Tanpa memperhatikan Nyi Randanunut dan Bagong yang telah mojok berdua di bangku tamansari di bawah pohon jambu air, Nyi Lambangsari membawa Gareng menuju keputren. Menghadap Siti Sendari -- puteri Prabu Kresna yang terlahir dari Sang Hyang Bathari Pertiwi, yang tengah duduk di ruangan depan keputren.
"Tuan Putri Siti Sendari, hamba menghaturkan sembah." Nyi Lambangsari menghaturkan sembah dengan wajah setengah tertunduk. "Mohon ampun, tuan Putri. Hamba melapor, kalau Kang Gareng akan menghadap Gusti Putri untuk menyampaikan berita dari perkemahan Randu Watangan."
"Aku persilakan...."
Nyi Lambangsari memohon diri. Tak sampai hitungan menit, Nyi Lambangsari kembali memasuki ruangan depan keputren itu bersama Gareng. Sesudah menghaturkan sembah bakti pada Siti Sendari, Gareng menyampaikan kabar dari Randu Watangan. "Ampun, Gusti Putri. Perkenankan hamba menyampaikan kabar dari Ramanda Gusti Putri -- Prabu Kresna!"
"Sampaikan kabar itu!"
"Harap diketahui! Bila Gus Abimanyu telah gugur di Kurusetra. Gugur di tangan Adipati Jayajatra dari Banakeling."
Mendengar penuturan Gareng, Siti Sendari yang dikenal sebagai wanita berjiwa teguh itu teringat dengan sumpahnya di hadapan Abimanyu. Siti Sendari akan bela pati, bila Abimanyu gugur di medan laga. Tanpa sepatah kata, Siti Sendari meninggalkan ruangan itu. Memasuki ruang pribadinya. Sesudah mengenakan pakaian serba putih seperti seorang resi, Siti Sendari kembali ke ruangan semula. "Antarkan aku ke perkemahan Randuwatangan, Punakawan!"
Sebagai abdi negara yang setiap bulannya mendapatkan gaji, Gareng mengikuti perintah Siti Sendari. Terpaksa mengikis kepentingannya sendiri untuk berasyik mesum dengan Lambangsari. Tanpa disertai Bagong yang masih bermesraan dengan Nyi Randanunut di pojok tamansari, Gareng meninggalkan Tanjunganom. Mengantarkan Siti Sendari yang mendapatkan pengawalan ketat dari para prajurit itu menuju Perkemahan Randu Watangan.
***
Tak dikisahkan perjalanan Siti Sendari, Gareng, dan seluruh prajurit dari Kadipaten Tanjunganom ke Perkemahan Randuwatangan yang menyusuri tepian hutan Tikbrasara. Bergantilah kisah di kaki Gunung Setrakuru. Dimana Arjuna dan Bima tengah terperangkap semalam ke dalam telaga embel. Kedua senapati perang dari Amarta itu hanya terdiam dengan wajah tertunduk, namun matanya sesekali mengerling ke arah Gardapati dan Wresaya yang tampak pongan sesudah merasa jaya di tepian telaga embel.
"Arjuna! Bima!" Gardapati yang barusan berbincang dengan Wresaya itu berteriak lantang. "Apakah kalian sudah siap mampus hari ini?"