Ketegangan militer antara Iran dan Israel kembali menyedot perhatian dunia. Sebagai dua aktor utama di kawasan Timur Tengah dengan sejarah panjang konflik, eskalasi yang terjadi tak hanya berimplikasi pada aspek geopolitik regional, namun juga membawa dampak psikologis dan sosial ke negara-negara mayoritas Muslim, termasuk Indonesia. Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia dan pendukung aktif perjuangan Palestina, Indonesia tak bisa bersikap netral dalam konteks moral. Namun, di balik gelombang simpati terhadap Palestina, terselip ancaman lain yang tidak kalah penting: potensi radikalisasi generasi muda.
Simpati yang Berpotensi Salah Arah
Respon publik Indonesia terhadap konflik Iran-Israel kerap kali dibalut oleh dukungan terhadap Palestina, yang menjadi isu sensitif dan penuh muatan emosional. Media sosial ramai dengan dukungan moral, penggalangan dana, hingga seruan solidaritas. Namun, di ruang yang sama, kita juga menyaksikan munculnya narasi-narasi provokatif yang membawa nuansa kebencian sektarian dan seruan jihad global.
Laporan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebutkan bahwa konflik di Timur Tengah kerap dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal sebagai alat propaganda untuk menarik simpati anak muda, utamanya melalui platform digital seperti YouTube, TikTok, hingga Telegram (BNPT, 2023). Isu Palestina sering dijadikan simbol perlawanan terhadap "barat", dan disusupi doktrin takfiri (mengkafirkan pihak lain) yang menjurus pada tindakan intoleran bahkan kekerasan.
Moderasi Beragama sebagai Filter Simpati
Simpati kepada Palestina tentu sah dan manusiawi. Namun tanpa disertai literasi media, pemahaman keagamaan yang moderat, dan ketahanan ideologi, simpati tersebut mudah digiring menjadi kebencian dan sikap eksklusif. Di sinilah peran penting pemerintah dan masyarakat sipil Indonesia. Pendidikan keagamaan harus ditekankan pada prinsip rahmatan lil 'alamin, bukan doktrin hitam-putih yang membelah dunia dalam dikotomi kafir-muslim, benar-salah, atau perang-damai.
Program Penguatan Moderasi Beragama yang digaungkan oleh Kementerian Agama RI harus dilibatkan secara lebih aktif, khususnya di lingkungan pendidikan formal dan informal. Di sisi lain, literasi digital juga menjadi kebutuhan mendesak. Generasi muda harus dibekali kemampuan berpikir kritis agar tidak mudah termakan hoaks, teori konspirasi, atau propaganda ideologis transnasional yang menyusup dalam narasi keagamaan.
Peran Diplomasi Indonesia: Netral Aktif dan Penjaga Perdamaian
Sebagai negara non-blok dan pendukung setia Palestina, Indonesia memiliki posisi strategis dalam mendorong solusi damai. Namun pendekatan Indonesia sebaiknya tetap mengusung diplomasi netral-aktif, yang tidak berpihak secara militer pada Iran atau Israel, tetapi fokus pada penyelesaian konflik secara damai dan adil.
Indonesia harus memaksimalkan perannya di forum multilateral seperti Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan Dewan Keamanan PBB, mendorong penghentian kekerasan dan mengusulkan penyelidikan independen atas pelanggaran HAM. Di dalam negeri, diplomasi itu harus diiringi dengan edukasi publik agar masyarakat memahami bahwa perjuangan Palestina bukan berarti mendukung ekstremisme, melainkan memperjuangkan nilai kemanusiaan, keadilan, dan kedaulatan.