Mohon tunggu...
abida faramesti
abida faramesti Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

Tidak ada

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Piwulang Urip

21 April 2024   15:58 Diperbarui: 21 April 2024   19:36 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Hahaha..."  Tiga sekawan tengah asik berbincang-bincang di sebuah pendopo dekat gerbang pesantren yang jaraknya agak jauh dari ndalem utama, menunggu waktu shubuh tiba dengan beberapa cangkir kopi hitam dan mendowan di tengah-tengah mereka, istilah pesantrennya adalah 'melekan'. Mereka hanya rehat dari permasalahan dunia pesantren yang terus menghantam jiwa mereka. Banyaknya tugas dan kewajiban membuat peluh tidak terlihat, namun mencari barokah adalah hal yang lebih utama, dan untuk persiapan kehidupan akhirat memang harus bersusah-susah dahulu baru kemudian bersenang-senang, sebab dunia adalah penjara bagi orang-orang mukmin.

Tiga sekawan itu bernama Najib, Ibad, dan Badrun. Mereka adalah para abdi ndalem yang telah mengabdi selama hampir 5 tahun di pondok tersebut, sehingga salah satu dari mereka diberi amanah untuk mengemban tugas menjadi seorang ketua.

"Jib, bagaimana rasanya menjadi ketua selama 1 tahun ini?" tanya Badrun penasaran kepada orang yang memakai baju koko berwarna hijau, Najib namanya.

"Ya begitu, Drun. Kadang ada senang dan susahnya. Senangnya karena bisa mengabdi kepada Yai, kalau susahnya ya mengatur para santri," ucap Najib miris membayangkan semua tingkah laku para santri yang sebagian sangat sulit diatur.

"Dulu, aku bahkan hampir mumet untuk menghadapi kelakuan santri zaman sekarang. Sulit dikoordinir, suka membangkang, dan melanggar peraturan-peraturan pondok. Yang menjadi masalah itu, santri-santri zaman sekarang kalau dinasehati bungentuwo," lanjut Najib.

 "Mungkin hatinya sudah menjadi keras. Memang zaman sudah modern tapi jiwa manusia seakan kembali pada masa jahiliyyah. Teknologi berkembang sangat pesat. Salah satu hasilnya manusia kehilangan dirinya, manusia menjadi luntur kemanusiaannya dan manusia menurun dalam hal spiritualnya."  Tak kalah, Badrunpun nimbrung dalam pembahasan ini.

"Sudah, Jib. Tidak apa-apa. Lakukan saja semua yang diperintahkan oleh Yai, meskipun kamu hampir putus asa, semaput, atau mumet sekalipun."

 "Lho, bagaimana tidak mumet Bad, mereka itu ndableknya sudah Masyaallah Allahuakbar." Melihat wajah Najib yang seakan-akan frustasi, Ibad langsung menepuk pundaknya pelan berharap bisa menenangkan jiwa Najib yang sedang kocar-kacir tidak karuan.

"Begini, Jib. Ilingo jenengmu..." Begitu Ibad berucap, seketika Najib menatap bingung temannya.

 "Jenengmu kui Najib Badronoyo, yang nama tersebut adalah nama lain dari Semar. Pasti dirimu ini sudah tau to,artinya?"

Najib memandang Ibad gelagapan. "Hehe, ndak tau, Bad. Memangnya arti dari namaku itu apa?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun