Akibatnya, Gajah Mada yang tidak mendapat restu saat menyerang rombongan pengantin dari Sunda tersebut disingkirkan dari urusan politik istana Majapahit. Sejak itu, Gajah Mada yang masih menjabat sebagai Mahapatih Amangkubhumi, namun tidak memiliki hak untuk menerapkan kebijakan di Majapahit.
Ketika Gajah Mada mangkat pada tahun 1364, Hayam Wuruk merasa kehilangan atas seorang yang sangat diandalkan dalam memerintah kerajaan. Wafatnya Gajah Mada dapat dikatakan sebagai detik-detik awal dari keruntuhan Majapahit.Â
Sepeninggal Gajah Mada, Hayam Wuruk memanggil para anggota Dewan Pertimbangan Agung (Bhattara Saptaprabhu) yang terdiri dari keluarga raja, yakni: Bhre Kuripan, Bhre Daha, Bhre Lasem, Raja Wengker, Raja Metahun, serta Bhre Pajang.
Di dalam rapat keluarga kerajaan Majapahit tidak dapat memutuskan seseorang yang pantas untuk menggantikan kedudukan Gajah Mada sebagai Mahapatih Amangkubumi. Rapat akhirnya memutuskan bahwa Gajah Mada tidak akan diganti. Untuk mengisi lowongnya posisi Mahapatih Amangkubumi, Hayam Wuruk memilih enam Mahamantri Agung untuk membantunya dalam menyelesaikan urusan negara.Â
Keenam Mahamantri tersebut, yakni: Empu Tandi terpilih (Wreddhamantri), Empu Nala (Tumenggung Mancanegara), Srti Nata Krertawardana dan Wikramawardhana (Dharmadyaksa atau Ketua Mahkamah Agung), Patih Dami (Yuwamantri atau Menteri Muda), dan Empu Singa (Sekretaris Negara).
Semua urusan negara yang dikemukakan di atas semula menjadi pekerjaan Mahapatih Amangkubhumi Gajah Mada seorang. Dengan demikian, betapa pentingnya kedudukan Gajah Mada semasa pemerintahan Hayam Wuruk di Majapahit.Â
Jabatan Mahapatih Hamangkubhumi tidak terisi selama tiga tahun, sebelum akhirnya Gajah Enggon ditunjuk oleh Hayam Wuruk untuk mengisi jabatan tersebut sesudah Gajah Mada meninggal.Â
Akan tetapi, prestasi Gajah Enggon tidak segemilang Patih Gajah Mada. Hal inilah yang menyebabkan salah satu faktor mulai surutnya Majapahit. [Sri Wintala Achmad]