Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi ruang publik utama bagi banyak orang. Ia menjadi tempat berbagi, berpendapat, berkarya, bahkan membentuk identitas. Namun, di balik perannya yang besar dalam membentuk relasi sosial dan persepsi diri, media sosial menyimpan satu paradoks mendalam; ia berpotensi meratakan realitas, memampatkan kompleksitas kehidupan manusia menjadi potongan citra dan pernyataan singkat yang seragam. Inilah yang disebut sebagai ontological flattening, ketika berbagai dimensi kehidupan manusia yang mendalam dan berlapis-lapis diratakan menjadi satu permukaan datar yang mudah dikonsumsi.
Dalam bukunya Intensive Science and Virtual Philosophy, Manuel DeLanda menggunakan istilah ontological flattening sebagai kritik terhadap pandangan yang mereduksi kompleksitas realitas menjadi satu level atau satu jenis eksistensi saja. Ontological flattening bukan hanya sebuah istilah abstrak, tetapi mencerminkan gejala konkret dari cara hidup kita yang semakin bergeser dari kedalaman menuju penampilan. Di media sosial, pengalaman manusia yang sangat pribadi seperti kesedihan, cinta, kehilangan, atau harapan dapat diubah menjadi "konten" yang bisa dikomentari dan dinilai. Ungkapan emosional yang dahulu muncul dalam ruang-ruang intim kini dipublikasikan dalam format yang disederhanakan, distandarisasi, dan bisa dengan mudah dibandingkan satu sama lain. Alhasil, pengalaman eksistensial yang seharusnya bersifat reflektif dan kontemplatif menjadi sesuatu yang dangkal, tergantung pada algoritma dan validasi digital.
Fenomena ini juga berpengaruh pada cara kita melihat diri sendiri dan orang lain. Media sosial mendorong individu untuk membentuk identitas yang konsisten, estetis, dan 'menjual', bukan berdasarkan keaslian atau kompleksitas batin, tetapi berdasarkan apa yang dapat diterima dan disukai oleh publik. Ini menciptakan tekanan untuk terus menyederhanakan diri, menyesuaikan diri dengan pola yang sudah mapan, dan menghapus sisi-sisi ambigu, kontradiktif, atau tidak populer dari eksistensi kita. Akibatnya, terjadi degradasi atas vita contemplativa; ruang batin untuk berpikir, merenung, dan menjadi diri sendiri secara utuh.
Lebih jauh, media sosial mengubah relasi manusia dari dialog menjadi performa. Interaksi yang seharusnya bersifat timbal balik dan penuh empati, kini digantikan oleh gesture sosial yang cepat dan terukur seperti likes, reposts, emoji. Kehadiran seseorang di media sosial lebih sering dinilai berdasarkan visibility daripada meaningfulness. Dengan kata lain, makna menjadi korban dari visibilitas. Kita melihat segalanya, tapi memaknai sedikit. Kita hadir di mana-mana, tapi merasa kehilangan tempat yang benar-benar otentik.
Dalam dunia yang semakin tergesa dan dangkal ini, pertanyaan penting muncul: Apakah kita masih memiliki ruang untuk menjadi manusia secara utuh dengan kompleksitas, kedalaman, dan ketidaksempurnaan kita? Apakah media sosial masih dapat menjadi ruang reflektif, atau justru mempercepat penghilangan dimensi-dimensi penting dari kemanusiaan kita?
Sebagai penutup, ontological flattening melalui media sosial bukan sekadar masalah teknologi, tetapi persoalan eksistensial. Ini adalah ajakan untuk berhenti sejenak, melihat kembali bagaimana kita hidup, berinteraksi, dan memahami diri sendiri. Kita perlu menciptakan ruang-ruang kontemplatif yang mampu melawan arus datarnya realitas digital, ruang di mana kita bisa hadir bukan hanya untuk dilihat, tetapi untuk sungguh-sungguh menjadi.
Referensi:
Hannah Arendt -- The Human Condition (1958)
Manuel DeLanda -- Intensive Science and Virtual Philosophy (2002)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI