Mohon tunggu...
Abi Hasantoso
Abi Hasantoso Mohon Tunggu... Akuntan - Jurnalis

Lahir di Jakarta pada 26 Februari 1967. Berkecimpung di dunia jurnalistik sebagai wartawan Majalah HAI pada 1988 - 1994. Selama bekerja di majalah remaja itu ia sempat meliput konser musik New Kids On The Block di Selandia Baru dan Australia serta Toto dan Kriss Kross di Jepang. Juga menjadi wartawan Indonesia pertama yang meliput NBA All Star Game di Minnesota, AS. Menjadi copywriter di tiga perusahaan periklanan dan menerbitkan buku Namaku Joshua, biografi penyanyi cilik Joshua Suherman, pada 1999. Kini, sembari tetap menulis lepas dan coba jadi blogger juga, Abi bekerja di sebuah perusahaan komunikasi pemasaran.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rentannya Ketahanan Pangan Suku Anak Dalam

8 Desember 2021   07:42 Diperbarui: 8 Desember 2021   07:59 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Kehidupan semi nomadik hanya mereka lakukan kalau ada kejadian tertentu saja, misalnya melangun ketika ada yang meninggal," jelas Indit.
 
Pengalamannya bersentuhan dengan Suku Anak Dalam selama sekitar dua dekade memberi Indit kesimpulan bahwa ada perubahan besar yang terjadi pada sistem pangan Suku Anak Dalam.

Pada saat-saat awal Sokola Rimba, bahkan zaman-zaman awal LSM konservasi seperti Warsi turun tangan mendampingi Suku Anak Dalam, komunitas itu masih bertanam padi sebagai pangan utama mereka.
 
"Di awal-awal aktivitas Sokola Rimba kami masih makan nasi hasil panen padi Orang Rimba, yang kalau baru panen nasinya enak banget," ungkap Indit, mengenang.

Sekarang, sambung Indit, Suku Anak Dalam tidak lagi menanam padi. Cuma menanam karet.

Kabarnya kondisi tanah kawasan yang didiami warga Suku Anak Dalam dan ada banyak hama membuat saat ini padi tidak lagi menjadi tanaman pokok yang prioritas  untuk digarap.
 
Persoalannya, dengan tak lagi menanam padi, sistem pangan Suku Anak Dalam yang awalnya mandiri meski tergolong subsisten, saat ini sudah bergeser dan cukup bergantung kepada pasar. Hasil ekstraksi hutan berupa pangan dan non pangan mereka jual ke pasar untuk membeli beras, mie, gula, kopi, teh, dan bahan keperluan sehari-hari lainnya.
 
Menurut Indit, ketergantungan Suku Anak Dalam terhadap pangan dari luar itu sudah tergolong mengkhawatirkan.

"Sudah hampir 50-50. Untuk karbohidrat bahkan sudah tergolong tergantung pasar karena (mudahnya) diakses ke pasar. Limapuluh persen sumber pangan datang dari hutan, limapuluh persen lagi dari pasar seperti gula, beras, kopi, dan teh," papar Indit.

Mereka juga sudah cukup lama mengenal makanan kemasan seperti mie instant dan sarden ikan kalengan.
 
"Persoalan susulannya, makanan kemasan meninggalkan masalah lingkungan yakni  sampahnya," kata Indit.
 
Mulai kacaunya sistem pangan Suku Anak Dalam tampaknya terjadi sejak awal tahun 2000-an. Keterdesakan warga Suku Anak Dalam karena orang luar memang sudah dimulai sejak tahun 1970, saat itu pemerintah memperkenalkan sistem Hak Pengusahaan Hutan (HPH) kepada berbagai perusahaan yang memicu penggundulan hutan (deforestasi) besar-besaran. Kerusakan itu ditambah pula dengan program transmigrasi yang digenjot secara besar-besaran.
 
Bagi warga Suku Anak Dalam kedua hal itu belum bisa membuat kehidupan mereka kacau. Mereka masih bisa hidup dengan mengandalkan berburu dan meramu hasil hutan.

Masa-masa kelam itu mulai datang pada tahun 2000. Di tahun itu, setelah perjuangan untuk mendapatkan status resmi wilayah mereka, pemerintah pusat melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan yang saat itu dijabat oleh Nur Mahmudi Ismail dengan Nomor: 285/Kpts-II/2000 Tanggal 23 Agustus 2000 menetapkan area hutan seluas 60.500 hektare sebagai Kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD).
 
Harus diakui Warsi berperan besar dalam memberikan kepastian status area yang ditempati komunitas Suku Anak Dalam tersebut. Dengan segenap cara, upaya, bantuan, dukungan, dan lobi Warsi kepada pemerintah pusat dapat dikatakan berhasil sehingga status area yang menjadi habitat Suku Anak Dalam mendapatkan legalitas.
 
Persoalannya status Taman Nasional tersebut di kemudian hari diketahui merugikan kepentingan warga Suku Anak Dalam.

Dodi Rokhdian dalam tesisnya untuk meraih gelar master antropologi dari Universitas Indonesia menulis pada tahun 2005, "Alim Rajo Disembah, Piado Alim Rajo Disanggah: Ragam Bentuk Perlawanan Orang Rimba Makekal Hulu Terhadap Kebijakan Zonasi Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi".

Lima tahun kemudian, melalui pertemuan adat di Simpang Meranti selama dua hari dua malam di bulan Agustus 2005, kaum Suku Anak Dalam menegaskan keberatan mereka atas status Taman Nasional tersebut. Pasalnya dengan status tersebut dan kebijakan zonasi area TNBD yang mengikutinya akan merugikan kehidupan komunitas Suku Anak Dalam.
 
Saat itu mereka menyikapi buku tebal yang diterbitkan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi berjudul "Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas (RPTNBD)" yang dibacakan dan diterjemahkan kepada warga yang saat itu hadir oleh tokoh pemuda Makekal Hulu bernama Pengendum Tampung.

"Usai dibacakan suasana dipenuhi dengungan, lengkingan, jeritan, dan beragam umpatan kata kekecewaan, khususnya saat membahas peruntukan kawasan dan pengaturan zona-zona di kawasan Bukit Duabelas. Semua berpangkal saat didapat satu fakta bahwa Taman Nasional yang sebelumnya digembar-gemborkan untuk melindungi kehidupan dan adat Orang Rimba oleh LSM Warsi ternyata akan menyebabkan Orang Rimba keluar dari hutannya dan menempati satu kawasan tertentu bernama zona pemanfaatan tradisionil yang berlokasi di tepi luar kawasan hutan...." tulis tesis tersebut.

Yang membuat kaum Suku Anak Dalam kecewa, mereka merasa ditusuk dari belakang oleh pihak LSM yang selama ini mereka percayai tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun