"Karenanya aku tidak setuju dengan kebijakan Dulkemit yang ingin membunuh mereka. Kejahatan jangan dilawan dengan kejahatan. Kejahatan harus dilawan dengan kebajikan. Bukankah api selalu padam oleh air?"
"Aku juga tidak setuju dengan pendapat Kiai." Gondes yang masih suntuk bermain remi dengan Kontet dan Panjul itu menyela pembicaraan. "Orang-orang serigala harus dibunuh. Mereka telah membunuh bayi-bayi kami. Hutang nyawa dibalas dengan nyawa."
"Sabar! Sabar!"
"Kiai Miswan bisa sabar, tetapi aku tidak." Gondes membanting kartu King di ujung deretan kartu yang mengular di atas tikar. "Sebagai ayah yang bayinya dimangsa orang serigala, aku tidak bisa bersabar. Aku tidak bisa tidur nyenyak, sebelum mencabik-cabik tubuh orang serigala yang memangsa bayiku.
Suasana mendadak senyap. Di tengah kesenyapan itu, terdengar raungan orang serigala dari kejauhan. Tanpa berpikir panjang; Gondes, Kontet, dan Panjul yang menghentikan permainan reminya itu meninggalkan poskamling. Demikian pula, aku. Kami yang membawa senjata berjalan cepat ke arah sumber suara raungan. Sementara, Kiai Miswan hanya tinggal di poskamling
Menapaki jalan berumput yang mulai basah embun, kami serasa pahlawan yang akan membasmi kejahatan. Saat mendekati sumber suara raungan, kami melihat orang-orang berseragam Hansip dan Hanra yang berlarian tunggang langgang memasuki Kampung Pasiraman. Salah seorang bilang, "Jangan hadapi mereka! Bahaya! Ratusan orang serigala menculik Lurah Dulkemit. Mereka mencabik-cabik tubuhnya, sebelum beramai-ramai memangsanya."
Mendengar kabar dari orang itu, nyali kami sontak melempem seperti kerupuk di kubangan kuah. Bersama orang itu, kami bergegas mengambil langkah seribu. Gondes, Kontet, dan Panjul pulang ke rumah masing-masing. Aku yang masih punya nyali kembali ke Poskamling untuk menemui Kiai Miswan. Namun, ia sudah tidak ada di sana.
***
PAGI hari, Kalurahan Nguditentrem geger. Seluruh warga membicarakan tentang peristiwa tewasnya Lurah Dulkemit yang diculik, dicabik-cabik, dan dimangsa orang-orang serigala. Sebagimana mereka, aku pun memerbincangkan peristiwa itu di rumah Kiai Miswan. Namun, orang yang dituakan di Kampung Pasiraman itu tampak tenang. Seolah ia menganggap bahwa kematian Lurah Dulkemit itu wajar.
"Tampaknya Kiai tidak merasa berduka atas meninggalnya lurah kita?"
"Dulkemit telah memetik buah dosa yang dilakukannya." Kiai Miswan sejenak mengisap rokok dan menghembuskan asapnya lewat lubang hidung dan mulutnya. "Manakala Kampung Serigala dalam kesejahteraan, Dulkemit yang telah menjadi lurah selama dua periode itu selalu mengambil kesempatan untuk membeli hasil buminya dengan harga murah. Mengizinkan orang-orang di sana untuk pesta tuak dengan nanggap tayub, main perempuan, sabung jago, dan berjudi. Sesudah kampung itu terkena kutukan hingga warganya berubah menjadi orang-orang serigala, ia tidak berusaha membebaskannya. Sebaliknya, ia memiliki rencana besar yang tidak diketahui semua warga Nguditentrem."