Di tengah gegap gempita pertandingan layanan kesehatan, ada satu pemain profesional yang terus berlatih, disiplin, dan punya lisensi resmi: apoteker. Namun, ironisnya, pemain ini jarang diturunkan. Approval rating-nya rendah, nyaris tak dilirik oleh pelatih dan manajer. Bukan karena tak mampu bermain. Tapi karena sistem percaya bahwa perannya bisa---dan sah-sah saja---digantikan.
Tidak jelas darimana datangnya paradigma bahwa profesional yang paling memahami farmasi justru tak layak bermain penuh. Tapi yang jelas, pertandingan tetap berlangsung. Bola terus bergulir, formasi terus disusun, dan hasil pertandingan tetap dirayakan. Tanpa apoteker di tengahnya.
Sistem yang Suka Praktis, Tak Mau Ribet
Di balik semua ini, pelatih dan manajer (baca: regulator, pemilik fasilitas, birokrat) lebih menyukai pemain yang praktis. Yang tidak banyak bicara soal etik, SOP, atau risiko terapi. Yang penting bisa main, nurut, dan murah. Maka disusunlah strategi substitusi: tenaga teknis farmasi diturunkan sebagai starter. Kadang bahkan bukan dari klub farmasi---asal bisa menyerahkan obat, boleh masuk lapangan.
Apoteker, yang terlalu "prosedural", terlalu "mahal", terlalu "berprinsip", dianggap tidak cocok dengan atmosfer permainan sekarang. Maka mereka dibiarkan duduk. Tidak diskors. Tidak dipecat. Tapi juga tidak pernah dipanggil main.
Pertandingan yang Sepi Tapi Ditepuki
Yang lebih menyedihkan, pertandingan ini berjalan seperti biasa. Layanan tetap buka. Resep tetap ditebus. Apotek tetap hidup. Penonton---masyarakat---masih tepuk tangan. Mungkin karena mereka tidak sadar bahwa pertandingan ini hambar. Tidak ada taktik, tidak ada keahlian. Hanya repetisi dan rutinitas.
Ini bukan pertandingan. Ini drama panggung dengan aktor seadanya, yang tetap dipuji karena tak banyak yang tahu seperti apa permainan aslinya jika dimainkan oleh pemain profesional.
Kaki yang Sesekali Menyentuh Garis Lapangan
Sesekali, apoteker muncul di pinggir lapangan. Kadang disuruh jadi MC. Kadang tampil di foto tim. Kadang diminta masuk lima menit terakhir saat skor sudah 3--0. Tapi jarang sekali benar-benar diberi ruang untuk memainkan strategi, mengambil keputusan, dan mengatur alur pertandingan.
Padahal kaki mereka sudah siap melangkah. Tapi tidak pernah benar-benar disambut masuk. Mereka tetap jadi pengganti abadi, bukan pemain inti.
Di Permainan Lain: Apoteker Industri dan Akademisi
Sementara itu, di sisi lapangan lain, ada pertandingan lain yang lebih sunyi: dunia industri. Di sana, apoteker masih bermain. Tapi bukan sebagai striker, bukan pula sebagai gelandang kreatif. Mereka hanya asisten pelatih level tiga. Yang menyiapkan data. Yang mengoreksi sedikit catatan. Tapi keputusan tetap ada pada pelatih utama: manajer produk, direktur, atau bahkan investor.
Akademisi? Mereka komentator di pinggir lapangan. Punya banyak teori, peta permainan, dan analisis taktik. Tapi speakernya dimute. Tak ada yang dengar. Dan karena tak tahan melihat permainan yang ngawur, mereka pun perlahan menoleh ke layar lain. Drama Korea misalnya. Lebih menarik. Lebih bisa dipahami alurnya.