Mohon tunggu...
Abu Tajir
Abu Tajir Mohon Tunggu... Freelancer - Bakul buku

Bakul buku yang hobi duit, nulis dan mengolah manusia

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Media Massa sebagai Alat Propaganda AS

25 Januari 2020   12:50 Diperbarui: 25 Januari 2020   12:50 1193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Dapat dikatakan, citra negatif Islam di dunia internasional saat ini sangat dipengaruhi oleh pemberitaan di berbagai media massa internasional yang terkonsentrasi di Barat.

Begitu pula berbagai informasi mengenai apa yang didakwakan sebagai jaringan terorisme Islam dan tokoh-tokohnya yang hadir ke permukaan dengan pola serupa: melibatkan informasi yang datang dari sumber intelijen, atau sumber yang tak mau disebutkan namanya, diiringi dengan ilustrasi yang umumnya bersifat permukaan, ditambah pernyataan resmi pemerintah yang juga bersifat simplistis.

Kendatipun media massa internasional yang umumnya berasal dari negara-negara Barat ini sebenarnya memiliki reputasi tinggi dalam hal obyektifitas dan akurasi, adalah tidak berlebihan untuk menyangka bahwa mereka terlibat dalam upaya disinformasi atau penyesatan informasi yang diarahkan pada khalayak internasional.

Dalam kasus tertentu, media bisa saja melakukannya karena disusupi agen inteljen, karena fanatik golongan atau karena pertimbangan melindungi kepentingan politik dan bisnis.

Kemandirian media massa ternyata tidak menyebabkan mereka juga sepenuhnya berdiri di luar garis kebijakan pemerintah. Bila ini dianggap sebagai ironi, satu poin ini mungkin bisa menjelaskannya:

Penjelasan pertama, adalah bahwa pemerintah AS memang secara aktif melakukan serangkaian upaya propaganda internasional. Propaganda pada dasarnya adalan upaya sengaja dan sistematis dengan memanfaatkan semua media komunikasi untuk mempengaruhi publik agar bereaksi sesuai dengan yang diinginkan sang propagandis.

Sejarah memang mencatat banyak ahli propaganda menghalalkan berbagai cara yang tidak etis dalam mencapai tujuan yang diinginkan, termasuk merekayasa berita atau disinformasi.

Depertemen Luar Negeri AS misalnya, secara aktif mendanai dan memproduksi berbagai publikasi atau produk video dan audio yang disebarkan ke seluruh dunia yang tujuannya tentu saja untuk mempengaruhi opini publik internasional. 

Kedutaan AS di Jakarta misalnya, melakukan kontak dan kerja sama aktif dengan berbagai stasiun televisi swasta di Indonesia, sebagai media penyebaran video-video tentang negara mereka. ltu tentu saja cara yang halus dan 'halal' dalam propaganda internasional.

Masalahnya, pemerintah AS diketahui juga menggunakan cara-cara yang sebenarnya tidak etis dalam propaganda nasional. Salah satu metode yang terkenal adalah apa yang disebut "planting" atau "penanaman" atau "penyusupan". 

Strategi ini merujuk pada ditempatkannya sejumlah jurnalis yan dibayar oleh organ pemerintah di media massa swasta, serta disalurkannya cerita-cerita (atau berita-berita) yang mendukung kebijakan pemerintah ke media massa melalui beragam sarana. 

Cerita-cerita itu bisa saja memiliki dasar fakta yang kuat, namun juga seringkali hanya hasil rekayasa yang dilakukan untuk menyesatkan khalayak. Hal yang terakhir itu disebut sebagai "disinformasi".

Lembaga pemerintah yang diketahui aktif mengembangkan metode tersebut adalah dinas rahasia luar negeri AS, CIA.

CIA juga diketahui memanfaatkan jurnalis untuk berbagai operasi intelijen.

Selain pemanfaatan langsung jurnalis sebagai "agen" ini, CIA juga memiliki, mensubsidi, dan mempengaruhi banyak surat kabar, kantor berita, dan media lainnya.

Dimana-mana mereka menanamkan cerita-cerita rekayasa atau cerita sesungguhnya yang diselewengkan framing-nya. Cerita-cerita semacam itu sering digunakan.

Sebagai contoh adalah berita pidato rahasia pemimpin Uni Soviet, Nikita Khrushchev, pada Kongres Partai Komunis ke-20 pada 1956. Pidato tersebut benar-benar ada, namun versi berita yang dipublikasikan di media massa AS, sudah mendapat tambahan isi oleh para ahli CIA. Jadi, dalam berita yang disajikan di media Barat, terdapat "tambahan 34 paragraf" mengenai kebijakan luar negeri yang tak terdapat dalam naskah aslinya.

Contoh lainnya:

Dari 1970 sampai akhir rezimnya yang dramatis pada 1973, Presiden Chili, Salvador Allende yang terpilih secara demokratik namun tak disukai AS karena kecenderungan sosialistiknya, menjadi korban cerita-cerita ditanam CIA, bahkan di surat kabar prestisius seperti New York Times dan Washington Post.

Olahan ini dari makalah "Keterlibatan Media Massa dalam Disinformasi dan Propaganda Internasional" karya Dr. Ade Armando.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun