Mohon tunggu...
Ramdhan hunowu
Ramdhan hunowu Mohon Tunggu... Penulis

Penulis aktif

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dinamika Kebudayaan Sulawesi Tenggara

28 Oktober 2024   12:29 Diperbarui: 28 Oktober 2024   12:38 2510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Provinsi Sulawesi Tenggara sumber gambar hallo.sultra.id

Created By MUSRIFAT LAODE RAEHA-MARDIA BIN SMITH-BIMBINGAN DAN KONSELING- UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

Sulawesi Tenggara merupakan provinsi di Indonesia yang kaya akan budaya dan sejarah. Terletak di bagian tenggara Pulau Sulawesi, provinsi ini dihuni oleh berbagai suku yang memiliki tradisi dan kebudayaan yang beragam. Dalam konteks sejarah, kebudayaan Sulawesi Tenggara tidak terlepas dari pengaruh berbagai peristiwa, interaksi antarsuku, serta pengaruh luar yang membentuk identitas masyarakatnya. Pembahasan ini akan menguraikan secara mendalam sejarah dan latar belakang kebudayaan Sulawesi Tenggara, termasuk asal-usul suku-suku yang ada, perkembangan kerajaan, serta pengaruh agama dan perdagangan.

Masyarakat di Sulawesi Tenggara terdiri dari berbagai suku bangsa, di antaranya adalah suku Muna, Tolaki, Buton, Bajo, Wakatobi, Kabaena, dan Wolio. Setiap suku memiliki karakteristik budaya yang unik dan telah berinteraksi satu sama lain selama berabad-abad. Suku Muna adalah salah satu suku terbesar di Sulawesi Tenggara yang memiliki sejarah panjang. Mereka dikenal sebagai masyarakat agraris yang mengandalkan pertanian dan perikanan. Suku Muna memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Muna, yang termasuk dalam kelompok bahasa Austronesia.

Suku Tolaki juga merupakan suku penting di Sulawesi Tenggara. Mereka mendiami daerah Kendari dan sekitarnya. Suku ini dikenal dengan sistem pemerintahan adat yang kuat dan memiliki struktur sosial yang jelas. Dalam sejarahnya, suku Tolaki pernah membentuk Kerajaan Konawe pada abad ke-10, yang menjadi pusat kekuasaan di wilayah tersebut.

Suku Buton berasal dari Kepulauan Buton dan dikenal dengan sistem pemerintahan kesultanan. Menurut catatan sejarah, nenek moyang masyarakat Buton berasal dari Semenanjung Johor pada abad ke-13. Mereka mendirikan pemukiman pertama di daerah Kalampa, Bau-Bau, yang kemudian berkembang menjadi Kerajaan Buton.

Suku Bajo adalah masyarakat pesisir yang terkenal sebagai pelaut ulung. Mereka tinggal di daerah pesisir hingga pulau-pulau kecil di sekitar Sulawesi Tenggara. Kehidupan mereka sangat bergantung pada hasil laut.

Foto Suku Sulawesi Tenggara sumber gambar pesona mandar. Com
Foto Suku Sulawesi Tenggara sumber gambar pesona mandar. Com

Sejak awal berdirinya, berbagai kerajaan telah muncul di Sulawesi Tenggara. Salah satu kerajaan yang paling terkenal adalah Kerajaan Buton. Kerajaan ini didirikan pada abad ke-13 oleh empat tokoh pendiri: Sipanjonga, Sitamanajo, Sijawangkati, dan Simalui. Mereka membangun pemukiman pertama di Kalampa dan mengembangkan wilayah kekuasaan mereka seiring waktu.

Kerajaan Buton awalnya dipimpin oleh raja-raja dari Dinasti Wa Khaa-Khaa hingga abad ke-16. Pada masa pemerintahan Raja Tuarade, pengaruh Islam mulai masuk dan memberikan dampak signifikan terhadap kebudayaan dan struktur pemerintahan di Kerajaan Buton.

Masuknya Islam ke Buton melalui seorang ulama bernama Syekh Abdul Wahid dari Johor pada tahun 1511 membawa perubahan besar dalam struktur pemerintahan kerajaan. Sistem monarki yang ada berubah menjadi kesultanan. Kesultanan Buton dikenal dengan sistem pemerintahan monarki parlementer yang berlangsung selama tujuh abad. Dalam sistem ini, terdapat lembaga-lembaga pemerintahan seperti Patalimbona (dewan menteri) yang berfungsi untuk membantu raja dalam mengambil keputusan penting. Selain itu, Kesultanan Buton juga terkenal dengan undang-undang adatnya yang disebut Sarana Wolio, yang mengatur berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Foto upacara adat Sulawesi Tenggara sumber gambar kanalkaltim.com
Foto upacara adat Sulawesi Tenggara sumber gambar kanalkaltim.com

Di samping Kesultanan Buton, terdapat juga Kerajaan Konawe yang didirikan oleh suku Tolaki. Kerajaan ini dibangun pada abad ke-10 oleh tiga kelompok masyarakat Tolaki: Wawolesea, Besulutu, dan Padangguni. Setelah melalui proses perdamaian yang diprakarsai oleh seorang wanita bernama Wekoila, ketiga kelompok ini bersatu menjadi satu kesatuan pemerintahan dengan hukum adat sebagai landasan.

Selain aspek pemerintahan, upacara adat di Sulawesi Tenggara merupakan bagian integral dari kehidupan masyarakat. Upacara adat mencerminkan nilai-nilai budaya, kepercayaan, dan tradisi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Setiap suku di Sulawesi Tenggara memiliki upacara adat yang unik, yang sering kali berkaitan dengan siklus kehidupan, peristiwa alam, dan keyakinan spiritual. Dalam pembahasan ini, kita akan menggali lebih dalam mengenai berbagai upacara adat yang ada di Sulawesi Tenggara, termasuk makna, proses pelaksanaan, serta dampaknya terhadap masyarakat.

Salah satu upacara adat yang terkenal di Sulawesi Tenggara adalah Posobhaghoo Motonuno. Upacara ini berasal dari masyarakat Muna dan berkaitan erat dengan fenomena alam. Secara etimologis, kata "Posobhaghoo" berarti mencampurkan, sedangkan "Motonuno" adalah nama sebuah danau kecil di Muna. Upacara ini melibatkan pencampuran air dari Danau Motonuno dengan air dari Danau Wulamoni.

Menurut kepercayaan masyarakat setempat, upacara ini berkaitan dengan kisah legenda tentang dua tokoh bernama Wamata dan Wulamoni. Dalam cerita tersebut, Wamata adalah seorang perempuan yang menikah dengan Wulamoni. Dalam konteks ini, pencampuran air dari kedua danau dianggap sebagai simbol pernikahan antara keduanya, yang diyakini dapat membawa hujan lebat. Hujan dianggap sebagai berkah yang sangat penting bagi pertanian dan kehidupan sehari-hari masyarakat Muna.

Proses pelaksanaan upacara Posobhaghoo Motonuno dimulai dengan persiapan oleh para tetua adat dan masyarakat setempat. Mereka akan mengumpulkan air dari kedua danau dan melakukan ritual doa sebelum mencampurkan air tersebut. Ritual ini biasanya dihadiri oleh banyak orang karena dianggap sebagai momen penting dalam menjaga kelangsungan hidup masyarakat. Upacara ini tidak hanya berfungsi untuk memohon hujan, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur dan alam. Melalui upacara ini, masyarakat Muna menunjukkan rasa syukur atas anugerah alam serta harapan akan keberkahan di masa depan.

Upacara Okanda merupakan ritual tradisional yang dilakukan oleh suku Tolaki di Desa Benua dan sekitarnya. Kata "Okanda" sendiri bermakna gendang. Upacara ini dilaksanakan setiap tahun menjelang pembukaan ladang baru pada bulan September. Ritual ini menjadi sarana bagi masyarakat untuk memohon keselamatan dan keberkahan dalam bertani.

Pelaksanaan upacara Okanda dimulai dengan penurunan gendang dari rumah adat menuju tempat pelaksanaan upacara. Gendang memiliki makna simbolis sebagai penghubung antara dunia manusia dan dunia spiritual. Setelah gendang diturunkan, dilakukanlah serangkaian kegiatan seperti tarian lulong, gada-gada, dan suara remo anggo yang melibatkan pemuda-pemudi setempat. Ritual ini juga mencakup pengorbanan hewan seperti anjing dan ayam putih untuk dipersembahkan kepada dewa-dewa dan roh nenek moyang. Pengorbanan hewan ini diyakini dapat mendatangkan berkah serta menghindarkan masyarakat dari malapetaka.

Selama tiga hari tiga malam setelah pembukaan ladang, berbagai permainan rakyat juga diadakan untuk meramaikan suasana. Kegiatan-kegiatan tersebut tidak hanya menghibur, tetapi juga memperkuat rasa kebersamaan antar anggota komunitas. Upacara Okanda dengan demikian menjadi bagian penting dari budaya suku Tolaki, yang mengaitkan kehidupan sehari-hari dengan kepercayaan dan tradisi leluhur.

Upacara Paduai Bido adalah ritual penurunan perahu ke laut yang dilakukan oleh masyarakat Bajo. Upacara ini memiliki beberapa tahapan penting yang harus dilalui sebelum perahu dapat diturunkan ke laut. Paduai Bido bukan hanya sekadar aktivitas fisik, tetapi juga merupakan ungkapan spiritualitas dan penghormatan terhadap laut sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat Bajo.

Proses pelaksanaan upacara dimulai dengan persiapan yang melibatkan seluruh anggota komunitas. Mereka akan melakukan doa dan ritual tertentu untuk memohon keselamatan dan keberkahan selama pelayaran. Selama upacara, berbagai nyanyian dan tarian tradisional juga ditampilkan sebagai bentuk syukur kepada leluhur dan dewa-dewa yang diyakini menjaga keselamatan para pelaut.

Setelah semua tahapan dilaksanakan, perahu yang telah dihias dengan indah akan diturunkan ke laut. Masyarakat Bajo percaya bahwa dengan melakukan upacara ini, mereka tidak hanya memperkuat ikatan sosial dalam komunitas, tetapi juga mendapatkan perlindungan dan keberkahan dalam menjalani kehidupan sebagai pelaut. Upacara Paduai Bido menjadi simbol keberanian, persatuan, dan rasa syukur masyarakat Bajo terhadap alam dan tradisi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.

Masyarakat Bajo menganggap laut sebagai sumber kehidupan mereka. Proses pelaksanaan upacara Paduai Bido dimulai dengan memanggil dukun perahu untuk memberikan doa keselamatan sebelum perahu diturunkan. Dukun berperan penting dalam menghubungkan dunia manusia dengan dunia spiritual melalui doa-doa yang dipanjatkan kepada dewa laut dan makhluk halus.

Setelah itu, dilakukanlah pemasangan papan pertama di lunas perahu serta pemasangan tiang perahu sebagai simbol kesiapan untuk melaut. Pada saat penurunan perahu ke laut, masyarakat mengadakan pengorbanan hewan seperti ayam atau kambing sebagai tanda penghormatan kepada dewa-dewa laut. Upacara Paduai Bido tidak hanya bertujuan untuk memohon perlindungan saat melaut, tetapi juga memperkuat rasa kekeluargaan di antara anggota komunitas Bajo.

Melalui ritual ini, mereka saling berbagi harapan akan keselamatan dan keberkahan dalam mencari nafkah di lautan. Upacara ini mencerminkan kedalaman hubungan masyarakat Bajo dengan laut dan pentingnya tradisi dalam menjaga kelangsungan hidup mereka.

Seni dan kerajinan di Sulawesi Tenggara merupakan cerminan dari kekayaan budaya dan tradisi yang telah berkembang selama berabad-abad. Provinsi ini dihuni oleh berbagai suku bangsa, masing-masing dengan keunikan dalam seni, kerajinan, dan tradisi yang mencerminkan identitas mereka. Dalam pembahasan ini, kami akan memberikan penjelasan lebih dalam tentang berbagai bentuk seni dan kerajinan yang ada di Sulawesi Tenggara, termasuk tenun kain, kerajinan logam, kerajinan tangan, serta alat musik tradisional.

Tenun Kain

Tenun kain merupakan salah satu bentuk seni yang sangat khas di Sulawesi Tenggara. Masyarakat setempat memproduksi kain tenun dengan menggunakan teknik tradisional yang diwariskan dari generasi ke generasi. Kain tenun ini sering kali dihiasi dengan motif-motif khas yang menggambarkan simbol-simbol budaya dan nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat. Tenun kain tidak hanya berfungsi sebagai pakaian, tetapi juga memiliki makna ritual dan digunakan dalam berbagai upacara adat.

Kerajinan Logam

Kerajinan logam juga merupakan salah satu bentuk seni yang penting di Sulawesi Tenggara. Para pengrajin menggunakan teknik tradisional untuk membuat berbagai produk logam, mulai dari perhiasan hingga alat rumah tangga. Kerajinan logam ini sering kali dihias dengan ukiran dan desain yang mencerminkan budaya setempat. Produk-produk ini tidak hanya memiliki nilai estetika tetapi juga berfungsi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

Kerajinan Tangan

Kerajinan tangan di Sulawesi Tenggara mencakup berbagai jenis barang, seperti anyaman, ukiran kayu, dan keramik. Masyarakat di daerah ini memiliki keterampilan tinggi dalam membuat barang-barang kerajinan yang indah dan fungsional. Kerajinan tangan ini sering kali diproduksi untuk kebutuhan lokal maupun sebagai barang ekspor, menciptakan peluang ekonomi bagi masyarakat setempat.

Alat Musik Tradisional

Seni musik juga menjadi bagian penting dari budaya Sulawesi Tenggara. Berbagai alat musik tradisional, seperti gendang, kolintang, dan alat musik tiup, sering digunakan dalam upacara adat dan perayaan. Musik tradisional ini tidak hanya menghibur, tetapi juga berfungsi untuk menyampaikan pesan-pesan budaya dan sejarah masyarakat.

Secara keseluruhan, seni dan kerajinan di Sulawesi Tenggara merupakan bagian integral dari identitas budaya masyarakatnya. Melalui berbagai bentuk seni ini, nilai-nilai dan tradisi yang telah ada selama berabad-abad tetap dilestarikan dan dihidupkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

Sejarah seni dan kerajinan di Sulawesi Tenggara dapat ditelusuri kembali ke zaman prasejarah ketika masyarakat setempat mulai menggunakan bahan-bahan alam untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dengan berjalannya waktu, keterampilan dalam membuat barang-barang dari bahan-bahan tersebut berkembang menjadi seni dan kerajinan yang lebih kompleks. Keterampilan menenun kain, misalnya, sudah ada sejak abad ke-14 di komunitas Buton. Teknik tenun yang digunakan dalam pembuatan kain ini tidak hanya berfungsi untuk menghasilkan pakaian, tetapi juga sebagai simbol status sosial dan identitas budaya. Kain tenun sering kali digunakan dalam upacara adat dan perayaan penting, menunjukkan betapa pentingnya seni ini dalam kehidupan masyarakat.

Arsitektur tradisional di Sulawesi Tenggara merupakan cerminan dari kebudayaan dan identitas masyarakat setempat. Setiap suku bangsa di provinsi ini memiliki arsitektur rumah adat yang unik dan khas, mencerminkan adaptasi terhadap lingkungan serta filosofi budaya lokal. Dalam pembahasan ini, kita akan menguraikan secara mendalam tentang berbagai jenis rumah adat di Sulawesi Tenggara, termasuk Rumah Adat Banua Tada, Rumah Adat Laika, Rumah Adat Mekongga, dan Rumah Adat Buton.

Banua Tada adalah rumah adat milik Suku Wolio atau orang Buton yang tinggal di Pulau Buton. Rumah adat ini dikenal sebagai Banua Tada. Dalam bahasa setempat, kata "Banua" berarti rumah, sedangkan "Tada" berarti siku. Oleh karena itu, Banua Tada dapat diterjemahkan sebagai "rumah siku." Penamaan ini mencerminkan struktur rangka bangunan yang berbentuk siku.

Foto rumah adat Sulawesi Tenggara sumber gambar Antaranews.com
Foto rumah adat Sulawesi Tenggara sumber gambar Antaranews.com

Keunikan rumah ini terletak pada desain, struktur, dan fungsinya yang mengandung nilai-nilai filosofis. Rumah Banua Tada memiliki bentuk rumah panggung dan dibangun tanpa menggunakan paku sama sekali. Struktur bangunan ini mencerminkan tradisi Suku Wolio di Sulawesi Tenggara, di mana kata "banua" berarti rumah dan "tada" berarti siku, menunjukkan bentuk bangunan yang khas. Ini menunjukkan kreativitas masyarakat Buton dalam menggunakan bahan-bahan alam untuk membangun infrastruktur yang kokoh. Desain rumah ini juga mencerminkan keharmonisan antara manusia dengan alam. Atapnya biasanya dibuat dari rumbai alang-alang atau nipah, yang merupakan bahan alami yang mudah didapatkan di daerah tersebut. Bagian bawah rumah sering digunakan sebagai kandang hewan seperti ayam dan babi, menunjukkan integrasi antara habitat manusia dan hewan.

Laika adalah rumah tradisional milik Suku Tolaki, berbentuk persegi panjang dan umumnya berukuran besar. Rumah ini memiliki tiga atau empat lantai, terbuat dari kayu, dan berdiri di atas tiang setinggi sekitar 20 kaki. Lokasinya strategis di area terbuka dalam hutan, dikelilingi rumput alang-alang. Bagian bawah sering digunakan sebagai kandang hewan seperti ayam dan babi. Uniknya, rumah ini dibangun tanpa menggunakan bahan logam atau paku, melainkan memanfaatkan bahan alami untuk menyatukan komponen-komponennya. Atapnya biasanya dibuat dari rumbai alang-alang atau nipah, yang merupakan bahan alami yang mudah didapatkan di daerah tersebut. Desain dan struktur rumah ini mencerminkan adaptasi terhadap lingkungan antropis dan keharmonisan antara manusia dengan alam.

Mekongga adalah rumah tradisional milik Suku Mekongga. Struktur bangunan ini berbentuk persegi dan ditopang oleh dua tiang. Di bagian tubuh rumah, terdapat ornamen berwarna-warni yang dibuat oleh masyarakat setempat. Rumah ini juga dilengkapi dengan tiga tangga.

Rumah tradisional Mekongga dihiasi dengan hiasan berwarna cerah yang dibuat oleh masyarakat setempat. Menariknya, bangunan ini memiliki tiga anak tangga di bagian depan. Salah satu tangga tersebut adalah tangga utama yang memiliki tujuh anak tangga, yang berarti "na’ motuo", yaitu tujuh pintu adat. Di bagian luar atap rumah ini terdapat kayu yang ujungnya runcing, melambangkan sebuah tombak. Pada masa lalu, sering kali seekor burung besar yang disebut burung Kongga bertengger di atap dan mengganggu penduduk setempat. Untuk mengatasinya, atap dibuat dengan bentuk runcing guna mengusir burung tersebut. Bentuk atap ini juga digunakan untuk menerima tamu dan mengadakan musyawarah.

Di dalam rumah ini, terdapat dua kamar penting: kamar raja yang terletak di sebelah kanan dan kamar permaisuri di sebelah kiri. Setiap ruangan dirancang dengan mempertimbangkan nilai-nilai budaya dan sosial masyarakat Mekongga, menjadikan rumah ini sebagai pusat interaksi dan kegiatan komunitas yang kaya akan tradisi..

yang sangat spesifik dan digunakan dalam berbagai acara adat, termasuk pernikahan dan upacara-upacara penting lainnya. Pakaian adat Babu Nggawi digunakan oleh perempuan Tolaki. Pakaian ini terdiri dari dua bagian utama: lipahi noru (suatu atasan) dan roomenda (suatu bawahan). Suku Buton memiliki pakaian adat yang unik dan sederhana, namun sangat khas. Pakaian adat Buton biasanya terdiri dari ikat kepala berwarna biru dan sarung. Orang-orang Buton tidak lazim mengenakan baju dalam kegiatan sehari-hari. Namun, jika ada acara formal atau upacara adat, maka mereka akan mengenakan pakaian adat yang terdiri dari ikat kepala berwarna biru dan sarung.

Pakaian kombowa adalah pakaian sehari-hari bagi kaum perempuan Buton. Baju ini terdiri dari atasan berlengan pendek dan pancingan bermotif kotak-kotak kecil (bia-bia itanu). Pakaian kombowa dilengkapi dengan perhiasan seperti anting, cincin, dan gelang yang berbahan emas mulia. Perempuan Buton harus menggunakan busana kolambe pada hari upacara posuo. Busana kolambe ini terdiri dari atasan dan bawahan yang khas dan dilengkapi dengan perhiasan yang sesuai dengan acara tersebut.

Pakaian adat di Sulawesi Tenggara tidak hanya berfungsi sebagai pakaian sehari-hari saja, tetapi juga sebagai simbol status sosial, keanggotaan dalam masyarakat, dan identitas budaya. Detail-detail pada pakaian adat seperti motif, warna, dan perhiasan memiliki makna filosofis yang mendalam dan terkait langsung dengan kebudayaan masyarakat setempat. Misalnya, motif geometris pada pakaian adat Muna dapat melambangkan harmoni antara manusia dengan alam, sedangkan perhiasan emas pada pakaian adat Tolaki dapat melambangkan status sosial dan keanggotaan dalam masyarakat Tolaki.

Pelestarian pakaian adat di Sulawesi Tenggara merupakan tantangan yang signifikan di era modern saat ini. Banyak generasi muda lebih tertarik pada budaya pop global sehingga praktik-praktik budaya tradisional mulai terlupakan.

Kuliner Sulawesi Tenggara kaya akan rasa dan variasi bahan baku lokal. Makanan khas daerah ini tidak hanya menjadi sumber gizi, tetapi juga bagian dari identitas budaya masyarakat setempat. Sinonggi adalah salah satu makanan pokok yang terkenal di daerah ini; bubur sagu disajikan dengan sayur kerang atau sup ikan menjadi hidangan favorit banyak orang. Sinonggi bukan hanya sekadar makanan, tetapi juga menggambarkan cara hidup masyarakat pesisir yang bergantung pada hasil laut.

Satai Poke adalah satai kerang air tawar yang disajikan dengan racikan kacang; hidangan ini menjadi salah satu kuliner khas saat perayaan atau acara keluarga besar. Selain itu, Pisang Epe adalah pisang bakar yang disajikan dengan saus manis, menjadi camilan favorit warga setempat. Makanan-makanan tersebut tidak hanya lezat, tetapi juga mengandung makna sosial; sering kali makanan disajikan dalam konteks acara-acara tertentu sebagai bentuk berbagi rezeki serta mempererat hubungan antar anggota komunitas.

Meskipun memiliki kekayaan budaya yang melimpah, Sulawesi Tenggara menghadapi berbagai tantangan dalam pelestarian budayanya. Globalisasi membawa dampak besar terhadap cara hidup masyarakat; pengaruh budaya luar melalui media sosial dan teknologi mengancam keberadaan budaya lokal. Generasi muda lebih tertarik pada budaya pop global dibandingkan budaya tradisional mereka sendiri; hal ini menyebabkan banyak praktik budaya mulai terlupakan seiring waktu. Urbanisasi juga menjadi faktor lain; perpindahan penduduk dari desa ke kota menyebabkan hilangnya banyak tradisi lokal.

Menyebabkan hilangnya praktik budaya tradisional karena perubahan gaya hidup. Kurangnya kesadaran akan pentingnya melestarikan kebudayaan lokal menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat Sulawesi Tenggara. Banyak orang lebih suka menyaksikan hal-hal modern sehingga sulit untuk mengajarkan nilai-nilai budaya kepada generasi berikutnya. Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, perlu adanya upaya kolaboratif antara pemerintah, komunitas lokal, dan lembaga pendidikan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya pelestarian budaya lokal melalui pendidikan dan kegiatan kebudayaan. Program-program pelestarian seperti festival seni dan pameran kerajinan tangan dapat membantu menarik perhatian generasi muda terhadap kekayaan budaya mereka sendiri.

Dinamika kebudayaan Sulawesi Tenggara merupakan cerminan dari sejarah panjang interaksi antarsuku bangsa dan pengaruh luar yang telah membentuk identitas budaya yang unik dan kaya. Dari sejarah perkembangan kerajaan hingga pengaruh agama dan perdagangan, setiap aspek kebudayaan di Sulawesi Tenggara memiliki makna mendalam yang merepresentasikan kehidupan sehari-hari masyarakat setempat. Sulawesi Tenggara dihuni oleh berbagai suku bangsa seperti Tolaki, Muna, Buton, dan Bajo. Beberapa suku memang memiliki bahasa, adat istiadat, dan tradisi yang berbeda.

Sejarah perkembangan kerajaan, seperti Kerajaan Buton dan Kerajaan Muna, telah membentuk struktur sosial dan politik yang masih dipertahankan hingga saat ini. Pengaruh Islam yang datang pada abad ke-15 telah membawa perubahan signifikan dalam kebudayaan lokal, tetapi banyak elemen tradisional tetap dipertahankan. Jadi, ini adalah beberapa informasi mengenai makanan khas serta budaya mereka dari beberapa suku yang menarik untuk dijelajahi dan harus diketahui oleh orang-orang yang belum mengenal.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun