Mohon tunggu...
Achmad Tijani
Achmad Tijani Mohon Tunggu... -

Sang Pejantan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bedah Buku: Senandung Cinta Si Bahlul

5 Juli 2017   10:18 Diperbarui: 5 Juli 2017   10:28 693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: Dok.Pribadi

Buku Senandung Cinta Si Bahlul ini juga tidak hanya dapat menggambarkan kelihaian penulisnya dalam merangkul dan menjembatani pluralitas, tapi segmentasi sajian dari sisi judul buku juga menjadi perhatian yang tidak kalah menariknya dari elastisitas puisi itu sendiri. Term Bahlul banyak diidentikkan dengan sosok yang lugu dan bodoh, atau dalam strata sosial menempati posisi paling bawah. Walau demikian, term Bahlul dalam hal ini mempunyai makna berbeda dari makna pada umumnya. Hal tersebut dapat dilihat dari pesan-pesan pada bait-bait puisi si penulis yang sangat dalam.

Perbedaan makna dari makna mainstream pada term Bahlul mungkin dapat diilustrasikan pada gradasi ilmu dalam pandangan berikut; Pertama kelompok orang yang memiliki keterbatasan ilmu bisa dibilang sebagai mambaul ilmi(sumber ilmu), keduakelompok orang yang lebih baik kelimuannya dari kelompok pertama bisa dibilang nahrul ilmi(sungai ilmu) dan ketigaorang yang memiliki ilmu yang sangat luas dapat dibilang sebagai bahrul ilmi(samudera ilmu). Term Bahlul memang bukan bagian dari gradasi ilmu tersebut, namun dilihat dari pesan-pesan yang dalam pada buku Senandung Cinta Si Bahlul karya Eka Hendri ini, saya pribadi (penulis) menduga bahwa makna Bahlulmerupakan puncak pengetahuan yang kemudian akan mengembalikan manusia pada kebodohan. Maka, orang yang sangat pintar bisa jadi merekalah yang juga merasa bodoh.

***

Secara garis besar buku Senandung Cinta Si Bahlul dibagi menjadi lima bagian. Pembagian tersebut secara nominal mempunya kemiripan dengan rukun Islam yang juga ada lima. Mungkin saja pembagian tersebut hanya kebetulan dan tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan rukun Islam itu sendiri. Namun angka lima merupakan angka ganjil, dimana dalam terminologi agama angka ganjil banyak diidentikkan dengan segala hal yang disukai oleh Allah.

Asosiasi di atas mungkin bisa jadi cukup berlebihan, namun sekali lagi penulis atas nama kemerdekaan pembaca karya sastra tentu sah-sah saja untuk menafsirkannya secara bebas. Apalagi penafsiran yang bebas tersebut tidaklah benar-benar lepas dari realitas dan makna-makna puisi yang ada dalam buku Senandung Cinta Si Bahlul. Secara kasat mata gambar pada cover buku tersebut begitu sangat abstrak, tidak dapat dinilai secara positivistik yang hanya berpijak pada ukuran angka belaka. Gambar tersebut mengajak setiap perasaan untuk melayang, mengawang diantara kepulan asap putih yang seakan terdapat orang menari membelah awan. Dalam dunia mitologi keberadaan Tuhan ditempatkan di atas, yang berarti digambarkan ada di langit. Maka gambaran orang menari membelah awan pada cover buku tersebut seakan mengajak setiap individu mendekati Tuhan.

Angka lima yang ganjil, isi puisi yang sangat sufistik serta pilihan gambar cover yang abstrak adalah sajian yang tidak dapat diabaikan tanpa makna. Maka asosiasi berlebihan mengenai lima bagian dalam buku Senandung Cinta Si Bahlul dengan rukun Islam yang lima walau tidak memiliki hubungan yang signifikan, namun penulis menduga bahwa lima bagian dalam buku tersebut juga dapat dibilang sebagai rukun atau pilar-pilar yang dapat menyanggah individu dekat dengan Tuhannya. Berikut penulis mencoba membagikan pemahaman penulis mengenai lima bagian dalam buku Senandung Cinta Si Bahlul.


Bagian pertama, penulis buku memberinya tema Amanah Kehidupan. Pada bagian ini terdapat 9 judul puisi yang secara garis besar berisi tentang berbagai realitas yang paling dekat dengan kehidupan penulis buku. Dalam hal ini pesan-pesan yang disampaikan terlihat sangat domistik dalam lingkungan keluarga. Ada kebanggaan, espektasi dan pesan moral orang tua kepada anaknya. Namun yang paling penting dalam persoalan amanah kehidupan adalah menjaga hubungan interelasi yang harmonis dalam keluarga, suami tidak boleh egois, bahkan harus menempatkan istri sebagai pengendali kehidupan keluarga yang dapat mengantarkan menjadi keluarga yang beriman dalam bingkai sakinah, mawadah wa rohmah.

Penulis menemukan pada bigian pertama ini ada makna yang sederhana pada tem Amanah yang disajikan oleh penulis buku, namun di dalamnya terdapat makna fungsional luar biasa untuk kehidupan. Jika kebanyakan orang menempatkan term amanah selalu berkorelasi dengan kekuasaan dan harta, maka Eka Hendry memberikan masukan yang berbeda, bahwa Amanah adalah kepercayaan yang diberikan oleh Allah dalam memiliki keluarga untuk menuju kebahagiaan dalam beribadah kepada Allah.

Bagian kedua, Suara Perempuan. Bagi penulis buku, perempuan itu memiliki fungsi yang sangat vital dalam kehidupan. Terdapat delapan judul eksplisit mengenai prempuan, dimana penulis buku menempatkan perempuan sebagai puncak keindahan dan pengendali kehidupan. Jika baik perempuannya, maka baik pulalah dunia ini. Untuk itu doa sang perempuan bisa jadi mukjizat, tangisnya menjadi kesedihan dunia dan maksiatnya bisa jadi laknat untuk dunia.

Bagian ketiga, Syair Sang Pecinta. Bagian ini bisa jadi menjadi bagian inti dari segala pesan yang ingin disampaikan oleh penulis buku. Uraian mengenai konsekuensi bertauhid yang tidak hanya berhenti pada keyakinan dalam hati (tashdiq bi al-qalbi)dan pengakuan secara lisan (nutqan bi al-lisan)tapi harus diikuti dengan tindakan nyata (amal bi al-arkan).Tiga hal tersebut secara implisit terurai dalam suatu pengakuan terhadap ke-Mahabesaran Allah dalam cintanya seorang hamba terhadap Allah dan Muhammad sebagai Rasul-Nya. Pada bagian ini pulalah nuansa sufistiK itu sangat kental dengan singgungan-singgungan mengenai ahwaldan maqamat.(lihat pusi judul: ana al-haq dan Kiblat Hati).

Bagian keempat, Sabda Jiwa Petapa. Pada Bagian ini terdapat upaya serius dari penulis buku untuk memaknai keramaian dan keheningan. Sesekali penulis buku seakan keluar masuk pintu keramaian dan keheningan secara bergantian, sehingga bisa saja secara fisik sedang berada dalam keramaian, namun sejatinya penulis buku sedang bertapa membangun makna dalam kesepian dan kesendiriannya. Upaya tersebut satu sisi merupakan bagian menjada kesadaran si penulis buku terhadap dirinya, pada saat yang sama ingin terus terjaga dan terhubung dengan Allah Tuhan semesta Alam. (lihat puis juduli: Menanti di bawah pohon penantian dan Tirai Subuh).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun