Di tengah arus kemajuan teknologi, khususnya kecerdasan buatan (AI), kita sering kali terpukau oleh apa yang bisa dilakukan. Segalanya terasa mungkin: dari menyusun esai, merancang pembelajaran, hingga memprediksi perilaku. Namun, di balik kemudahan dan kecepatan itu, kita dihadapkan pada tantangan baru: bagaimana tetap menjadi manusia yang berpikir, bukan hanya mengonsumsi? Bagaimana agar AI menjadi alat yang memberdayakan, bukan yang memanjakan hingga membius daya kritis?
Artikel ini mengajak kita merenung dalam tiga pertanyaan penting: (1) Bagaimana AI mendukung berpikir kritis? (2) Bagaimana membangun kemampuan berpikir reflektif? (3) Bagaimana menjadi bijak di era teknologi? Tiga pertanyaan ini bukan sekadar teknis, tapi menyentuh inti dari kehidupan manusia: makna, nilai, dan arah.
AI: Sahabat dalam Berpikir, Bukan Pengganti Pikiran
Kecerdasan buatan bukanlah musuh, namun ia bukan pula guru atau penentu arah hidup kita. AI dapat mendorong berpikir kritis jika digunakan sebagai mitra berpikir, bukan sumber kebenaran tunggal. Misalnya, saat AI memberikan beberapa solusi atas suatu masalah, tugas manusialah untuk menganalisis, membandingkan, dan mengevaluasi berdasarkan konteks.
Pendekatan ini menuntut keberanian untuk bertanya ulang: apakah informasi yang diberikan valid, relevan, dan etis? Nicholas Carr dalam bukunya The Shallows (2010) mengingatkan bahwa kemudahan akses informasi tidak serta-merta memperdalam pemahaman; justru bisa membuat kita kehilangan kepekaan untuk merenung. Maka, AI perlu dimanfaatkan sebagai alat pemantik diskusi, bukan penyelesai mutlak.
Kritik terhadap hasil AI juga perlu dilatih sejak dini. Dalam pendidikan, guru bisa meminta siswa menantang jawaban dari AI, mencari sumber alternatif, atau menulis ulang dari perspektif berbeda. Kritis bukan berarti menolak, tapi menyaring dengan kesadaran. Sebagaimana nasihat Gus Mus, "Kecanggihan tanpa kebijaksanaan adalah kecelakaan yang ditunda."
Refleksi: Nafas Panjang dalam Dunia Serba Cepat
Berpikir reflektif adalah kemampuan untuk melihat lebih dalam ke balik data, peristiwa, dan keputusan. Sayangnya, di era digital yang serba cepat dan instan, refleksi sering kali terpinggirkan. Kita cenderung sibuk mengejar apa selanjutnya, alih-alih bertanya mengapa kita melangkah ke sana.
Untuk membangun refleksi, penting untuk membudayakan jeda berpikir. Ini bisa dilakukan lewat jurnal harian, diskusi bermakna, atau latihan bertanya. Misalnya: "Apa pelajaran hari ini?", "Apa dampak dari keputusan ini?", "Adakah nilai yang dikorbankan?" Gert Biesta (2015) dalam The Beautiful Risk of Education menegaskan bahwa pendidikan sejati adalah pendidikan yang mengundang anak menjadi subjek yang sadar dan bertanggung jawab.
Dalam tradisi Islam, refleksi merupakan bagian dari ibadah akal. Al-Qur'an sering mengulang seruan: afala tatafakkarun---tidakkah kamu berpikir?---sebagai bentuk dorongan untuk menggali makna kehidupan. Refleksi bukan pelarian dari dunia nyata, tapi penjernihan agar tindakan kita memiliki arah dan nilai.
Menjadi Bijak: Kompas Moral di Tengah Gelombang Teknologi
Bijak berarti tidak hanya tahu bagaimana melakukan sesuatu, tetapi juga tahu kapan dan untuk apa kita melakukannya. Teknologi memberi kita banyak kemungkinan, namun tidak serta-merta menjawab kebutuhan makna. Bijak adalah keberanian untuk menyaring, memilih, bahkan menolak jika sesuatu bertentangan dengan nilai kebaikan.
Sikap bijak di era AI dimulai dari mengenali batas. Tidak semua yang bisa dilakukan harus dilakukan. Tidak semua yang mudah berarti bermanfaat. Kita perlu melatih diri untuk pause, menyusun ulang prioritas, dan menjaga kendali diri. Dalam QS. Al-Baqarah: 269, Allah berfirman: "Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, maka sungguh ia telah dianugerahi kebaikan yang banyak." Hikmah inilah yang harus menjadi bintang penuntun kita dalam memanfaatkan teknologi.
Pendidikan berperan penting dalam membentuk kebijaksanaan. Guru bukan hanya pengajar konten, tetapi penjaga nurani. Ia menunjukkan bahwa pengetahuan bukan sekadar alat untuk bekerja, tetapi juga untuk hidup secara bermakna. KH. Ahmad Dahlan pernah menegaskan bahwa pendidikan sejati adalah yang menjadikan manusia hidup untuk orang lain---bukan hanya untuk kepentingannya sendiri.
Penutup: AI Tidak Memiliki Jiwa, Tapi Manusia Masih Punya
Pada akhirnya, AI adalah alat. Canggih, cepat, dan kuat. Tapi ia tidak memiliki hati, nilai, dan tujuan. Di tangan manusialah letak arah dan makna. Maka tugas kita bukan hanya menguasai teknologi, tetapi memastikan bahwa teknologi tidak menguasai kita.
Marilah kita tetap menjadi manusia yang bertanya "mengapa" di saat dunia sibuk bertanya "apa lagi." Sebab dari sanalah hikmah lahir, dan dari situlah hidup menjadi lebih dari sekadar produktivitas---tetapi menjadi perjalan menuju kebijaksanaan.
Jayapura, 8 Juni 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI