Mohon tunggu...
Apoteker Ilham Hidayat
Apoteker Ilham Hidayat Mohon Tunggu... Apoteker/Founder Komunitas AI Farmasi - PharmaGrantha.AI/Rindukelana Senja

AI Enhanced Pharmacist

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berhenti Jadi Apoteker Gratisan !

2 Agustus 2025   18:31 Diperbarui: 2 Agustus 2025   18:31 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kredit gambar: Ilustrasi buatan AI menggunakan ChatGPT/DALL*E oleh Ilham Hidayat (dokumen pribadi) 

"Berhenti Jadi Apoteker Gratisan!"--- Kisah Adam, Apoteker yang Menolak Jadi Etalase Gratis

Adam tidak melakukan sesuatu yang besar. Ia tidak memimpin organisasi. Ia tidak tampil di layar televisi membahas resistensi antibiotik. Tapi di sebuah apotek kecil di Lampung, ia melakukan hal yang selama ini terasa mustahil: menetapkan tarif untuk jasa asesmen keapotekeran.

Rp30.000 hingga Rp50.000. Itu nominalnya. Tidak besar. Tapi cukup untuk membuat beberapa pasien mengernyit, rekan sejawat memicingkan mata, bahkan mungkin sebagian kolega dari generasi lama berbisik lirih, "Apoteker kok begitu, memangnya dokter?"

Ya. Memang kami bukan dokter. Tapi apakah artinya kami tak berhak dihargai?

Adam tidak serta-merta berani. Ia lahir dari generasi apoteker yang dibesarkan dalam ekosistem single-bar. Generasi yang diajarkan untuk pandai, tapi tidak untuk bernilai. Generasi yang belajar tentang mekanisme kerja obat hingga ke level reseptor, namun tidak pernah belajar bagaimana menetapkan harga atas keahlian itu.

Dulu, segalanya tentang jualan. Tentang stok dan omzet. Konsultasi dianggap nilai tambah yang diberikan gratis --- bukan sebagai inti dari praktik keapotekeran. Swamedikasi direduksi jadi quick-sell alih-alih proses asesmen dan edukasi yang layak dihargai.

Maka Adam, seperti banyak apoteker lain, tumbuh dengan pemahaman diam-diam bahwa ilmu boleh tinggi --- asal tidak membuat pasien pergi karena dimintai tarif.

Tapi kemudian datanglah era multibar.

Suara-suara baru mulai terdengar. Diskusi-diskusi tentang otoritas profesi, tentang identitas yang bukan hanya logistik, tentang keberanian menentukan harga diri. Di ruang-ruang daring organisasi profesi yang baru, Adam mendengar sesuatu yang tak pernah diajarkan:

"Kompetensimu itu layanan, bukan bonus. Praktik keapotekeran bukan sedekah profesional."

Adam bergeming. Lama. Tapi sesuatu dalam dirinya bergeser. Mungkin karena lelah. Mungkin karena sadar. Mungkin karena selama ini, yang membuat profesinya terasa hampa bukan karena dia tidak bisa --- tapi karena dia tidak pernah diminta untuk menjadi.

Hari itu ia mulai.

Pasien datang, mengeluh soal nyeri lambung. Dulu, Adam mungkin langsung sodorkan antasida. Tapi kini ia duduk. Ia tanya: sejak kapan? bagaimana polanya? ada riwayat obat lain? Ada mual, muntah, atau penurunan berat badan? Ia mencatat, memberi edukasi, memberi intervensi, lalu berkata, "Biaya layanan assesmen Rp 30.000, ya Bu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun