Mohon tunggu...
Abidin Ghozali
Abidin Ghozali Mohon Tunggu... Administrasi - Direktur Ilmu Filsafat Islam Jamblang

Pembelajar Seumur Hidup Merindukan Indramayu Maju, Mulia dan Beradab.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketum DPP Permana Ungkap Alasan Anak-anak Jadi Target Teroris

13 September 2022   06:49 Diperbarui: 13 September 2022   06:57 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
CAK ABID, KETUA  UMUM DPP Pergerakan Milenial Nusantara (PERMANA). Dokpri

Perekrutan anak-anak oleh teroris dan kelompok ektrem kekerasan terjadi di berbagai belahan dunia tidak terkecuali di Indonesia, dalam situasi konflik bersenjata dan konflik tanpa adanya senjata. Terlepas dari kondisi di mana hal itu terjadi, perekrutan biasanya mengarah pada eksploitasi dan victimization of children. 

Sejarah panjang menghantui perekrutan anak-anak oleh kelompok bersenjata. perekrutan anak-anak oleh teroris dan kelompok ekstrem kekerasan adalah fenomena yang lebih mutahir dalam dekade terakhir. Tulisan ini menyajikan analisis alasan perekrutan anak-anak.

  • Mengapa anak-anak direkrut ?

Pertama, alasan perekrutan anak-anak oleh teroris dan kelompok ektrem kekerasan sangat kompleks dan beragam, dan sangat dipengaruhi oleh situasi. Tampaknya target anak-anak direkrut secara khusus karena anak-anak memberikan berbagai keuntungan. 

Menurut Quilliam Foundation, The Children of the Islamic State, Kelompok teror dan ekstrem kekerasan secara mencolok mengeksplotasi anak-anak untuk meningkatkan visibilitas mereka, Analisis ini mengambil contoh propaganda Boko Haram dan Islamic State of Iraq and the Levant (ISIL). 

Akumulasi data propaganda ISIL mengungkapkan total 254 peristiwa yang mencakup penggunaan gambar anak-anak; 38% dari gambar adalah anak-anak yang terlibat dalam kekerasan, sengaja diekspos untuk mengejutkan publik dan, pada saat yang sama untuk menunjukkan kekuatan dan kekejaman kelompok tersebut.  

Kedua, secara demografis, pergeseran di negara-negara miskin, sebagian karena penyebaran HIV/AIDS, telah meningkatkan populasi anak-anak secara vis-a-vis populasi keseluruhan, membuat kelompok usia ini paling tersedia untuk perekrut dan penculikan. 

Berdasar catatan  United Nations Department of Economic and Social Affairs, Population Division, World Population, anak-anak di negara miskin terdapat 50%, dan dalam kasus-kasus tertentu 60%, dari keseluruhan populasi. Sementara di Indonesia menurut Unicef  sepertiga penduduk Indonesia adalah anak-anak. Jumlah ini setara dengan sekitar 85 juta anak-anak dan merupakan jumlah terbesar keempat di dunia.

Ketiga, ada anggapan di mana kelompok bersenjata, termasuk teroris atau kelompok ekstrem kekerasan, anak-anak sebagai pertahanan terhadap ancaman kelompok yang berbeda. Dalam keadaan seperti itu, harapan besar dan mendorong anak-anak bergabung dengan barisan teroris. Kendala sulit perekrutan terhadap orang dewasa, merekrut anak terbukti lebih mudah untuk terus memperluas basis kekuatan mereka meskipun dukungan menurun.

Keempat, pertimbangan ekonomi dan efektivitas saat merekrut anak-anak, teroris dan kelompok ekstrem kekerasan pada umumnya, mendapat keuntungan secara ekonomi yang menonjol. Apakah mereka digunakan dalam peran pendukung atau sebagai kombatan, anak-anak biasanya dibayar lebih rendah (jika ada) dan membutuhkan lebih sedikit makanan untuk bertahan hidup. 

Secara paralel anak-anak lebih murah dibandingkan kombatan dewasa, namun tidak serta merta kurang efektif digunakan untuk melakukan kekerasan.

Kelima, lebih mudah di kontrol, anak-anak mudah diintimidasi dan jauh lebih mudah dikendalikan, baik secara fisik maupun mental, dari pada orang dewasa. Anak-anak lebih cenderung untuk cepat menunjukan kesetiaan kepada figur otoritas dan sangat rentan untuk mengikuti keyakinan dan perilaku orang yang mereka cintai dan hormati, sebuah elemen yang sangat penting. 

Relevan ketika ada beberapa kasus yang terjadi di Indonesia saat keluarga terlibat dalam proses perekrutan. Kelompok-kelompok yang berusaha untuk memastikan kelangsungan hidup masa depan, dapat melihat penggunaan anak-anak sebagai "investasi untuk generasi mendatang".

Keenam, keuntungan teknis, anak-anak khususnya perempuan, semakin sering digunakan sebagai mata-mata, untuk menyampaikan pesan, membawa material bom dan melakukan bunuh diri. Seperti yang terjadi pada kasus di Surabaya atau secara fiksi di gambarkan dalam film sayap-sayap patah pelaku peledakan menggunakan anaknya sebagai "pengantin" untuk mengantar bom. 

Alasan pragmatis anak-anak memiliki lebih sedikit resiko yang mereka hadapi dan karena itu menunjukkan lebih sedikit kecemasan. Mereka juga lebih cenderung melakukan apa yang diperintahkan, meminimalisir kecurigaan, yang dapat menjadi aset penting, misalnya dalam mendekati target. 

Kenali ke-6 perekrutan dan penggunaan anak-anak oleh teroris dan kelompok ekstrem kekerasan ini merupakan bentuk serius dari kekerasan terhadap anak. Bukan saja mengganggu terhadap perkembangan anak secara pribadi, intelektual dan sosial. Masa depan anak menyandang predikat dalam kegiatan kriminal. 

Oleh karena itu, konsekuensi kekerasan tidak hanya mencakup kerugian yang cukup besar bagi anak secara individu, tetapi juga butuh biaya yang tinggi untuk bangsa secara keseluruhan dalam penanganannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun