Hidup yang kini kupertahankan
Adalah kepingan yang memilukan
Terbiasa sendiri berteman keramaian
Terbiasa sunyi berpeluk kekosongan
Detik yang melintas tak lagi terpikirkan
Hati yang mati tak lagi terelakkan
Sampai kukira hati benar-benar mati
Tatap matamu menghidupkannya, lagi
Garis bibirmu layaknya keajaiban
Menembus benteng yang dibangun kesakitan
Menembus akal yang selalu kupertahankan
Menembus rasa diujung kematian
Kau bangun harapan secara perlahan
Kau peluk angan dengan kesabaran
Kau bawa rasa menuju kebangkitan
Tanpa sadar segala itu kau lakukan
Hanya karena kusalah mengartikan
Perlahan terasa menyesakkan
Senyummu untuk semua
kuyakin tidak dengan tatap mata
Tatap mata itu milikmu
Tatap mata itu untukku
Teriak hati ini milikku
Teriak hati ini untukmu
Menemukan, memiliki, kemudian kehilangan
Pernahkah perpisahan tak diiringi kenangan?
Lantas, mengapa kita dipertemukan?
Apa yang sebenarnya Tuhan inginkan?
Tertulis untukmu, penuh cinta.