sultan Ali Mughayat Syah berhasil menyatukan seluruh wilayah Aceh.

Kesultanan Aceh Darussalam mengalami puncak kejayaannya semasa pemerintahan Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1590-1636). Di masa itu, Aceh Darussalam menjadi salah satu pusat perdagangan yang sangat ramai di wilayah Asia Tenggara.

Semasa VOC masuk wilayah Nusantara, Kesultanan Aceh Darussalam perlahan-lahan mengalami masa surut. Selain itu, masa surut Aceh Darussalam pula dipicu oleh perang saudara antara Tuanku Sulaiman dengan Tuanku Ibrahim (Sultan Mansur Syah) di dalam memerebutkan tahta kekuasaan. Aceh Darussalam benar-benar mengalami kehancurannya sesudah mendapatkan serangan dari Belanda pada bulan Maret 1873.

Kesultanan Siak Sri Inderapura

KESULTANAN Siak Sri Inderapura merupakan Kerajaan Melayu Islam yang berdiri di Kabupaten Siak, Riau. Berdasarkan catatan sejarah, Siak Sri Inderapura didirikan di Buantan oleh Raja Kecil (putra Sultan Mahmud Shah dari Kesultanan Johor yang melarikan diri ke Pagaruyung bersama ibundanya Encik Apong). Sesudah mendirikan Kesultanan Siak Inderapura, Raja Kecil menobatkan diri sebagai raja bergelar Sultan Abdul Jalil pada tahun 1723.

Dalam perkembangannya, Kesultanan Siak Sri Inderapura muncul sebagai kerajaan bahari yang kuat dan diperhitungkan di pesisir timur Sumatera dan Semenanjung Malaya. Jangkauan terjauh pengaruh Kesultanan Siak Sri Inderapura sampai ke Sambas (Kalimantan Barat).

Kesultanan Siak Sri Inderapura mengalami masa surut sesudah perjanjian dengan pemerintahan Hindia yang ditandatangani pada tanggal 26 Juli 1873. Perjanjian itu menyatakan, bahwa Sultan Siak harus menyerahkan wilayah Bengkalis kepada Residen Riau. Namun di tengah tekanan tersebut, Kesultanan Siak Sri Inderapura masih mampu bertahan sampai kemerdekaan Indonesia.

Kerajaan Kutai Martapura

KUTAI Martapura merupakan kerajaan yang berada di Pulau Kalimantan. Tepatnya, kerajaan yang didirikan Aswawarman atau Wangsakerta (putra Kudungga) pada abad ke-4 tersebut terletak di hulu Sungai Mahakam, Muara Kaman, Kalimantan Timur.

Sepeninggal Aswawarman, Mulawarman menjabat sebagai raja Kutai Martadipura. Di masa pemerintahan Mulawarman, Kutai Martapura mengalami puncak kejayaan. Namun semasa pemerintahan Maharaja Dharma Setia, Kutai Martapura mendapat serangan dari Rajaa Aji Pangeran Anum Panji Mendapa. Akibat dari serangan itu, Maharaja Dharma Setia gugur. Kutai Martapura pun mengalami masa surutnya.

Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martapura

SEMULA Kutai Kartanegara didirikan oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti di Tepian Batu atau Kutai Lama pada abad ke-13. Pasca pemerintahan Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325), Kutai Kartanegara di bawah pemerintahan Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa. Di masa pemerintahannya tersebut, Sinum Panji Mendapa menyerang dan menaklukkan Kutai Martapura. Dengan demikian, Sinum Panji Mendapa menjadi raja Kutai Kartanagara dan sekaligus Kutai Martapura yang selunjutnya dikenal dengan Kutai Kartanegara ing Martapura.

Pada abad ke-17, Kutai Kartanegara ing Martapura diubah statusnya sebagai kesultanan (kerajaan Islam) oleh Sultan Aji Muhammad Idris yang memerintah mulai tahun 1735. Pada tahun 1778, Sultan Aji Muhammad gugur di medan perang saat bersama rakyat Bugis melawan pasukan VOC di daerah Wajo.

Karena serangan Belanda di bawah komando t'Hooft, Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martapura mengalami kehancuran. Di dalam pertempuran melawan Belanda, Sultan Aji Muhammad Salehuddin yang berhasil meloloskan diri itu diungsikan ke Kota Bangun. Sementara, Pangeran Senopati Awang Long gugur dalam pertempuran.

Kesultanan Gowa

KESULTANAN Gowa yang semula dikenal sebagai Kerajaan Gowa (Kerajaan Goa) didirikan Tumanurung di Sulawesi Selatan. Kerajaan yang didirikan sekitar tahun 1300 dan berpusat di Bate Salapang (Sembilan Bendera) itu memiliki 9 komunitas, yakni: Tombolo, Lakiung, Parangparang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero, dan Kalili.

Semasa pemerintahan Sultan Hasanuddin (I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin Tuminanga ri Balla'pangkana), Kesultanan Gowa mengalami perkembangan sangat signifikan. Di samping letaknya yang strategis, Gowa semasa pemerintahan Sultan Hasanuddin menjadi pusat perdagangan Islam. Masalah ini kemudian memicu VOC untuk membantu Aru Palaka yang tengah bermusuhan dengan Sultan Hasanuddin guna menyerang Gowa. Akibat dari penyerangana itu, benteng Borombong dan Ibukota Sombaopu jatuh ke tangan musuh. Hasanuddin berhasil ditangkap dan dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bongaya (1667).

Akibat kekalahan Sultan Hasanuddin oleh VOC, peran Kesultanan Gowa sebagai penguasa pelayaran dan perdagangan berakhir. Sebaliknya, VOC memeroleh tempat strategis di Indonesia bagian timur. Rakyat Gowa yang tidak bersedia menerima Perjanjian Bongaya, seperti: Kraeng Galesung dan Monte Merano melarikan diri ke Mataram. Kesultanan Gowa semakin melemah, tatkala benteng Sombaopu dihancurkan Speelman, dan benteng Makassar yang diubah namanya menjadi benteng Ford Roterdam itu dikuasai VOC.

Kerajaan Bone

KERAJAAN Bone yang terletak di Sulawesi bagian barat daya atau tepatnya di daerah Provinsi Sulawesi Selatan tersebut berdiri pada 1330. Sebagai raja Bone pertama adalah Mata Selompu Mapololiteng. Semasa pemerintahan Mata Selompu, rakyat Bone melakukan sumpah kesetiaannya kepada raja. Sumpah tersebut diwakili seorang pemimpin komunitas Cina.

Sebelum Belanda datang di Sulawesi Selatan, Kerajaan Bone merupakan wilayah merdeka. Namun sejak tahun 1666 hingga 1814, pemerintahan Bone menjadi jajahan Belanda. Kemudian pada tahun 1814-1816, Bone jatuh di tangan Inggris. Sesudah perjanjian di Eropa akibat jatuhnya Napoleon Bonaparte, Bone kembali jatuh di tangan Belanda pada tahun 1816.

Kesultanan Buton

MENURUT catatan sejarah, Kesultanan Buton yang berdiri pada 1332 itu dipimpin pertama kali oleh raja perempuan bernama Ratu Wa Kaa Kaa. Raja Buton ke-2 yang bernama Ratu Bulawambona juga perempuan. Sesudah dipimpin dua raja perempuan, Buton dipimpin Raja Bataraguru, Raja Tuarade, Raja Rajamulae, dan terakhir Raja Murhum. Ketika Raja Murhum memeluk agama Islam, maka gelar yang disandangnya adalah Sultan. Buton pun kemudian berubah status menjadi Kesultanan Buton.

Semasa pemerintahan Sultan Muhammad Idrus (1824-1850), Kesultanan Buton mencapai masa kejayaan. Di masa itu, kekuasaan Buton mencakup wilayah Pulau Buton, Muna, Kabaena, Tukangbesi, Poleang, Rumbia, dan pulau-pulau kecil di sekitar Buton dan Muna. Akan tetapi pada tahun 1873, Buton mengalami kemunduran sejak terwujudnya perjanjian dengan Belanda. Suatu perjanjian yang sangat merugikan pada pihak Buton. [Sri Wintala Achmad]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun