Bijak berarti tidak hanya tahu bagaimana melakukan sesuatu, tetapi juga tahu kapan dan untuk apa kita melakukannya. Teknologi memberi kita banyak kemungkinan, namun tidak serta-merta menjawab kebutuhan makna. Bijak adalah keberanian untuk menyaring, memilih, bahkan menolak jika sesuatu bertentangan dengan nilai kebaikan.
Sikap bijak di era AI dimulai dari mengenali batas. Tidak semua yang bisa dilakukan harus dilakukan. Tidak semua yang mudah berarti bermanfaat. Kita perlu melatih diri untuk pause, menyusun ulang prioritas, dan menjaga kendali diri. Dalam QS. Al-Baqarah: 269, Allah berfirman: "Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, maka sungguh ia telah dianugerahi kebaikan yang banyak." Hikmah inilah yang harus menjadi bintang penuntun kita dalam memanfaatkan teknologi.
Pendidikan berperan penting dalam membentuk kebijaksanaan. Guru bukan hanya pengajar konten, tetapi penjaga nurani. Ia menunjukkan bahwa pengetahuan bukan sekadar alat untuk bekerja, tetapi juga untuk hidup secara bermakna. KH. Ahmad Dahlan pernah menegaskan bahwa pendidikan sejati adalah yang menjadikan manusia hidup untuk orang lain---bukan hanya untuk kepentingannya sendiri.
Penutup: AI Tidak Memiliki Jiwa, Tapi Manusia Masih Punya
Pada akhirnya, AI adalah alat. Canggih, cepat, dan kuat. Tapi ia tidak memiliki hati, nilai, dan tujuan. Di tangan manusialah letak arah dan makna. Maka tugas kita bukan hanya menguasai teknologi, tetapi memastikan bahwa teknologi tidak menguasai kita.
Marilah kita tetap menjadi manusia yang bertanya "mengapa" di saat dunia sibuk bertanya "apa lagi." Sebab dari sanalah hikmah lahir, dan dari situlah hidup menjadi lebih dari sekadar produktivitas---tetapi menjadi perjalan menuju kebijaksanaan.
Jayapura, 8 Juni 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI