Mohon tunggu...
Abigail Sitangsu Kapindho
Abigail Sitangsu Kapindho Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Hukum

UAS Hukum Perdata Review Skripsi "Dinamika Praktik Perkawinan di Bawah Umur di KUA Cepogo Pasca Undang-undang No.16 Tahun 2019"

10 Juni 2025   14:55 Diperbarui: 10 Juni 2025   15:06 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Skripsi ini menjelaskan bahwa meskipun secara fikih Islam tidak menetapkan batas usia kawin secara spesifik, dan cukup dengan tanda baligh, namun dalam konteks hukum positif Indonesia, batas usia ini sangat penting guna memastikan kesiapan fisik, psikis, ekonomi, serta tanggung jawab sosial dari calon pasangan. Oleh karena itu, perkawinan yang dilakukan di bawah usia yang telah ditentukan tersebut dikategorikan sebagai perkawinan di bawah umur, yang secara hukum memerlukan permohonan dispensasi kawin ke Pengadilan Agama.

Faktor-faktor Penyebab Perkawinan Di Bawah Umur

Terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya perkawinan di bawah umur. Faktor ekonomi menjadi penyebab signifikan, di mana keluarga dengan kondisi finansial lemah cenderung menikahkan anaknya lebih awal untuk mengurangi beban hidup dan berharap mendapatkan bantuan dari keluarga pasangan. Selain itu, faktor pendidikan juga berperan besar, di mana anak-anak yang tidak melanjutkan sekolah dianggap lebih baik segera menikah daripada menganggur, apalagi dengan minimnya pemahaman terhadap risiko menikah di usia muda.

Faktor lingkungan juga turut memengaruhi, terutama dalam konteks pergaulan bebas yang sering berujung pada kehamilan di luar nikah. Hal ini mendorong keluarga untuk mempercepat pernikahan guna menutupi aib dan menjaga nama baik keluarga. Di sisi lain, faktor budaya dan adat istiadat masyarakat setempat seperti kepercayaan pada adat weton, larangan menolak lamaran karena dianggap pamali, serta pandangan bahwa perempuan yang belum menikah di atas usia 20 tahun dianggap "perawan tua", juga menjadi pendorong kuat bagi praktik perkawinan dini. Semua faktor ini saling berkaitan dan membentuk pola sosial yang sulit diubah hanya dengan pendekatan hukum semata.

Dampak Perkawinan Di Bawah Umur

Perkawinan di bawah umur skripsi "Dinamika Praktik Perkawinan di Bawah Umur di KUA Cepogo Pasca Undang-Undang No. 16 Tahun 2019" menimbulkan berbagai dampak negatif baik bagi individu maupun masyarakat. Salah satu dampak utama adalah terganggunya pendidikan anak, karena pernikahan membuat mereka harus meninggalkan bangku sekolah dan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan potensi diri secara akademik. Selain itu, perkawinan dini juga berisiko tinggi terhadap kesehatan, khususnya bagi perempuan yang rahimnya belum siap secara biologis untuk proses kehamilan dan persalinan, sehingga rentan mengalami komplikasi medis.

Di sisi lain, ketidaksiapan mental dan emosional pasangan muda juga menjadi penyebab munculnya konflik dalam rumah tangga, yang kerap berujung pada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perceraian dini. Kurangnya kedewasaan dalam menyikapi persoalan rumah tangga membuat pernikahan menjadi tidak stabil dan tidak harmonis. Selain itu, praktik perkawinan di bawah umur juga dapat menyebabkan tekanan sosial dan ekonomi baru, karena pasangan muda umumnya belum memiliki kemandirian finansial dan keterampilan untuk menopang kehidupan rumah tangga. Dampak-dampak ini menunjukkan bahwa perkawinan di bawah umur bukan hanya persoalan legalitas, tetapi juga berdampak serius terhadap kualitas hidup generasi muda.

UNDANG-UNDANG NO. 16 TAHUN 2019

Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 dalam skripsi tersebut dijelaskan sebagai hasil revisi dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya pada Pasal 7 ayat (1) mengenai batas usia perkawinan. Revisi ini menetapkan bahwa batas usia minimal untuk menikah bagi laki-laki dan perempuan adalah sama, yaitu 19 tahun. Perubahan ini dilakukan untuk menekan angka perkawinan di bawah umur yang dinilai semakin meningkat dan berdampak negatif terhadap kehidupan anak dan generasi muda.

Undang-Undang ini juga menjadi bentuk koreksi terhadap ketentuan sebelumnya yang menetapkan batas usia minimal menikah bagi perempuan adalah 16 tahun. Ketentuan tersebut dianggap diskriminatif dan tidak lagi relevan dengan kondisi sosial dan kesehatan remaja saat ini. Oleh karena itu, penyetaraan usia kawin dianggap penting agar perempuan memiliki hak dan perlindungan hukum yang sama dengan laki-laki, serta untuk mencegah risiko kesehatan reproduksi yang lebih besar jika menikah di usia terlalu muda.

Penetapan batas usia 19 tahun juga bertujuan untuk memastikan bahwa calon pengantin telah memiliki kesiapan secara fisik, mental, emosional, dan ekonomi untuk menjalani kehidupan berumah tangga. Hal ini sejalan dengan prinsip pembangunan keluarga yang sehat dan bertanggung jawab. Undang-Undang ini diharapkan dapat menjadi upaya strategis dalam mengurangi angka perceraian dini, kekerasan dalam rumah tangga, dan meningkatnya anak putus sekolah akibat pernikahan yang terlalu dini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun