Ada jeda. Tapi pasien mengangguk.
Dan pada saat itu, Adam merasa dihargai bukan karena menjual obat. Tapi karena ia hadir. Karena ia ada.
Apakah ini mudah? Tidak. Banyak yang belum paham. Banyak yang mencibir. Bahkan sesama apoteker pun kadang berkata, "Kita ini bukan dokter."
Tapi bukankah justru di situ masalahnya?
Kenapa kita tak pernah menyebut diri sebagai tenaga kesehatan yang layak dihargai?
Kenapa kita begitu takut menetapkan tarif, seolah-olah keahlian kita tidak senilai apa pun?
Dan... berapa lama lagi kita rela jadi etalase gratis?
Kisah Adam bukan soal uang. Ini soal martabat. Soal keberanian kecil yang mengganggu sistem besar. Soal satu orang apoteker yang berhenti meminta izin untuk dihargai --- dan mulai menetapkan bahwa kehadirannya bukan cuma formalitas.
Maka pertanyaannya sekarang adalah:
Berapa harga dudukmu hari ini, di depan pasienmu? Ataukah kamu masih memberikannya cuma-cuma --- karena kamu sendiri belum tahu nilainya?
Kisah ini hanya sepenggal dari beberapa kisah serupa yang mulai semarak di dunia praktik keapotekeran di Indonesia. Beranikah apoteker kebanyakan membuat cerita baru dengan mulai menghargai proses asesmen keapotekeran yang dilakukannya?