Mohon tunggu...
Dario AbisaliEshan
Dario AbisaliEshan Mohon Tunggu... Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Saya adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya yang memiliki ketertarikan besar pada pengembangan diri di bidang akademik, khususnya melalui penelitian dan penulisan hukum. Saya terbiasa berpikir analitis, sistematis, dan kritis dalam memahami suatu persoalan, serta berupaya untuk menghubungkan aspek logika dengan realitas sosial. Semangat saya adalah terus belajar dan berkontribusi melalui kegiatan yang menumbuhkan tradisi intelektual, baik di lingkungan kampus maupun dalam konteks yang lebih luas, hingga ke level nasional dan internasional.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Darurat Militer: Ketika Keamanan Menjadi Dalih Untuk Membungkam Demokrasi

5 Oktober 2025   13:20 Diperbarui: 5 Oktober 2025   13:20 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Darurat Militer: Ketika Keamanan Menjadi Dalih Untuk Membungkam Demokrasi

Pada akhir Agustus 2025, Indonesia diguncang oleh gelombang demonstrasi besar-besaran yang melibatkan mahasiswa, buruh, dan masyarakat sipil. Aksi protes ini dipicu oleh kebijakan kontroversial, seperti kenaikan tunjangan anggota DPR dan dugaan penyalahgunaan kekuasaan. Massa menuntut reformasi struktural, penghapusan politik dinasti, dan penuntasan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia. Namun, di balik semangat perjuangan tersebut, muncul isu darurat militer yang memicu perdebatan sengit di kalangan publik dan pejabat negara.

Isu darurat militer mencuat seiring dengan eskalasi kerusuhan yang terjadi di berbagai daerah, termasuk pembakaran gedung DPRD dan penjarahan fasilitas umum. Beberapa pihak menilai bahwa situasi ini sengaja diciptakan untuk memuluskan agenda politik tertentu, seperti memperkuat kontrol militer atas pemerintahan. Pemerintah dan aparat keamanan membantah adanya rencana darurat militer, namun ketegangan semakin meningkat seiring dengan jatuhnya korban jiwa dan luka-luka di tengah demonstrasi.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendalam; apakah darurat militer benar-benar diperlukan untuk menjaga stabilitas negara, ataukah justru menjadi alat untuk menutupi kepentingan politik tertentu? Dalam konteks ini, penting untuk mengevaluasi apakah langkah ekstrem seperti darurat militer sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia yang seharusnya dijunjung tinggi.

Pada akhir Agustus 2025, Indonesia diguncang oleh gelombang demonstrasi besar-besaran yang berlangsung hingga awal September. Aksi protes ini dipicu oleh kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan rakyat, termasuk kenaikan tunjangan anggota DPR dan kebijakan ekonomi yang tidak pro-rakyat. Massa yang terdiri dari mahasiswa, buruh, dan kelompok masyarakat lainnya menuntut perbaikan sistem pemerintahan, penghapusan politik dinasti, serta penuntasan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia.

Namun, di tengah eskalasi demonstrasi yang semakin intens, isu darurat militer muncul sebagai opsi yang dipertimbangkan untuk mengatasi situasi. Beberapa pihak mulai mengkhawatirkan bahwa situasi ini sengaja diciptakan untuk memperkuat kontrol militer atas pemerintahan. Bentrokan antara aparat keamanan dan demonstran semakin memperburuk keadaan, dengan korban luka dan bahkan korban jiwa yang berjatuhan. Laporan-laporan internasional dan survei BPS menunjukkan adanya ketidakpuasan yang meluas terhadap pemerintah, yang membuat ketegangan semakin tinggi dan membuka peluang bagi langkah ekstrem seperti darurat militer.

Darurat militer sering kali digadang-gadang sebagai solusi untuk menjaga stabilitas di tengah kerusuhan, tetapi apakah itu benar-benar untuk kepentingan rakyat, atau justru sekadar alat untuk mempertahankan kekuasaan? Dalam sejarah Indonesia, kita pernah melihat bagaimana darurat militer menjadi kambing hitam untuk menyembunyikan kepentingan politik tertentu, bukan sebagai upaya untuk menanggulangi ancaman nyata. Apa yang terjadi pada tahun 1998, misalnya, di mana militer mengambil alih kekuasaan dan reformasi terpaksa berjalan di bawah bayang-bayang kontrol militer, harusnya menjadi pelajaran pahit. Meski stabilitas tercipta, kebebasan sipil digorok, hak asasi manusia diabaikan, dan banyak korban tak bersalah yang menjadi tumbal demi kepentingan elit yang berkuasa.

Lalu, mari kita lihat negara-negara lain yang juga pernah menerapkan darurat militer, seperti Thailand. Negara ini kerap kali mengandalkan militer untuk "menjaga ketertiban" ketika situasi politik memanas. Di setiap kesempatan, klaimnya selalu sama: darurat militer diperlukan demi stabilitas. Tapi jika kita gali lebih dalam, yang terjadi justru sebaliknya. Militer tidak hanya menekan protes, tetapi juga memperbesar ketimpangan sosial dan memperkuat cengkeraman elit yang sudah berkuasa. Apa yang mereka sebut sebagai "keamanan" hanya memperkokoh kontrol otoriter yang pada akhirnya menenggelamkan suara-suara rakyat yang sejatinya sedang memperjuangkan hak-haknya.

Jadi, pertanyaan besar yang harus kita ajukan adalah, apakah kita benar-benar siap untuk menerima kekuasaan militer yang lebih besar, di mana hak sipil dan kebebasan individu akan menjadi korban berikutnya? Darurat militer bukanlah jaminan bahwa negara akan aman, justru sering kali memperburuk keadaan dan membuka peluang bagi kelompok-kelompok yang berkuasa untuk menekan oposisi dan melanggengkan kekuasaan mereka. Jika kita membiarkan langkah ekstrem ini terjadi, maka kita hanya akan menjadi saksi bisu atas runtuhnya prinsip-prinsip demokrasi yang selama ini kita perjuangkan.

Darurat militer bukanlah solusi jangka panjang untuk masalah ketidakpuasan rakyat. Sebaliknya, solusi yang lebih konstruktif dan aplikatif adalah melalui reformasi politik dan penguatan demokrasi. Pemerintah perlu memperbaiki transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara, agar kebijakan yang diambil lebih mencerminkan kepentingan rakyat, bukan elit politik semata. Pembenahan sistem hukum yang adil dan tanpa pandang bulu dapat memastikan bahwa siapa pun yang melakukan pelanggaran, baik itu pejabat atau warga negara biasa, akan ditindak tegas.

Selain itu, peran masyarakat juga sangat penting. Partisipasi aktif dalam proses demokrasi, mulai dari pemilu hingga pengawasan kebijakan pemerintah, dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Pemanfaatan teknologi, seperti platform online untuk menyuarakan pendapat dan melibatkan warga dalam pengambilan keputusan, juga bisa menjadi cara yang lebih efektif dan damai untuk menyelesaikan ketegangan sosial. Jika langkah-langkah ini diterapkan dengan serius, maka Indonesia bisa menghindari ancaman darurat militer dan menuju pemerintahan yang lebih inklusif dan transparan.

Darurat militer mungkin tampak seperti jalan pintas untuk meredam kegaduhan politik, tetapi sejarah dan pengalaman negara lain menunjukkan bahwa langkah ekstrem ini justru lebih sering melahirkan luka baru ketimbang solusi. Indonesia tidak kekurangan pilihan selain militerisasi; yang dibutuhkan adalah keberanian politik untuk membuka ruang partisipasi, memperkuat demokrasi, dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Jika negara memilih jalur transparansi dan akuntabilitas, rakyat akan menemukan alasan untuk percaya kembali. Jangan sampai dalih "stabilitas" dijadikan tameng untuk membungkam suara masyarakat. Demokrasi memang berisik, tetapi kebisingan itu jauh lebih sehat dibandingkan keheningan yang dipaksakan oleh moncong senjata.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun