Di samping Kesultanan Buton, terdapat juga Kerajaan Konawe yang didirikan oleh suku Tolaki. Kerajaan ini dibangun pada abad ke-10 oleh tiga kelompok masyarakat Tolaki: Wawolesea, Besulutu, dan Padangguni. Setelah melalui proses perdamaian yang diprakarsai oleh seorang wanita bernama Wekoila, ketiga kelompok ini bersatu menjadi satu kesatuan pemerintahan dengan hukum adat sebagai landasan.
Selain aspek pemerintahan, upacara adat di Sulawesi Tenggara merupakan bagian integral dari kehidupan masyarakat. Upacara adat mencerminkan nilai-nilai budaya, kepercayaan, dan tradisi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Setiap suku di Sulawesi Tenggara memiliki upacara adat yang unik, yang sering kali berkaitan dengan siklus kehidupan, peristiwa alam, dan keyakinan spiritual. Dalam pembahasan ini, kita akan menggali lebih dalam mengenai berbagai upacara adat yang ada di Sulawesi Tenggara, termasuk makna, proses pelaksanaan, serta dampaknya terhadap masyarakat.
Salah satu upacara adat yang terkenal di Sulawesi Tenggara adalah Posobhaghoo Motonuno. Upacara ini berasal dari masyarakat Muna dan berkaitan erat dengan fenomena alam. Secara etimologis, kata "Posobhaghoo" berarti mencampurkan, sedangkan "Motonuno" adalah nama sebuah danau kecil di Muna. Upacara ini melibatkan pencampuran air dari Danau Motonuno dengan air dari Danau Wulamoni.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, upacara ini berkaitan dengan kisah legenda tentang dua tokoh bernama Wamata dan Wulamoni. Dalam cerita tersebut, Wamata adalah seorang perempuan yang menikah dengan Wulamoni. Dalam konteks ini, pencampuran air dari kedua danau dianggap sebagai simbol pernikahan antara keduanya, yang diyakini dapat membawa hujan lebat. Hujan dianggap sebagai berkah yang sangat penting bagi pertanian dan kehidupan sehari-hari masyarakat Muna.
Proses pelaksanaan upacara Posobhaghoo Motonuno dimulai dengan persiapan oleh para tetua adat dan masyarakat setempat. Mereka akan mengumpulkan air dari kedua danau dan melakukan ritual doa sebelum mencampurkan air tersebut. Ritual ini biasanya dihadiri oleh banyak orang karena dianggap sebagai momen penting dalam menjaga kelangsungan hidup masyarakat. Upacara ini tidak hanya berfungsi untuk memohon hujan, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur dan alam. Melalui upacara ini, masyarakat Muna menunjukkan rasa syukur atas anugerah alam serta harapan akan keberkahan di masa depan.
Upacara Okanda merupakan ritual tradisional yang dilakukan oleh suku Tolaki di Desa Benua dan sekitarnya. Kata "Okanda" sendiri bermakna gendang. Upacara ini dilaksanakan setiap tahun menjelang pembukaan ladang baru pada bulan September. Ritual ini menjadi sarana bagi masyarakat untuk memohon keselamatan dan keberkahan dalam bertani.
Pelaksanaan upacara Okanda dimulai dengan penurunan gendang dari rumah adat menuju tempat pelaksanaan upacara. Gendang memiliki makna simbolis sebagai penghubung antara dunia manusia dan dunia spiritual. Setelah gendang diturunkan, dilakukanlah serangkaian kegiatan seperti tarian lulong, gada-gada, dan suara remo anggo yang melibatkan pemuda-pemudi setempat. Ritual ini juga mencakup pengorbanan hewan seperti anjing dan ayam putih untuk dipersembahkan kepada dewa-dewa dan roh nenek moyang. Pengorbanan hewan ini diyakini dapat mendatangkan berkah serta menghindarkan masyarakat dari malapetaka.
Selama tiga hari tiga malam setelah pembukaan ladang, berbagai permainan rakyat juga diadakan untuk meramaikan suasana. Kegiatan-kegiatan tersebut tidak hanya menghibur, tetapi juga memperkuat rasa kebersamaan antar anggota komunitas. Upacara Okanda dengan demikian menjadi bagian penting dari budaya suku Tolaki, yang mengaitkan kehidupan sehari-hari dengan kepercayaan dan tradisi leluhur.
Upacara Paduai Bido adalah ritual penurunan perahu ke laut yang dilakukan oleh masyarakat Bajo. Upacara ini memiliki beberapa tahapan penting yang harus dilalui sebelum perahu dapat diturunkan ke laut. Paduai Bido bukan hanya sekadar aktivitas fisik, tetapi juga merupakan ungkapan spiritualitas dan penghormatan terhadap laut sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat Bajo.
Proses pelaksanaan upacara dimulai dengan persiapan yang melibatkan seluruh anggota komunitas. Mereka akan melakukan doa dan ritual tertentu untuk memohon keselamatan dan keberkahan selama pelayaran. Selama upacara, berbagai nyanyian dan tarian tradisional juga ditampilkan sebagai bentuk syukur kepada leluhur dan dewa-dewa yang diyakini menjaga keselamatan para pelaut.