Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Rentannya Ketahanan Pangan Suku Anak Dalam

8 Desember 2021   07:42 Diperbarui: 8 Desember 2021   07:59 339 3
Bagi banyak warga Provinsi Jambi, peristiwa mengenaskan yang terjadi pada 2015 itu masih menjadi kenangan buruk yang sukar dihapus: belasan warga Suku Anak Dalam mati kelaparan di kawasan hutan, habitat tempat mereka lahir, hidup, dan mencari makan.

Ternyata ini bukan lagi negeri yang lebih setengah abad lalu dipuji-puji Koes Plus dalam syairnya sebagai "tanah surga", tempat "tongkat kayu dan batu jadi tanaman...."
 
Menurut penuturan seorang fasilitator bernama Yomi dari Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang lama melakukan pendampingan terhadap Suku Anak Dalam, kematian beruntun warga Suku Anak Dalam itu karena kelaparan dan sulitnya air bersih untuk minum.

Tiga rombong (kelompok) Suku Anak Dalam pimpinan Tumenggung Marituha, Tumenggung Ngamal, dan Tumenggung Nyenong terpaksa melangun, pindah dari area sebelumnya karena adanya kematian warganya.

Persoalannya, bila di masa lalu melangun mudah dilakukan dengan memasuki kawasan hutan lain, saat ini ketiga rombong itu terjebak dalam kawasan hutan yang makin sempit. Mereka pun mau tak mau hidup di pinggiran hutan, tepi-tepi desa, dan ladang masyarakat pendatang yang kalau pun mereka tuai tentu mendatangkan persoalan.

Akibatnya bencana kelaparan pun menyergap rombong tersebut.
 
Belum lagi fakta pilu tertangkapnya sekian banyak warga Suku Anak Dalam sedang mengemis di Kota Jambi. Saat ditanya mengapa mereka dilanda bencana kelaparan sampai harus mengemis, jawaban dua kelompok berbeda di dua tempat berlainan itu sama: "Hutan habis, makanan kami juga hilang!"
 
Yang lebih membuat kita mengelus dada, malu membiarkan ada anak bangsa meninggal karena lapar, kedua peristiwa itu dengan cepat menjadi kabar mendunia. Soal kelaparan segera menyebar ke seluruh dunia sebagai berita buruk saat dimuat oleh banyak media arus utama. Sementara fakta tertangkapnya warga Suku Anak Dalam yang tengah mengemis itu tertuang dalam laporan LSM internasional, Human Rights Watch, tahun 2019 lalu.  
 
Untuk negeri sesubur Nusantara dengan adanya fakta kematian karena kelaparan sudah barang tentu harus menjadi pertanyaan besar. Pasalnya menjadi keniscayaan bahwa setiap kelompok manusia, sesederhana apa pun kehidupan mereka, pasti memiliki sistem pangan.                                            
 
"Sistem pangan adalah seluruh kaitan aktivitas pangan dari hulu ke hilir, dari produksi, pengolahan, distribusi, konsumsi, hingga pembuangan," kata Hayu Dyah yang dikenal sebagai seorang peneliti pangan lokal (terutama tanaman pangan liar) dari Mantasa, sebuah LSM yang meneliti sistem pangan di Suku Tengger.

Menurut Dyah, seiring waktu sistem pangan di dunia makin tergantung pada beberapa komoditas saja.

Riset Badan Pangan PBB (FAO) mencatat ada 7.000 tanaman yang bisa dikonsumsi sebagai pangan tapi hanya 150 tanaman saja yang dikembangkan.

"Dari jumlah itu hanya 103 jenis tanaman yang secara signifikan menopang sistem pangan manusia," kata Dyah dalam sebuah diskusi daring bertajuk "Sistem Pangan Masyarakat Adat, Kedaulatan Pangan, dan Ancaman Omnibus Law" pada bulan Oktober 2021 lalu.
 
Sebagai komunitas yang telah ada sejak beratus tahun lalu, Suku Anak Dalam pun tentu saja memiliki sistem pangan mereka sendiri.

"Masyarakat Suku Anak Dalam atau Orang Rimba memiliki ketergantungan kuat dengan hutan. Mereka merasa bahwa makanan mereka yang  'disediakan' hutan mencukupi," kata Aditya Anindita yang Biasa dipanggil Indit, salah satu pendiri Sokola Rimba, LSM yang melakukan pendampingan pembelajaran baca-tulis-hitung pada anak-anak Suku Anak Dalam sejak awal tahun 2000-an.
 
Semua itu, menurut Indit, dimungkinkan karena kondisi "Rimba Bungaron Raya", hutan habitat komunitas Suku Anak Dalam sejak lama, dulunya sangat berlimpah dengan hasil hutan.

Hutan yang masih luas dan jarak antarkelompok yang jauh membuat hasil hutan, baik tanaman maupun hewan, sangat mencukupi untuk kehidupan sehari-hari warga Suku Anak Dalam.
 
Selain itu mereka pun memerlukan beberapa barang yang tidak dapat dihasilkan hutan seperti garam dan kain. Namun semua itu bisa diperoleh dengan cara bertukar (barter) yang kerap dilakukan melalui Jenang, petugas perantara warga luar hutan dengan Orang Rimba yang ditunjuk sejak zaman Kesultanan Jambi.

Sebaliknya warga Suku Anak Dalam atau Orang Rimba juga kerap dimobilisasi para Jenang untuk membawa keluar hasil hutan seperti rotan, getah karet, dan jernang sebagai upeti untuk Kesultanan Jambi saat itu.
 
Sejatinya, kata Indit, kehidupan warga Suku Anak Dalam tidaklah nomaden, melainkan tinggal.

"Kehidupan semi nomadik hanya mereka lakukan kalau ada kejadian tertentu saja, misalnya melangun ketika ada yang meninggal," jelas Indit.
 
Pengalamannya bersentuhan dengan Suku Anak Dalam selama sekitar dua dekade memberi Indit kesimpulan bahwa ada perubahan besar yang terjadi pada sistem pangan Suku Anak Dalam.

Pada saat-saat awal Sokola Rimba, bahkan zaman-zaman awal LSM konservasi seperti Warsi turun tangan mendampingi Suku Anak Dalam, komunitas itu masih bertanam padi sebagai pangan utama mereka.
 
"Di awal-awal aktivitas Sokola Rimba kami masih makan nasi hasil panen padi Orang Rimba, yang kalau baru panen nasinya enak banget," ungkap Indit, mengenang.

Sekarang, sambung Indit, Suku Anak Dalam tidak lagi menanam padi. Cuma menanam karet.

Kabarnya kondisi tanah kawasan yang didiami warga Suku Anak Dalam dan ada banyak hama membuat saat ini padi tidak lagi menjadi tanaman pokok yang prioritas  untuk digarap.
 
Persoalannya, dengan tak lagi menanam padi, sistem pangan Suku Anak Dalam yang awalnya mandiri meski tergolong subsisten, saat ini sudah bergeser dan cukup bergantung kepada pasar. Hasil ekstraksi hutan berupa pangan dan non pangan mereka jual ke pasar untuk membeli beras, mie, gula, kopi, teh, dan bahan keperluan sehari-hari lainnya.
 
Menurut Indit, ketergantungan Suku Anak Dalam terhadap pangan dari luar itu sudah tergolong mengkhawatirkan.

"Sudah hampir 50-50. Untuk karbohidrat bahkan sudah tergolong tergantung pasar karena (mudahnya) diakses ke pasar. Limapuluh persen sumber pangan datang dari hutan, limapuluh persen lagi dari pasar seperti gula, beras, kopi, dan teh," papar Indit.

Mereka juga sudah cukup lama mengenal makanan kemasan seperti mie instant dan sarden ikan kalengan.
 
"Persoalan susulannya, makanan kemasan meninggalkan masalah lingkungan yakni  sampahnya," kata Indit.
 
Mulai kacaunya sistem pangan Suku Anak Dalam tampaknya terjadi sejak awal tahun 2000-an. Keterdesakan warga Suku Anak Dalam karena orang luar memang sudah dimulai sejak tahun 1970, saat itu pemerintah memperkenalkan sistem Hak Pengusahaan Hutan (HPH) kepada berbagai perusahaan yang memicu penggundulan hutan (deforestasi) besar-besaran. Kerusakan itu ditambah pula dengan program transmigrasi yang digenjot secara besar-besaran.
 
Bagi warga Suku Anak Dalam kedua hal itu belum bisa membuat kehidupan mereka kacau. Mereka masih bisa hidup dengan mengandalkan berburu dan meramu hasil hutan.

Masa-masa kelam itu mulai datang pada tahun 2000. Di tahun itu, setelah perjuangan untuk mendapatkan status resmi wilayah mereka, pemerintah pusat melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan yang saat itu dijabat oleh Nur Mahmudi Ismail dengan Nomor: 285/Kpts-II/2000 Tanggal 23 Agustus 2000 menetapkan area hutan seluas 60.500 hektare sebagai Kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD).
 
Harus diakui Warsi berperan besar dalam memberikan kepastian status area yang ditempati komunitas Suku Anak Dalam tersebut. Dengan segenap cara, upaya, bantuan, dukungan, dan lobi Warsi kepada pemerintah pusat dapat dikatakan berhasil sehingga status area yang menjadi habitat Suku Anak Dalam mendapatkan legalitas.
 
Persoalannya status Taman Nasional tersebut di kemudian hari diketahui merugikan kepentingan warga Suku Anak Dalam.

Dodi Rokhdian dalam tesisnya untuk meraih gelar master antropologi dari Universitas Indonesia menulis pada tahun 2005, "Alim Rajo Disembah, Piado Alim Rajo Disanggah: Ragam Bentuk Perlawanan Orang Rimba Makekal Hulu Terhadap Kebijakan Zonasi Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi".

Lima tahun kemudian, melalui pertemuan adat di Simpang Meranti selama dua hari dua malam di bulan Agustus 2005, kaum Suku Anak Dalam menegaskan keberatan mereka atas status Taman Nasional tersebut. Pasalnya dengan status tersebut dan kebijakan zonasi area TNBD yang mengikutinya akan merugikan kehidupan komunitas Suku Anak Dalam.
 
Saat itu mereka menyikapi buku tebal yang diterbitkan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi berjudul "Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas (RPTNBD)" yang dibacakan dan diterjemahkan kepada warga yang saat itu hadir oleh tokoh pemuda Makekal Hulu bernama Pengendum Tampung.

"Usai dibacakan suasana dipenuhi dengungan, lengkingan, jeritan, dan beragam umpatan kata kekecewaan, khususnya saat membahas peruntukan kawasan dan pengaturan zona-zona di kawasan Bukit Duabelas. Semua berpangkal saat didapat satu fakta bahwa Taman Nasional yang sebelumnya digembar-gemborkan untuk melindungi kehidupan dan adat Orang Rimba oleh LSM Warsi ternyata akan menyebabkan Orang Rimba keluar dari hutannya dan menempati satu kawasan tertentu bernama zona pemanfaatan tradisionil yang berlokasi di tepi luar kawasan hutan...." tulis tesis tersebut.

Yang membuat kaum Suku Anak Dalam kecewa, mereka merasa ditusuk dari belakang oleh pihak LSM yang selama ini mereka percayai tersebut.

Tesis itu menulis, "...Kegemparan lainnya menyangkut salah satu penasihat ahli yang tertera di sampul depan buku RPTNBD tersebut, di mana tertera nama LSM Warsi yang telah sejak lama menjadi pendamping dan dianggap sebagai teman bagi mereka."  
Lebih lanjut tesis itu menulis, "...Buku tebal RPTNBD tersebut kemudian memberi informasi tambahan yang membuat kaget dan menimbulkan kemarahan karena salah satu pihak yang tertera dalam penyusunannya adalah Warsi yang selama ini paling intensif mendampingi dan berkegiatan di Bukit Duabelas, dan sebelumnya dianggap pembela kepentingan-kepentingan Orang Rimba. Akibatnya sebagian besar Orang Rimba yang menghadiri pertemuan adat menyimpulkan bahwa Warsi mesti bertanggung jawab atas lahirnya aturan kebijakan yang merugikan tersebut."

Warsi sendiri, lewat media yang mereka kelola, 'Alam Sumatera dan Pembangunan' (kini bernama 'Alam Sumatera') volume 1, Januari 2001, menyatakan bahwa TNBD memang pilihan sulit, namun peraturan perundangan di Indonesia mengenai cagar biosfer belum lengkap. Satu-satunya yang memuat kata "cagar biosfer" hanya UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya. Tidak ada peraturan pelaksanaan mengenai cagar biosfer. Itu yang membuat proses menjadikan kawasan komunitas Suku Anak Dalam itu sulit ditetapkan sebagai Cagar Biosfer, yang lebih memungkinkan kehidupan Suku Anak Dalam terjamin.

Hal itu tampaknya bisa dimengerti oleh sebagian kalangan Orang Rimba, namun mereka menyayangkan keterlibatan Warsi dalam penyusunan buku "RPTNBD" karena dianggap tak berusaha melahirkan aturan yang lebih berpihak bagi kepentingan subsistensi Orang Rimba. Itu yang kemudian menjadi hal utama yang memantik kekecewaan warga Suku Anak Dalam. Tapi belakangan diketahui bahwa sejak awal pun sikap Warsi memang berada di arus besar konservasi. Hal itu terlihat dalam dua artikel di buletin 'Alam Sumatera dan Pembangunan', yang dikemukakan oleh koordinator program sebuah proyek konservasi yang diimplementasikan kepada Orang Rimba di TNBD. Kutipan verbatim dalam buletin tersebut antara lain:
"...Orang Rimba disiapkan menjadi penduduk tetap di luar hutan, terutama di sekitar kebun karet yang akan mereka upayakan sendiri atau dengan bantuan Warsi. Persiapan lain adalah sekolah yang dikembangkan di tempat-tempat mereka berada agar generasi mudanya tidak lagi buta huruf. Kemampuan baca-tulis-hitung merupakan syarat mutlak untuk dapat beradaptasi dengan kehidupan dunia luar. Selanjutnya dukungan fasilitator kesehatan Warsi dapat menambah kesiapan Orang Rimba ke dunia luar, secara perlahan terikat pada pemanfaatan fasilitas kesehatan umum di sekitar hutan. Kawasan pinggiran taman menjadi sangat strategis bagi penghidupan Orang Rimba di masa depan bila dikaitkan dengan proses perubahan sosial Orang Rimba dan ketersediaan akses dan ekonomi pasar. Sesuai dengan konsep pengelolan taman, maka kawasan sisi paling luar TNBD dapat dimasukkan menjadi zona pemanfaatan bagi Orang Rimba. Zona pemanfaatan ini harus dapat memberikan fasilitasi dan akses yang seluas-luasnya bagi Orang Rimba untuk dapat berpartisipasi ke sistem yang berlaku umum di dunia luar. Dengan demikian kawasan ini akan menjadi sentra ekonomi dan sentra perubahan sosial Orang Rimba di masa depan..." ('Alam Sumatera dan Pembangunan' No. 3 Desember 2002 dan No. 8 Januari  2005)

Hal itu kembali ditegaskan dalam sebuah artikel di 'Alam Sumatera dan Pembangunan',  No. 3 Desember 2002 yang menyatakan, "Dengan kata lain, taman akan berperan memfasilitasi secara perlahan-lahan adaptasinya dengan dunia luar yang terdukung oleh kebudayaan mereka sendiri."

Sejak itu berbagai LSM pendamping Suku Anak Dalam yang lain melihat Warsi sebagai pendukung utama konservasi alam. Sementara mereka melihat - sebagaimana juga ditegaskan Nick Salafsky dan Eva Wollenberg dari  University of Vermont dalam artikel "Linking Livelihoods and Conservation: A Conceptual Framework and Scale for Assessing the Integration of Human Needs and Biodiversity" - bahwa dengan tujuan utama untuk perlindungan sumber daya, spesies, dan degradasi habitat maka pendekatan konservasi akan memandang tujuan kesejahteraan masyarakat tidak sejalan dengan tujuan dan strateginya. Konservasi alam dengan mekanisme penjagaannya melarang aktivitas pemanfaatan sumber daya hutan demi tujuan konsumtif. Hal itu dikuatkan kajian Celia Lowe pada 2006 melalui "Wild Profusion: Biodiversity Conservation in an Indonesian Archipelago", yang dengan sinis menyatakan bahwa konservasi tidak berazaskan pada keadilan sosial."

Terpecahnya sikap LSM pendamping warga Suku Anak Dalam tersebut ditunjukkan dengan tegas oleh pernyataan Walhi Jambi, lewat pernyataan salah seorang aktivisnya saat itu.

Tesis Dodi mencatat, aktivis Walhi itu mengatakan, "Kepentingan manusia mesti didahulukan dibandingkan kepentingan konservasi." Ia juga membandingkan secara kontras bagaimana Warsi melihat konservasi dalam cara pandang yang menurutnya berlainan dengan Walhi Jambi.

"Mereka itu ekofasis, yang memandang konservasi bukan untuk manusia, tapi untuk menyelamatkan tumbuhan atau binatang. Wajar mereka sepakat dengan (Dinas) Kehutanan dalam soal TNBD," katanya.

Tentu saja kehidupan manusia bukanlah sesuatu yang bisa ditaruh dalam labu kaca yang sering kita pakai di laboratorium. Kehidupan, begitu pula sikap manusia, sering berubah sesuai tantangan dan perubahan kondisi meski perubahan itu terbilang kecil sekalipun.

Warsi pun bisa saja berubah. Paling tidak setelah melihat nasib warga Suku Anak Dalam yang keluar hutan dan berdiam di kawasan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI) yang terus dirundung nestapa.

"Mereka bertahan karena di tempat itu leluhur, kakek, dan orang tua tinggal," ujar Direktur Warsi Rudi Syaf kepada detikcom, enam tahun lalu.

"Kelompok ini yang paling kasihan. Hidup mereka terlunta-lunta. Di kelompok mereka banyak terjadi gizi buruk," papar Rudi.

Suatu saat, kepada situs berita lingkungan Mongabay, Rudi terlihat prihatin dengan nasib warga Suku Anak Dalam yang terlunta-lunta di luar area TNBD itu.

"Yang di luar, ini yang hari ini bermasalah, karena tidak punya ruang. Bahasa kasarnya tidak lagi punya tanah untuk ruang hidup," kata dia kepada Mongabay.

"Kalau yang di dalam kawasan mereka masih happy," sambungnya.

Namun tampak pula keyakinan dirinya bahwa kondisi pun telah membuat warga Suku Anak Dalam banyak berubah. Rudi yakin bila mereka didorong dalam sebuah program seperti transmigrasi masih ada harapan cerah untuk masa depan mereka.

"Kalau pemerintah hari ini mendorong mereka untuk memiliki lahan dan membangunkan rumah, kami sangat setuju," kata Rudi.

Dia mendukung niat pemerintah mendorong Orang Rimba menetap dalam kawasan terpadu, meski ia tahu betul bahwa program merumahkan orang Rimba bukanlah ideal.

"Idealnya dikasih hutan, tapi itu sudah tidak mungkin. Sebab biaya menyediakan lahan di hutan lebih mahal dibanding merumahkannya," jelas Rudi.

Program transmigrasi, katanya, sangat terpadu. Masyarakat dapat perumahan, jatah hidup, ada penyuluhan, pendampingan, bantuan bibit, dan yang terpenting lahan garapan.

"Buktinya (transmigrasi) Rimbo Bujang, sukses. Bergurulah kepada (program) transmigrasi," kata dia.

Dari sana kita tahu, mungkin Rudi ingin menebus apa yang terjadi pada tahun 2000 lalu. (*)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun