Mohon tunggu...
Apoteker Ilham Hidayat
Apoteker Ilham Hidayat Mohon Tunggu... Apoteker/Founder Komunitas AI Farmasi - PharmaGrantha.AI/Rindukelana Senja

AI Enhanced Pharmacist

Selanjutnya

Tutup

Healthy

TBC Kebal Obat : Musuh yang Kita Ciptakan Sendiri

5 Oktober 2025   15:57 Diperbarui: 5 Oktober 2025   15:57 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Portrait of older man taking his pills at home (Freepik/Free)

 

Tuberkulosis (TBC) bukan penyakit baru bagi bangsa ini. Dari Sabang sampai Merauke, ia hidup di balik batuk yang diabaikan, ruang tunggu puskesmas yang penuh, dan catatan medis yang tak pernah selesai. Indonesia kini menempati peringkat kedua tertinggi di dunia dalam jumlah kasus TBC setelah India, dengan lebih dari 1 juta kasus baru setiap tahun. Namun di balik angka itu, ada ancaman yang lebih menakutkan: MDR-TB --- Multidrug-Resistant Tuberculosis, atau TBC kebal obat.

MDR-TB bukan sekadar versi lebih ganas, tapi hasil dari kesalahan kita sendiri. Ketika pasien berhenti minum obat sebelum waktunya, ketika pengawasan longgar, ketika edukasi hanya berhenti di kalimat "obat harus dihabiskan" tanpa penjelasan, maka kuman TBC belajar bertahan dan menjadi kebal. Ia berevolusi dari kelalaian.

Menurut Global TB Report 2024 WHO, Indonesia mencatat lebih dari 28.000 kasus MDR-TB setiap tahun. Hanya separuh yang berhasil terdiagnosis dan diobati. Sisanya? Mereka hidup di tengah masyarakat, menularkan penyakit yang kini tak lagi mempan dengan terapi standar. Satu pasien MDR-TB bisa menular ke 10--15 orang lainnya setiap tahun. Inilah bom waktu kesehatan publik yang berdetak tanpa suara.

Terapi yang Panjang dan Melelahkan

Selama bertahun-tahun, pengobatan TBC kebal obat bisa memakan waktu 18 hingga 24 bulan, sering kali dengan obat suntik yang menyebabkan efek samping berat seperti kehilangan pendengaran, mual, atau gangguan hati. Namun kini, pedoman terbaru WHO merekomendasikan pengobatan oral (tanpa suntikan) selama 6 bulan bagi pasien yang memenuhi syarat, atau 9 bulan untuk kondisi tertentu. Obat suntik tidak lagi menjadi pilihan utama.

Efek samping tetap menjadi tantangan, meski bentuknya kini berbeda. Obat baru dapat menyebabkan penurunan daya tahan tubuh sementara, gangguan irama jantung, atau masalah pada hati yang tetap harus dipantau. Kabar baiknya, tingkat keberhasilan terapi meningkat: dari sekitar 50--60% di era lama menjadi hingga 85--90% pada pasien yang cocok dengan pengobatan 6 bulan.

Meski begitu, pengobatan TBC kebal obat masih jauh lebih mahal dibanding TBC biasa. Biayanya dapat mencapai puluhan kali lipat lebih tinggi, tergantung sistem kesehatan dan harga obat di tiap negara. Setiap pasien yang gagal menuntaskan terapi bukan hanya kehilangan kesehatannya, tapi juga menambah beban ekonomi nasional. Inilah penyakit yang memiskinkan tanpa terlihat.

Apoteker: Penjaga Terapi yang Terlupakan

Di tengah semua kekacauan ini, ada satu profesi yang seharusnya memegang peran penting: apoteker. Mereka bukan sekadar orang yang menyerahkan obat, tapi pengawal terapi yang paham bagaimana obat bekerja dan bagaimana efek sampingnya bisa dikelola agar pasien tetap patuh.

Apoteker adalah pihak yang paling mudah diakses masyarakat, paling sering berinteraksi dengan pasien, dan mampu menjembatani bahasa medis menjadi bahasa yang bisa dipahami orang awam. Ketika pasien berhenti minum obat karena mual, apoteker bisa memberikan solusi suportif; ketika pasien kebingungan dengan banyaknya obat, apoteker bisa membantu mengatur jadwal dan menjelaskan tujuan tiap pil yang diminum.

Namun ironinya, dalam program nasional pengendalian TBC, apoteker belum sepenuhnya dilibatkan secara sistemik. Padahal mereka bisa menjadi ujung tombak dalam memastikan kesinambungan terapi --- terutama di tingkat komunitas, di mana pasien seringkali justru lebih dekat dengan apotek daripada puskesmas.

Celah Sistem: Ketika Data dan Obat Tak Bertemu

Banyak kasus MDR muncul bukan karena pasien lalai, tapi karena sistem yang rapuh. Stok obat sering kosong. Pasien pindah daerah, terapi terputus, catatan tidak tersambung. Ketika itu terjadi, pasien mencari obat pengganti di apotek umum tanpa resep yang jelas. Dosis meleset, kombinasi keliru, dan kuman pun belajar bertahan hidup.

Bayangkan jika setiap apotek di Indonesia terhubung dengan sistem pengawasan nasional TBC. Apoteker memantau kepatuhan pasien, memberi konseling, melaporkan efek samping, dan menjamin kesinambungan terapi. Sebuah sistem sederhana yang bisa mencegah ribuan kasus MDR baru setiap tahun.

Ketakutan yang Perlu Kita Rasakan

MDR-TB bukan masalah masa depan --- ia sudah di sekitar kita, menular lewat udara yang sama, bus yang sama, ruang tunggu yang sama. Bedanya, kini obatnya tidak lagi ampuh. Dan itu bukan karena kuman makin kuat, tapi karena kita terlalu lama menganggap enteng.

Rasa takut di sini penting. Karena tanpa ketakutan, tak ada dorongan untuk berubah. Kita harus takut pada kenyataan bahwa MDR-TB bisa melumpuhkan satu generasi --- generasi dengan paru-paru yang rapuh dan sistem kesehatan yang kehabisan napas.

Harapan Terakhir: Obat Takkan Menang Tanpa Penjaga

Dalam perang melawan MDR-TB, obat hanyalah peluru. Apoteker adalah penjaga yang memastikan peluru itu sampai ke sasaran. Sudah saatnya apoteker tidak sekadar menjadi pelengkap di balik meja resep, tetapi diakui sebagai garda pengawal terapi TBC nasional.

MDR-TB adalah musuh yang kita ciptakan sendiri. Tapi kita juga punya kekuatan untuk mengakhirinya --- jika apoteker diberi ruang untuk menjaga, memantau, dan memastikan setiap napas bangsa ini tetap berharga.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun