Mohon tunggu...
Abu Al Givara
Abu Al Givara Mohon Tunggu... Lainnya - Hanya Menulis, Bukan Penulis

Jadilah pembelajar yang terus bersabar

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Demokrasi Indonesia: Kenyataan Hari Ini dan Menata Masa Depan

18 Maret 2019   13:21 Diperbarui: 26 Maret 2022   20:44 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Proses demokrasi yang seharusnya menjadi awal untuk melakukan perubahan, melepaskan diri dari kemelaratan menjadi utopis. Ide demokrasi sebagai solusi yang emansipatif untuk menjawab persoalan akibat kegagalan sistem aristokrasi, teokrasi dan feodalisme yang pernah digunakan di masalalu ternyata menimbulkan skeptisisme baru akibat praktik demokrasi yang tidak sehat sampai hari ini, skeptisisme inilah yang memudahkan Sistem teologi kembali di gaungkan "meski terbukti gagal dalam catatan sejarah" oleh kelompok ekstrimis sehingga mendapatkan ruang kepercayaan karna kegagalan demokrasi yang tidak pernah merubah keadaan ketimpangan.

Kegagalan ini tentu bukan karna demokrasinya, melainkan Elite politik sebagai agen yang punya power dan partai politik sebagai salah satu struktur sosial belum bisa move on dari watak individualisme dan feodalismenya untuk mereformasi kearah demokrasi yang ideal. Agen dan sistem model inilah yang melahirkan figur apolitis yang hanya sekedar mengandalkan kekuatan modal, yang pada akhirnya tampil menjadi figur yang berorientasi akumulasi kapital untuk kepentingan kolega dan keluarga.

Bila ini terus terjadi maka penting membaca kembali Plato dalam kritiknya terhadap Demokrasi dalam beberapa hal, Filsuf klasik tersohor itu menganggap bahwa dalam demokrasi, masyarakat terpolarisasi antara yang kaya dan miskin, yang kuat dan lemah, cerdas dan yang terbelakang. Polarisasi itu dalam kompetisi demokrasi akan selalu di menangkan oleh yang kaya, kuat dan cerdas dan yang miskin, lemah dan terbelakang akan terus mengalami kekalahan.

Selain Plato, Jason Brennan seorang pengajar ilmu politik di Universitas Georgetown, Amerika Serikat, mempersalahkan demokrasi atas meningkatnya rasisme, kebencian dan naiknya figur-figur inkompeten menjadi pemimpin. Brennan menganggap masyarakat politik dalam penyebutannya "Warga demokratis" (Democratic Cityzens) tidak akan pernah setara. Selalu ada beragam kelompok yang ada dalam masyarakat. Brennan melihatnya ada tiga, Pertama orang-orang yang apatis, apolitis, serta ignorant dalam urusan politik. Ia menyebut mereka sebagai Hobit.

Kedua adalah orang-orang yang antusias terhadap politik, mereka punya informasi tentang politisi dan partai politik yang mereka dukung dan tidak di dukung, mereka yang ikut kampanye dan menyebarkan atribut partai. Kelompok ini cenderung fanatik terhadap pilihan politiknya dan cenderung antipati pada kelompok lain, Brennan sebut kelompok ini sebagai Holigan. Ketiga kelompok yang rasional, cerdas dan mengambil keputusan berlandasan ilmiah. Mereka memilih calon pemimpin berdasarkan pertimbangan rasional, melihat kebijakan mana yang masuk akal dan mana yang tidak, mana yang betul-betul merakyat dan mana yang memperalat rakyat. Brennan menyebutnya sebagai kelompok Vulcan.

Dibanyak negara termasuk Indonesia, demokrasi selalu di ramaikan dengan kelompok Hobit dan Holigan, hanya sedikit saja yang berkarakter Vulcan padahal kualitas demokrasi di tentukan oleh kelompok yang kecil ini. Brennan menyebut bahwa fragmentasi dalam warga demokratis ini sebagai catat lain dari kenyataan demokrasi kita. Namun tanpa menolak penuh demokrasi, kita kembali mengingat Abraham Lincoln dalam pemahamannya tentang demokrasi.

Lincoln menyebutkan bahwa Demokrasi adalah sistem politik dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dari sini kemudian kita menemukan makna sesungguhnya dalam negara demokrasi, bahwa demokrasi adalah sistem dimana rakyat berdaulat penuh atas ekonomi, sosial dan politik melalui Instrumen negara dan pemerintahan.

Mengingat Demokrasi kita yang jauh dari ide Abraham Lincoln, harus perlu ada reformasi birokrasi terutama dalam penyusunan regulasi dan konsensus kebijakan, begitupun juga harus ada reformasi partai politik untuk kembali pada konstitusi demokrasi yang sesungguhnya. Permasalahan di atas pada dasarnya berawal dari partai politik yang dalam mekanisme penentuan calon kandidat/pemimpin tidak melibatkan masyarakat sebagai penentu figur yang di calonkan.

Dari sinilah maka kenyataan demokrasi kita tetap saja hanyalah "pseudo-demokrasi", dan kita tidak akan pernah memilih pemimpin yang ideal, melainkan memilih untuk menghindari pemimpin terburuk. Penentuan kandidat yang sepenuhnya oleh partai politik inilah yang menyebabkan salah satu diantaranya yaitu oligarki ekonomi dan politik akan terus menguat dan langgeng, dikarenakan belas kasih pemimpin terhadap partai yang harus di bayar. Yang lainnya ialah naiknya figur-figur inkompeten, apolitis dan pebisnis yang justru merusak hakikat demokrasi dalam struktur pemerintahan. Menyebabkan banyaknya produk hukum dan kebijakan yang tidak tepat sasaran, pro korporasi dan kontra produktif untuk kepentingan masyarakat.

Penulis : Abu Al Givara, Presidium Forum Mahasiswa Kota Makassar (For MAKAR)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun