DALAM dinamika kehidupan perpuisian di Indonesia tidak bisa dilepaskan dengan media elektronik dan media cetak. Melalui kedua media tersebut, para kreator puisi memublikasikan karya-karyanya. Sehingga karya-karya mereka yang disiarkan melalui radio yang sempat eksis paa tahun 80-an dapat didengar publik. Begitu juga, karya-karya mereka yang dimuat di media cetak (koran, majalah, tabloid, jurnal, buku) dapat dibaca publik.
Sesudah radio tidak lagi menyiarkan acara baca puisi; koran, majalah, tabloid, jurnal, atau buku merupakan media untuk memublikasikan puisi. Karena ketatnya kompetisi untuk memublikasikan puisi di media cetak, Â banyak kreator puisi mundur teratur sebelum mendapat legitimasi sebagai penyair. Sementara mereka yang memiliki mental baja dan karya-karya berkualitas berhasil menembus media cetak. Hingga karya-karya mereka dikenal publik dan eksistensi kepenyairannya pun diakui.
Salah seorang kreator puisi yang karya-karyanya berhasil tembus media cetak sesudah rajin memublikasikan melalui internet adalah Ummi Azzura Wijana. Seorang penyair kelahiran Semanu (Gunungkidul) yang karya-karyanya pernah menghiasi rubrik puisi di harian Kedaulatan Rakyat, mingguan Minggu Pagi, majalah Sabana, harian Menoreh, dan lain-lain.
Selain media cetak, Ummi memublikasikan karya-karyanya ke dalam antologi puisi kolektif. Berkat spiritnya yang berkobar, Ummi membacakan karya-karyanya di berbagai kota, khusunya di Yogyakarta. Â
Dari Tema Cinta hingga Cerita Rakyat
MENURUT hemat penulis, Ummi Azzura Wijana yang semula menggunakan nama pena Umi Azzurasantika mulai mencipta puisi sejak 2013. Pada awal proses kreatifnya, karya-karya Ummi yang cenderung bertema cinta dan religi masih terkesan lugas, transparan, profan, dan belum berhasil menggapi nuansa romantiknya. Unsur-unsur pesajakan di dalam setiap karyanya juga masih terasa dipaksakan.
Pertengahan 2015, Ummi yang mulai intens bergaul dengan para penyair senior Yogyakarta semakin memahami tentang puisi berstandar kualitatif. Hingga lahirlah beberapa karya Ummi yang merefleksikan pekermbangan proses kreatifnya. Menurut penulis, salah satu karya Ummi yang cukup berhasil yakni puisi bertajuk Menoreh Selepas Subuh. Puisi yang sarat dengan diksi-diksi memikat, majas, metafora, simbol, dan kekuatan imajiansinya tersebut dikutip sebagai berikut:
SATU hal penting yang layak mendapat apresiasi yakni penuturan Ummi. Di mana penyair yang tidak sekadar mencipta puisi namun pula karya artikel ini tidak pernah puas dengan capaian hasil terbarunya. Upaya untuk terus melakukan eksplorasi puitiknya tidak pernah pupus. Upaya untuk mencari ide-ide baru dalam penciptakan karya-karyanya akan dilakukan sampai akhir hayat.
Pandangan yang bersumber dari kesadaran Ummi tersebut berpijak pada pemahamannya bahwa kepuasan merupakan titik akhir proses kreatif. Karenanya, Ummi tidak pernah puas dengan karya-karya yang telah diciptakannya. "Bukankah karya-karya yang sekarang kita ianggap 'keren' belum tentu memikat saat dibaca satu atau dua tahun ke depan?"
Apa yang disampaikan Ummi di muka selayaknya menjadi permenungan bagi setiap kreator. Karenanya setiap kreator perlu meningkatkan kualitas karyanya melalui proses kreatif yang bertahap dan berani bereksplorasi. Ini dimaksudkan agar setiap kreator tidak mengalami stagnasi kreatif. Berlari kencang, namun tetap bergerak di titik yang sama. Â
-Sri Wintala Achmad-