Mohon tunggu...
abidlahsalfada
abidlahsalfada Mohon Tunggu... Penulis

Pelayan Tuhan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mencari Tuhan Lewat 'Hasrat' yang Tak Pernah Puas - Telaah Konsep Desire Jacques Lacan dalam Perspektif Tasawuf

9 Juli 2025   10:52 Diperbarui: 9 Juli 2025   10:52 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sejak manusia pertama kali membuka matanya di dunia, ia segera disergap oleh kekurangan, suatu kehampaan eksistensial yang membuatnya terus mencari. Ia mencari cinta, mencari kekayaan, mencari makna, mencari pengakuan, dan tak henti-hentinya bergerak dari satu objek ke objek lainnya. Gerakan tanpa henti ini adalah pengejaran atas apa yang dalam filsafat disebut desire, yaitu hasrat mendalam yang mendorong manusia untuk melampaui dirinya sendiri. Namun, sebagaimana dikatakan oleh para sufi dan filsuf spiritual, pengejaran ini sering kali tak kunjung membuahkan kepuasan sejati, hingga manusia akhirnya menyadari bahwa yang ia cari bukanlah dunia, melainkan Tuhannya.

Dalam perspektif Islam, manusia diciptakan dengan struktur batin yang disebut fitrah, yaitu kecenderungan alamiah untuk mengenal dan menyembah Allah (QS. Ar-Rum: 30). Namun, fitrah ini sering kali tertutupi oleh kecintaan dunia dan hawa nafsu. Akibatnya, manusia merasa kosong, lalu berusaha mengisinya dengan berbagai bentuk pemenuhan, seperti makanan, status sosial, cinta asmara, kekuasaan, atau bahkan ketenaran. Tapi semua itu, seperti fatamorgana di padang pasir, hanya memuaskan sesaat.

Apa itu Desire?

Desire (Hasrat) dalam konteks ini bukanlah sekadar keinginan ragawi, tetapi suatu dorongan spiritual untuk menyatu kembali dengan asalnya. Namun, karena manusia hidup dalam dunia material, ia sering keliru menyangka bahwa kepenuhan batin dapat dicapai melalui hal-hal duniawi. Ini serupa dengan gambaran Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, yang mengatakan bahwa hati manusia bagaikan bejana, dan jika diisi dengan selain Allah, maka ia tetap akan terasa hampa.

Dalam pemikiran Jacques Lacan, desire tidak muncul karena manusia memiliki banyak keinginan, tapi justru karena manusia merasakan kekurangan yang mendalam dalam dirinya. Kekurangan ini muncul sejak manusia masuk ke dunia bahasa dan aturan, yaitu saat ia mulai memahami dunia lewat kata-kata, norma, dan simbol.

Sejak saat itu, manusia mulai merasa ada sesuatu yang hilang. Ia mencoba mengisi kekosongan itu dengan berbagai hal, misal cinta, harta, pengakuan, atau ambisi. Tapi tak satu pun bisa benar-benar memuaskan. Apa yang ia kejar selalu terasa kurang atau meleset. Ia terus menginginkan, tapi tak pernah benar-benar merasa cukup. Bagi Lacan, inilah struktur dasar dari hasrat manusia: dorongan yang terus bergerak karena ada sesuatu yang hilang dalam diri kita, dan yang hilang itu tidak bisa sepenuhnya kita raih.

Manusia akan mencoba berbagai jalan untuk memuaskan hasrat ini. Ia akan mengejar cinta manusia, lalu kecewa. Ia akan mengejar kekayaan, tapi merasa hampa. Ia akan mencoba filsafat, sains, bahkan spiritualitas tanpa arah. Ia akan berganti identitas, profesi, tujuan, dan ideologi. Semua ini adalah ekspresi dari satu kebutuhan batin yang sama, yaitu kebutuhan untuk menemukan makna, keutuhan, dan 'rasa pulang'. Dalam istilah para sufi, manusia seperti seorang kekasih yang terpisah dari Sang Kekasih, selalu merindukan, tapi tak tahu ke mana harus kembali.

Lalu pada satu titik, biasanya saat dunia tak lagi memberi jawaban, manusia mulai memandang ke atas. Ia mulai bertanya tentang Tuhan. Ia mulai merasakan bahwa yang ia cari bukan sekadar "sesuatu", melainkan "Sang Pemilik Segala Sesuatu". Dalam konteks Islam, inilah titik balik taubat, yaitu saat manusia berbalik dari dunia menuju Allah (QS. Az-Zumar: 53-54). Pencarian desire akhirnya menemukan arah dan tujuannya.

Desire dalam Perspektif Tasawuf

Dalam tradisi tasawuf, kita juga menemukan pengakuan akan kekurangan mendalam ini, namun dalam bahasa spiritual. Sufi menyebutnya sebagai fana', yaitu kesadaran akan kefanaan diri dan keterpisahan eksistensial dari Tuhan sebagai sumber sejati kehidupan. Dalam perjalanan rohani, seorang salik (pencari) menyadari bahwa segala sesuatu yang ia miliki (akal, kehendak, bahkan identitasnya) pada hakikatnya bukan miliknya, dan karena itu ia merasa hampa. Tapi di sinilah letak perbedaannya: lack dalam tasawuf bukan hanya kekosongan traumatik, melainkan juga undangan untuk kembali. Ia bukan luka tanpa arah, tetapi tanda akan asal-usul ilahi yang terlupakan.

Dengan demikian, lack dalam Lacanian bisa dibaca secara sufistik sebagai rasa kosong eksistensial, bukan semata-mata neurosis psikis, tetapi kerinduan terdalam manusia kepada Yang Mutlak. Sementara Lacan menegaskan bahwa lack adalah kekurangan yang tak bisa dipenuhi oleh objek apa pun (karena objet petit a selalu meleset dari tujuan), tasawuf mengajukan alternatif radikal, yaitu bahwa ada satu objek (atau lebih tepatnya, satu Wujud) yang bukan hanya mengisi kekosongan itu, tetapi menjadi asal-muasalnya, yaitu Tuhan sendiri. Maka, perjalanan spiritual seorang sufi dapat dilihat sebagai transposisi dari struktur desire ke dalam jalan pulang (suluk) menuju kehadiran Ilahi, di mana kekosongan tidak dilenyapkan, tetapi diisi oleh cinta yang abadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun