Setiap tanggal 1 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Di balik seremoni dan retorika kebangsaan, pertanyaan besar mengemuka: sejauh mana nilai-nilai Pancasila benar-benar hidup dalam denyut kehidupan berbangsa dan bernegara? Tidak sedikit yang menilai, Pancasila kerap berhenti pada slogan, sementara praksisnya makin jauh dari realitas. Di sinilah letak paradoks: Pancasila diagungkan, tetapi sekaligus diabaikan.
1. Pancasila dan Ketuhanan yang Diperalat
Sila pertama menekankan pentingnya Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar moral bangsa. Dalam kenyataan, agama kerap diperalat untuk kepentingan politik. Retorika religius lebih sering menjadi alat legitimasi daripada sumber etika publik. Akibatnya, agama yang semestinya membawa kedamaian justru sering tampil dalam wajah konflik kepentingan.
Banyak pejabat tampil religius di ruang publik, namun praktiknya abai terhadap penderitaan rakyat. Ketika korupsi, ketidakadilan, dan keserakahan dilakukan oleh mereka yang rajin menyebut nama Tuhan, maka nilai ketuhanan hanya menjadi formalitas.
Sila pertama sejatinya menuntut integritas: iman yang diwujudkan dalam kejujuran, tanggung jawab, dan kasih sayang. Tanpa konsistensi itu, Ketuhanan Yang Maha Esa tidak lebih dari simbol seremonial tanpa jiwa.
2. Pancasila dan Kemanusiaan yang Dikesampingkan
Sila kedua berbicara tentang kemanusiaan yang adil dan beradab. Realitas menunjukkan martabat manusia sering terabaikan. Diskriminasi, pelanggaran HAM, serta ketidakadilan terhadap kelompok minoritas dan lemah masih terjadi.
Hak-hak buruh, petani, hingga masyarakat adat kerap dikorbankan atas nama pembangunan dan kepentingan ekonomi. Kemanusiaan yang seharusnya berdiri di atas segalanya, kalah oleh logika kapital dan kuasa.
Padahal, tanpa penghormatan pada martabat manusia, bangsa ini kehilangan jati dirinya. Jika kemanusiaan hanya dijadikan retorika, sila kedua tak lebih dari hiasan kata dalam dokumen negara.
3. Pancasila dan Persatuan yang Rapuh
Sila ketiga mengamanatkan persatuan Indonesia. Polarisasi politik, intoleransi, hingga ujaran kebencian di ruang publik menunjukkan betapa rapuhnya persatuan bangsa. Alih-alih menjadi perekat, perbedaan sering dijadikan alat untuk memecah belah.
Persatuan sering dijadikan jargon dalam momen seremonial, tetapi dalam praktik sehari-hari, segregasi sosial dan politik justru dibiarkan tumbuh. Akibatnya, keutuhan bangsa kian rentan oleh perbedaan kepentingan yang dangkal.
Padahal, Pancasila hadir untuk menegaskan kebersamaan di tengah keberagaman. Selama kepentingan sesaat lebih diutamakan dibanding kepentingan bangsa, sila ketiga akan terus kehilangan relevansinya.
4. Pancasila dan Demokrasi yang Tersandera
Sila keempat menekankan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Demokrasi kita kerap tersandera oleh oligarki. Pemilu yang semestinya menjadi pesta rakyat berubah menjadi arena transaksi politik yang mahal.
Politik uang, dinasti politik, dan dominasi pemodal besar membuat suara rakyat sering tak benar-benar terdengar. Demokrasi kehilangan makna ketika rakyat hanya dijadikan objek, bukan subjek dalam menentukan arah bangsa.
Sila keempat kehilangan relevansi ketika permusyawaratan hanya dijadikan formalitas. Tanpa kebijaksanaan dan keberpihakan pada rakyat, demokrasi hanya akan menjadi prosedur tanpa ruh.
5. Pancasila dan Keadilan yang Timpang
Sila kelima menekankan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ketimpangan sosial-ekonomi masih menjadi wajah nyata bangsa ini. Kekayaan menumpuk pada segelintir orang, sementara jutaan rakyat berjuang dalam keterbatasan.
Korupsi, birokrasi yang tidak berpihak, dan kebijakan yang lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi daripada pemerataan kesejahteraan menandakan jauhnya implementasi sila kelima. Keadilan sosial lebih sering terdengar dalam pidato ketimbang diwujudkan dalam kebijakan.
Jika rakyat terus hidup dalam ketidakadilan, sila kelima akan semakin kehilangan daya ikat. Pancasila berisiko menjadi cerita indah yang tidak pernah terwujud nyata.
Refleksi Penutup
Pancasila tidak lahir dari ruang kosong. Ia lahir dari rahim sejarah, dari pergulatan para pendiri bangsa yang ingin menghadirkan nilai-nilai luhur bagi Indonesia. Maka, jika hari ini kita merasakan jarak antara nilai Pancasila dan realitas hidup, itu adalah panggilan untuk kembali menyalakan semangat awal: menjadikan Pancasila sebagai pedoman, bukan sekadar hafalan.
Memperingati Hari Kesaktian Pancasila seharusnya membuat kita lebih jujur pada diri sendiri: sudahkah nilai-nilainya kita bawa dalam kehidupan sehari-hari? Jika tidak, maka kesaktiannya hanya tinggal cerita. Kesaktian Pancasila akan benar-benar nyata bila setiap warga negara, dari rakyat kecil hingga penguasa, menghadirkannya dalam sikap, kebijakan, dan tindakan.
Mari kita rawat Pancasila, bukan dengan kata-kata, tetapi dengan perbuatan. Sebab bangsa ini tidak kekurangan semboyan, melainkan kekurangan teladan
#HariKesaktianPancasila #RefleksiBangsa #PancasilaHidupDalamPerbuatan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI