Mohon tunggu...
Abdy Jaya Marpaung
Abdy Jaya Marpaung Mohon Tunggu... Wiraswasta - Lihat, dengar, nulis

laki-laki yang senang berbagi cerita lewat tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pak Tua yang Selalu Tersenyum

1 Oktober 2010   14:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:48 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Perlahan-lahan, mesjid itu semakin ramai dipenuhi jamaah yang akan menunaikan shalat jumat. Dihalamannya, beberapa jamaah masih asyik teronggok di atas sepeda motornya, ada pula yang duduk di anak tangga mesjid. Namun satu persatu dari mereka akhirnya masuk setelah seorang nazir menghimbau jamaah untuk bersegera dan memenuhkan saf depan.

Usai shalat tahyatul mesjid, pandanganku tertuju pada seorang bapak tua yang duduk di saf kedua didepanku. Wajahnya selalu menebar senyum pada jamaah. Bajunya berlengan panjang, tersemat jam keemasan di lengan kanannya. Subhanallah, kaki bapak tua itu berbeda dengan kakiku. Ada keistimewaan yang kulihat di sana.

Saat itu seorang bapak menghampirinya, menunduk, menyapa dan menyalaminya. Bapak Tua menyambutnya dengan senyum yang menunjukkan barisan giginya. Lalu bapak yang datang menyapa tadi memasukkan beberapa lembar kekantong baju pak Tua. Pak Tua tidak menolak dan tidak pula mengucapkan terima kasih, namun dari senyumnya, aku melihat ungkapan terima kasihnya yang tak terhingga dan tulus.

Tidak berapa lama, datang lagi seseorang seusianya melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan bapak sebelumnya. Mengulurkan beberapa lembar ribuan kepada Pak Tua. Namun pak Tua hanya membalas dengan barisan giginya yang indah. Orang itu menyodorkan lagi, tapi Pak Tua tetap tidak menyambutnya. Akhirnya orang itu memasukkan sendiri uangnya ke saku baju Pak Tua sambil tersenyum.

Pak Tua tidak berkata dan tetap tersenyum.

Beberapa orang juga melakukan hal yang sama, bersedekah beberapa lembar uang untuk Pak Tua. Aku bersyukur pada Allah, masih banyak orang yang memperhatikan saudara-saudaranya yang kekurangan. Aku juga salut dengan Pak Tua, yang tidak memanfaatkan “keistimewaannya” untuk meminta-minta.

Aku saat itu berniat untuk ikut bersedekah padanya. Aku tidak membawa dompet memang, tapi ada beberapa lembar uang yang kusiapkan biasanya untuk mengisi kaleng infak mesjid.

Khatib sudah naik ke mimbar. Muazzin mulai melafalkan takbir dan kotak infak mulai dijalankan disetiap saf. Kotak infak mulai singgah di setiap jamaah dan kini berada dihadapanku. Aku mengisinya dan begitu uang mendarat mulus ke dalam kotak infak, aku langsung teringat pada Pak Tua. Astaghfirullah, aku lupa pada niatku untuk menyedekahkan uang itu padanya. Aku memandangnya dan merasa tak enak hati. Kulihat Pak Tua sedang menyeka air yang keluar dari mulutnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun