Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menguak Sosok Gajah Mada

25 Mei 2019   08:10 Diperbarui: 25 Mei 2019   08:24 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Araska Publisher

MAJAPAHIT merupakan kerajaan di tanah Jawa yang dikenal dengan Wilwatikta. Kerajaan yang didirikan oleh Dyah Wijaya (Prabu Kertarajasa Jayawardhana/Nararya Sanggramawijaya Sri Maharaja Kertajasa Jayawardhana) di wilayah Tarik (Majakerta) pada tahun 1239 tersebut pernah mengalami awal kejayaan pada era pemerintahan Tribhuwana Wijayatungggadewi (1328-1350) dengan Mahapatih Amangkubumi Gajah Mada. Adapun, puncak kejayaan Majapahit sewaktu diperintah oleh Hayam Wuruk pada tahun 1350-1389.

Pada masa awal hingga puncak kejayaan Majapahit, menurut para sejarawan tidak bisa dilepaskan dengan peran Gajah Mada. Namun awal masa surut Majapahit pula dikarenakan tindakan ambisius Gajah Mada yang membunuh Maharaja Prabu Linggabuanawisesa (raja Sunda) beserta rombongan pengantin dari Sunda dalam Perang Bubat pada tahun 1357. 

Akibat tindakan gegabah tersebut, Gajah Mada dijauhkan oleh Hayam Wuruk atau mengundurkan diri dari urusan politik istana Majapahit. Sejak itu, Majapahit berangsur-angsur mengalami masa surut yang dimulai sejak Perang Paregreg, perang saudara, hingga hancurnya Majapahit karena serangan Kesultanan Demak pada tahun 1527.

Dari uraian di muka memberikan kesan bahwa masa awal kejayaan dan masa surut Majapahit adalah masa awal kejayaan dan masa surut Gajah Mada. Sehingga Gajah Mada senampak sebagai faktor penentu terhadap nasib Majapahit pada era keberadaannya sejak sebagai kerajaan paska Singhasari atau Daha (1239) hingga masa Kesultanan Demak (1527).

Karena keberadaannya dalam sejarah Majapahit tidak dapat dipandang sebelah mata, maka mengenal lebih jauh mengenai Gajah Mada menjadi sangat penting. 

Agar mengenalnya dapat secara obyektif, maka saja kajian Gajah Mada yang hidup pada masa pemerintahan Jayanagara (1309-1328), Tribhuwana Wijaya Tunggadewi (1328-1350), dan Hayam Wuruk (1350-1389) di Majapahit tersebut bukan hanya menyoal mengenai sisi positif, melainkan pula sisi negatifnya. Pengertian lain, mengenal sisi gelap (hitam) dan putih (terang)-nya Gajah Mada.

Gajah Mada Semasa Pemerintahan Jayanagara

Paska pemerintahan Dyah Wijaya pada tahun 1309, Jayanagara (Anantawikramottunggadewa Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adiswara) naik tahta sebagai raja Majapahit kedua. 

Sebagaimana pemerintahan Dyah Wijaya, pemerintahan Jayanagara pula diwarnai berbagai pemberontakan di dalam merebut tahta kekuasaan Majapahit.

Pemberontakan yang muncul pada era pemerinthan Jayanagara dimulai dari pemberontakan Nambi yang mendapat  dukungan Aria Wiraraja, Pamandana, Pawagal; pemberontkan Ra Semi; pemberontakan Ra Kuti yang mendapat dukungan Ra Yuyu dan Ra Tanca. Sewaktu melakukan pemberontakan, Ra Kuti bergabung dengan Winehsuka.

Pada masa pemberontakan Ra Kuti, Gajah Mada yang masih dikenal dengan Jaka Mada menjabat sebagai bekel dan pimpinan pasukan Bhayangkara. Karena Jayanagara dan keluarga istana Majapahit dalam bahaya, Bekel Jaka Mada beserta pasukan Bhayangkara membawa Jayanagara menuju desa Bedander. Menginap di rumah kepala desa. Sejak itu, Majapahit dikuasi oleh Ra Kuti.

Sesudah Jayanagara beserta keluarga istana Majapahit merasa aman di desa Bedander, Bekel Jaka Mada berniat menumpas pemberontakan Ra Kuti. Langkah pertama yang diambilnya yakni membunuh Singha Parapen yang merupakan mata-mata Ra Kuti. 

Langkah kedua yakni menyerang Ra Kuti dan pengikutnya bersama pasukan Bhayangkara dan pasukan Majapahit yang baru pulang dari Bali. Karena pasukannya sangat kuat, Bekel Jaka Mada berhasil menumpas pemberontakan Ra Kuti.

Selain menumpas pemberontakan Ra Kuti, Bekel Jaka Mada pula membunuh Halayuda (Kakawin Nagarakretagama) atau Mahapati (Serat Pararaton). Alasan pembunuhan terhadap Halayuda, karena patih yang dikenal sebagai Sengkuni Majapahit tersebut dicurigai sebagai sosok di balik layar pemberontakan Ra Kuti.

Ketika kotapraja Majapahit kembali aman, Bekel Jaka Mada membawa pulang Jayanagara beserta keluarganya kembali ke istana Majapahit. Dengan demikian, Bekel Jaka Mada telah menunjukkan prestasinya sebagai penyelamat Jayangara dan sekaligus penyelamat Majapahit. Berkat prestasinya itu, Bekel Jaka Mada diangkat sebagai Patih Kahuripan dan kemudian Patih Daha.

Perkembangan selanjutnya, Bekel Jaka Mada membunuh Ra Tanca (tabib istana Majapahit) yang telah membunuh Jayanagara. Motivasi Ra Tanca membunuh Jayanagara karena telah mengganggu istrinya. Pendapat ini berdasarkan Serat Pararaton.

Sementara Motivasi Bekel Jaka Mada membunuh Ra Tanca karena telah membunuh Jayanagara. Namun peristiwa tersebut diluruskan oleh sebagian analis sejarah, di mana motivasi Bekel Jaka Mada membunuh Ra Tanca utusannya agar jejak niatnya untuk membunuh Jayanagara tidak diconangi. 

Mengingat Bekel Jaka Mada tidak sepakat kalau Jayanagara menikahi Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat -- kedua adik tirinya. Diketahui pula bahwa Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat merupakan saudara sekakek (Kertanagara) dengan Gajah Mada.

Gajah Mada Semasa Pemerintahan Tribhuwana

Sepeninggal Jayanagara, Dyah Gitarja naik tahta. Ketika menjabat sebagai raja, Dyah Gitarja yang dikenal dengan Tribhuwana Wijayatunggadewi tersebut menggunakan gelar abhiseka Sri Tribhuwanottunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani (Prasasti Singhasari dan Piagam Berumbung, 1351).

Semasa Tribhuwana Wijayatunggadewi bermaksud menumpas pemberontakan Sadeng dan Keta (Wirota dan Wiragati), Jaka Mada berseteru dengan Ra Kembar. Perseteruan tersebut untuk mendapatkan kepercayaan dari Tribhuwana untuk dijadikan panglima perang dalam misi penumpasan pemberontakan tersebut.

Karena prestasinya di dalam penumpasan pemberontakan Sadeng dan Keta, Bekel Jaka Mada diangkat sebagai Mahapatih Amangkubhumi Majapahit dengan menggantikan patih lama yakni Aria Tadah. 

Semasa menjabat sebagai Mahapatih Amangkubhumi, Jaka Mada mendapat gelar dari Raja Tribhuwana yakni Gajah Mada. Sejak itu, Jaka Mada dikenal dengan Gajah Mada.

Untuk mendukung misi penyatuan wilayah Nusantara di bawah naungan Majapahit, Mahapatih Amangkubhumi Gajah Mada mengikrarkan Sumpah Palapa pada tahun 1336. 

Sumpah tersebut berisi bahwa Gajah Mada tidak akan melakukan amukti palapa (menyantap bumbu dapur) sebelum menaklukkan wilayah-wilayah di Nusantara, di antaranya: Gurun, Seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik.

Di dalam merealisasikan Sumpah Palapa-nya, Gajah Mada didukung oleh Adityawarman dan Laksamana Nala. Sekalipun mendapat dukungan dari dua tokoh penting Majapahit tersebut, Gajah Mada belum berhasil merealisasikan sumpahnya. Mengingat Sunda tidak berhasil ditaklukkan oleh Gajah Mada semasih menjabat sebagai Mahapatih Amangkubhumi.

Gajah Mada Semasa Pemerintahan Hayam Wuruk

Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, Majapahit mengalami masa keemasan. Selain ditandai dengan munculnya banyak karya sastra, masa keemasan Majapahit ditengarai dengan keberhasilannya di dalam menguasai wilayah-wilayah di Nusantara. Sehingga Majapahit dikenal sebagai Nusantara II paska runtuhnya kekuasaan Sriwijaya (Nusantara I).

Keberhasilan Majapahit di dalam menaklukkan wilayah-wilayah di Nusantara tidak bisa dilepaskan dengan Gajah Mada yang mendapat dukungan dari Adityawarman yang berhasil menguasai Pagaruyung (bekas wilayah Sriwijaya) serta Laksamana Nala yang memimpin Angkatan Laut Majapahit.

Sekalipun mampu menundukkan sebagian besar wilayah Nusantara, namun Gajah Mada belum berhasil menaklukkan Sunda. Sebab itu, ketika Hayam Wuruk berhasrat menyunting Dyah Pitaloka Citraresmi -- putri Prabu Maharaja Linggabuanawisesa (Raja Sunda), Gajah Mada melakukan politisisasi. 

Di mana Dyah Pitaloka yang diserahkan oleh Prabu Linggabuanawisesa sebagai calon pengantin (istri) Hayam Wuruk tersebut dipolitisasi sebagai tanda takluk Sunda pada Majapahit. Akibat politisasi Gajah Mada tersebut, pecahlah perang antara pasukan Majapahit di bawah komando Gajah Mada dan rombongan pengantin Sunda di lapangan Bubat pada tahun 1357.

Munculnya Perang Bubat yang mengakibatkan tewasnya Maharaja Linggabuanawisesa, permaisuri, Dyah Pitaloka, dan rombongan pengantin dari Sunda itu membuat geram Hayam Wuruk. 

Akibatnya, Gajah Mada yang tidak mendapat restu saat menyerang rombongan pengantin dari Sunda tersebut disingkirkan dari urusan politik istana Majapahit. Sejak itu, Gajah Mada yang masih menjabat sebagai Mahapatih Amangkubhumi, namun tidak memiliki hak untuk menerapkan kebijakan di Majapahit.

Ketika Gajah Mada mangkat pada tahun 1364, Hayam Wuruk merasa kehilangan atas seorang yang sangat diandalkan dalam memerintah kerajaan. Wafatnya Gajah Mada dapat dikatakan sebagai detik-detik awal dari keruntuhan Majapahit. 

Sepeninggal Gajah Mada, Hayam Wuruk memanggil para anggota Dewan Pertimbangan Agung (Bhattara Saptaprabhu) yang terdiri dari keluarga raja, yakni: Bhre Kuripan, Bhre Daha, Bhre Lasem, Raja Wengker, Raja Metahun, serta Bhre Pajang.

Di dalam rapat keluarga kerajaan Majapahit tidak dapat memutuskan seseorang yang pantas untuk menggantikan kedudukan Gajah Mada sebagai Mahapatih Amangkubumi. Rapat akhirnya memutuskan bahwa Gajah Mada tidak akan diganti. Untuk mengisi lowongnya posisi Mahapatih Amangkubumi, Hayam Wuruk memilih enam Mahamantri Agung untuk membantunya dalam menyelesaikan urusan negara. 

Keenam Mahamantri tersebut, yakni: Empu Tandi terpilih (Wreddhamantri), Empu Nala (Tumenggung Mancanegara), Srti Nata Krertawardana dan Wikramawardhana (Dharmadyaksa atau Ketua Mahkamah Agung), Patih Dami (Yuwamantri atau Menteri Muda), dan Empu Singa (Sekretaris Negara).

Semua urusan negara yang dikemukakan di atas semula menjadi pekerjaan Mahapatih Amangkubhumi Gajah Mada seorang. Dengan demikian, betapa pentingnya kedudukan Gajah Mada semasa pemerintahan Hayam Wuruk di Majapahit. 

Jabatan Mahapatih Hamangkubhumi tidak terisi selama tiga tahun, sebelum akhirnya Gajah Enggon ditunjuk oleh Hayam Wuruk untuk mengisi jabatan tersebut sesudah Gajah Mada meninggal. 

Akan tetapi, prestasi Gajah Enggon tidak segemilang Patih Gajah Mada. Hal inilah yang menyebabkan salah satu faktor mulai surutnya Majapahit. [Sri Wintala Achmad]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun