Namun dalam praktiknya, skripsi ini menjelaskan bahwa meskipun undang-undang tersebut telah diberlakukan, implementasinya masih menghadapi tantangan di lapangan. Masyarakat belum sepenuhnya memahami perubahan hukum ini, dan masih banyak yang mengajukan dispensasi kawin ke Pengadilan Agama. Dispensasi kawin ini menjadi celah yang sering dimanfaatkan oleh orang tua atau pasangan muda untuk tetap menikah meskipun usia mereka belum mencapai batas minimal yang ditetapkan.
Dengan demikian, skripsi ini menilai bahwa Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 adalah langkah maju dalam perlindungan hukum terhadap anak dan remaja dari praktik perkawinan dini. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada upaya edukasi hukum, pengawasan pelaksanaan di lapangan, serta sinergi antara lembaga pemerintah, masyarakat, dan tokoh agama dalam membentuk kesadaran hukum dan budaya baru yang lebih melindungi hak anak untuk tumbuh secara optimal sebelum memasuki kehidupan pernikahan.
Gambaran Umum KUA Cepogo
KUA Cepogo merupakan Kantor Urusan Agama yang berada di wilayah Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Lokasinya terletak sekitar 9 kilometer sebelah barat dari pusat pemerintahan Kabupaten Boyolali. KUA Cepogo menjadi lembaga yang bertanggung jawab dalam urusan administrasi dan pelayanan keagamaan, khususnya yang berkaitan dengan pernikahan, rujuk, wakaf, zakat, haji, dan penyuluhan agama Islam di wilayah kecamatan tersebut.
Tugas pokok dan fungsi KUA Cepogo mencakup pencatatan perkawinan, penerbitan buku nikah, pembinaan dan penyuluhan masyarakat terkait hukum keluarga Islam, serta pelaksanaan program-program keagamaan yang bersifat preventif dan edukatif. KUA juga memiliki peran strategis dalam menjalankan kebijakan pemerintah terkait usia minimal perkawinan, termasuk menjadi lembaga yang pertama kali menerima dan memproses permohonan perkawinan, termasuk kasus perkawinan di bawah umur yang memerlukan lampiran dispensasi kawin dari pengadilan agama.
Visi KUA Cepogo adalah menjadi institusi yang melayani secara profesional, transparan, dan akuntabel dalam rangka menciptakan masyarakat madani yang berakhlak mulia dan taat hukum. Misinya antara lain memberikan pelayanan yang cepat dan tepat dalam urusan administrasi pernikahan serta menjadi pusat pembinaan keagamaan bagi masyarakat setempat. KUA Cepogo juga menjalin kerja sama dengan tokoh masyarakat dan lembaga lain dalam rangka meningkatkan pemahaman hukum dan keagamaan di lingkungan sekitarnya.
Dalam konteks penelitian ini, KUA Cepogo menjadi fokus karena wilayah kerjanya menunjukkan dinamika yang signifikan terkait praktik perkawinan di bawah umur. Data yang diperoleh menunjukkan adanya kenaikan kasus pada tahun 2020 dan penurunan pada 2021, yang menjadikan KUA Cepogo sebagai lokasi yang tepat untuk meneliti pengaruh Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 dalam praktik lapangan. Hal ini menunjukkan bahwa KUA tidak hanya sebagai lembaga administratif, tetapi juga aktor penting dalam pelaksanaan regulasi dan transformasi sosial di tingkat akar rumput.
Secara keseluruhan, gambaran umum tentang KUA Cepogo dalam skripsi ini memperlihatkan bahwa lembaga tersebut memiliki peran sentral dalam mencatat dan mengawasi proses perkawinan, termasuk menjadi titik awal dalam mendeteksi dan menangani kasus-kasus yang menyimpang dari ketentuan hukum, seperti perkawinan di bawah umur. Peneliti memanfaatkan posisi strategis KUA ini untuk mendapatkan data empiris yang menggambarkan respon masyarakat terhadap perubahan kebijakan hukum di bidang perkawinan.
Perkawinan di Bawah Umur di KUA Cepogo
Praktik perkawinan di bawah umur di KUA Cepogo menunjukkan beberapa ciri khusus yang berkaitan erat dengan perubahan hukum, budaya, dan situasi sosial di masyarakat. Dalam skripsi dijelaskan bahwa meskipun batas legal usia kawin dinaikkan menjadi 19 tahun untuk kedua jenis kelamin melalui UU No. 16 Tahun 2019, banyak masyarakat di Cepogo yang belum sepenuhnya sadar akan perubahan ini. Akibatnya, terjadi peningkatan permohonan dispensasi ke Pengadilan Agama, terutama pada tahun 2020 ketika kasus kehamilan di luar nikah menjadi pemicu utama. Kelompok masyarakat tertentu masih mengikuti tradisi lokal seperti adat weton dan anggapan "harus cepat menikah jika sudah bertunangan" atau menghindari stigma "perawan tua".
Selanjutnya, angka praktik tersebut mengalami penurunan pada tahun 2021. Hal ini dikarenakan banyaknya permohonan dispensasi kawin yang ditolak oleh Pengadilan Agama, sejajar dengan kesadaran masyarakat yang mulai terbentuk atas risiko hukum dan dampak sosial serta kesehatan dari pernikahan dini. Sebagian masyarakat memilih untuk menunda menikah hingga usia memenuhi ketentuan UU, sementara yang terlanjur mengajukan dispensasi kerap mencabut atau menunggu hingga syarat usia tercapai.