Mohon tunggu...
Abdurrazzaq Zanky
Abdurrazzaq Zanky Mohon Tunggu... petani.

Pikiran-pikiran radikal hanya mungkin dihasilkan oleh sunyi. Itulah kenapa pecinta literasi cenderung suka menyendiri.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Genosida Kesunyian (Bagian Kedua/Bab VIII)

18 Maret 2025   16:17 Diperbarui: 18 Maret 2025   16:17 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.pexels.com/id-id/foto/orang-orang-masyarakat-rakyat-manusia-4883038/

Genosida Kesunyian

AR. Zanky

Bab VIII

Suatu hari, pagi-pagi sekali mereka menyelinap keluar. Mereka melewati rumah berpagar itu. Bana menceritakan pemandangan yang ia saksikan sebelum ia jatuh pingsan.Tentang keanehan dan misteri orang-orang yang tinggal di sana.

"Dulunya itu rumah kepala kampung, rumah kakeknya maksudku. Aku tak begitu ingat. Kau belum ada. Ayah dan ibu masih bersama. Lalu timbul masalah. Antara ayah dan dia, antara ibu dan dia, antara mereka bertiga. Aku tak begitu paham pada awalnya. Sampai ayah tiba-tiba menghilang. Sampai setahun kemudian kau lahir. Sampai ibu sakit-sakitan. Sejak itu dia tak pernah lagi kelihatan. Ada yang bilang dia meninggal. Ada yang mengatakan dia sakit parah. Mereka tak pernah lagi terlihat berbaur dengan warga. Aku tidak tahu mengapa."

Pairah mengakhiri kisahnya. Ia takut mengungkapkan fakta yang sebenarnya. Lebih baik membiarkan Bana tetap dengan kenangan indahnya. Tentang ibu. Tentang masa lalu mereka. Kemudian ia membuka sedikit pengalamannya selama di kota. Tentang kekayaan yang dia bawa.

"Waktu itu adalah hari Jum'at tanggal 23 Mei. Seluruh karyawan lelaki pergi ke masjid menjelang tengah hari. Tinggal kami bertiga; Asih, Inong, dan aku. Pintu toko kami turunkan separuh karena biasanya memang tak ada pembeli bila sedang Jum'atan. Asih dan Inong ini adalah kawanku sejak di penjara. Sekeluar penjara kami tak punya rencana atau tujuan. Pelatih keterampilan kami, Bu Sumiri, menampung kami sementara di rumah kontrakannya. Sebulan kemudian kami bekerja di sebuah toko kain. Jadi kasir dan tukang potong. Bos kami punya tiga toko besar yang saling berdempetan. Enam kawan kami yang lain, yang semuanya laki-laki, menangani logistik, antar jemput barang, pengaduan pelanggan, penagihan kredit, pembukuan harian.

"Jam satu siang, Jum'atan belum usai dan jalanan masih diblokade dengan bangku-bangku panjang, para saksi melihat beberapa orang berpakaian kaos kuning partai mondar-mandir dengan motor dekat jama'ah yang masih berdoa. Memang sore itu adalah giliran partai kuning buat kampanye di lapangan Kamboja. Di pusat kota.

"Entah dari mana datangnya, puluhan motor lain tiba-tiba sudah berada di dekat bangku yang menyekat jalan, lengkap dengan bendera dan umbul-umbul kecil. Mereka bersikeras membuka blokade jalan. Beberapa anak muda berdiri menghadang. Mereka bertengkar hebat. Seorang pemotor tiba-tiba menabrakkan roda depannya ke salah satu bangku. Itulah awal provokasinya. Partai kuning adalah partai penguasa. Mereka punya banyak uang dan menguasai segalanya. Tapi sangat dibenci banyak kalangan. Aku tidak tahu kenapa. Maksudnya, aku tidak tahu apa itu partai. Kenapa mereka bisa saling membenci.

"Kemudian aku teringat pasar subuh di Kalahan sini. Banyak blantik ikan datang. Mereka membeli ikan secara partai, memborong semuanya. Namun dengan harga lebih murah tentu. Jadi kupikir partai kuning itu semacam tukang borong ikan, blantik, calo, pokoknya hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan seorang serakah, bajinganlah istilahnya yang tepat. Tapi Asih mengatakan bahwa partai itu berhubungan dengan gambar-gambar, baju kaos, amanat presiden, hal-hal yang sebenarnya tidak penting-penting amat.

"Asih memang pernah bersekolah sampai kelas lima. Nah, di sekolahnya tiap hari senin ada apel bendera. Seorang guru menyampaikan amanat, yaitu 'belajarlah baik-baik', sebuah amanat yang sangat membosankan. Partai adalah orang yang sangat membosankan. Jadi mungkin saja, orang yang benci partai kuning itu sudah bosan dengan semua amanat itu. Amanat presiden maksudnya. Amanat yang itu-itu juga. Karena seorang presiden itu tidak boleh tidak, pada dasarnya adalah juga seorang guru. Seorang guru gambar tepatnya. Orang konyol itulah yang bikin gambar-gambar besar di sepanjang jalan. Poster-poster raksasa yang biasa tergantung melambai-lambai di antara dua batang pohon di jalanan kota. Semacam orang-orangan sawah kalau di Kalahan sini.

"Inong tidak terima kalau presiden dikatakan sebagai tukang gambar. Ia bersikeras mengatakan bahwa presiden itu adalah seorang pekerja musiman. Di rumahnya ada kalender bergambar presiden sedang memanen padi. Banyak sekali. Nampaknya pada tempat dan waktu yang berlainan.

"Nah, presiden ini punya banyak teman. Mereka berkeliling mencari-cari daerah yang sedang panen. Orang-orang ini telah mengikat sumpah setia satu sama lain. Saling berbagi dan kabar-mengabari kalau ada peluang usaha. Intinya presiden adalah seseorang yang tidak punya kesibukan lain selain mencari-cari orang yang sedang panen. Karena tidak boleh tidak presiden itu pada dasarnya juga seorang penganggur, terutama di luar musim panen.

"Sedang asyik-asyiknya kami berdebat, datanglah bos Acong bersama enam orang teman kami. Si bos pucat pasi. 'Mereka mengamuk! Mereka mengamuk!' Dia berteriak-teriak. Kami melongok ke luar. Jalanan dipenuhi motor. Orang-orang berlarian tak tentu arah. Para pemilik toko sepanjang blok itu pada berdiri di bahu jalan. Termasuk Wong Samidin, pemilik toko emas yang persis berseberangan dengan toko kami, musuh besar Acong yang selalu meniru-niru gaya bos kami.

"Dia juga berdiri di luar, lengkap dengan sepuluh pegawainya, sama seperti kami. Menonton keramaian. Koh Acong menunjuk-nunjuk sebuah angkot kuning yang sedang diguncang-guncangkan. Kami menengok berbarengan. Wong Samidin menunjuk ke arah yang sama. Para pegawainya juga menoleh ke sana. Seluruh penumpang angkot itu, yang semuanya berbaju kuning, tumpah tumpang tindih ke jalan seperti sekaleng sarden. Pakaian mereka dilucuti semua hingga tinggal beha dan kolor. Mereka berlarian menyelamatkan diri, masuk ke gang-gang kecil sepanjang blok perniagaan. Koh Acong merenggut spanduk toko yang berwarna kuning. Kami berlari ke dalam, menyembunyikan barang apa saja yang ada warna kuningnya. Kau tahu kelebihan seorang cina? Mereka cepat tanggap terhadap situasi. Kami menutup toko dan diam-diam menyelinap keluar dari pintu belakang.

"Dari pagar pembatas sungai, kami dapat melihat ke atas jembatan besar yang menyambungkan dua pusat perbelanjaan. Seluruh jalanan kini dipenuhi orang-orang berseragam hijau. Mereka mengalir datang dari berbagai sudut kota. Dari jalan sempit di belakang pasar, dari terminal angkot, dari sungai, dari empat penjuru jalan di pusat kota. Mereka tampak sangat bersemangat dan kompak. Saling mendukung dan bersatu. Tampak jelas seperti kawanan yang tak terbendung. Sehingga polisi-polisi itu hanya dapat berdiri termangu-mangu di depan pos jaganya. Mengamati segalanya dengan pandang masygul. Sama bingungnya dengan kami.

"Seandainya ada lalat lewat, pastilah akan masuk ke mulut kami. Semua bengong, tak tahu apa yang terjadi. Lalu Misran berteriak; 'radio! Cepat buka radio!' Kami lari ke dalam. Bos Acong membuka Garda FM, stasiaun yang bermarkas di lantai atas sebuah hotel tak jauh dari toko kami. Mereka sedang mengamati dengan teropong seluruh sudut kota dan melaporkan keadaan secara langsung. Beberapa reporter telah menyebar di sejumlah titik dalam radius 800 meter, jarak yang bisa dijangkau orari. Orang-orang ini saling berebut melaporkan situasi. Menyiarkan wawancara dengan bermacam orang. Mendesak supaya aparat mengambil alih keadaan. Mereka ribut dengan sesama kawan sendiri.

"Mas Gilang, wartawan paling gemilang di Garda, terpaksa turun tangan melerai keadaan. Dia mengancam akan membakar studio kalau tak ada yang mau diam. Dia mengomel-ngomel sendirian. Menyeruduk sana-sini. Menyebut-nyebut kekejaman, penindasan, hak-hak yang tergadaikan, muak dan kemuakan, setan-setan penunggu pohon beringin, para wasit yang bermain curang, kepala daerah yang merangkap kepala keamanan, para penjilat pantat, cukong-cukong yang berak persis di atas kepala pejabat. Kata-katanya yang terakhir ini membuat kami tertawa. Mengingatkan kami pada cerita koh Acong yang sedang menunggu pacar di bawah pohon jambu mente, persis di tempat ayam-ayam biasa eek. Salam satu ayam berak persis di antara belahan rambutnya.

"Nampaknya kami terlalu asyik mendengarkan radio, berdebat, mengomentari analisa-analisa para ahli, tahu-tahu hari sudah gelap. Misran pergi ke luar. Kebakaran di mana-mana. Kami berdiri di pinggiran sungai. Bayangan lidah api menjilat-jilat sepenuh air sungai. Pusat perbelanjaan paling besar di seberang kami, Mitra Plaza, terbakar dengan hebat. Listrik dipadamkan. Kota gelap gulita. Tapi di jembatan, kami melihat ribuan orang berlarian ke segala arah, berteriak-teriak kalap. Beberapa helikopter mondar-mandir di langit malam kota. Menembakkan lampu sorot yang amat menyilaukan ke tengah-tengah kerumunan manusia. Tiba-tiba dua sosok gelap berlari dari gang kecil di samping toko kami. Mereka menabrak Asih dan Misran hingga jatuh terjengkang. Kami hampir saja menghajar orang-orang itu. Tapi koh Acong mengenali mereka. Para tukang becak yang biasa mangkal di depan toko kami. Mereka sedang melarikan barang jarahan; sepatu, celana jins, rokok, sarung. Koh Acong sangat marah: 'dasar penyu tolol! Kenapa kalian mencuri rongsokan-rongsokan begini? Dengar, kalian bisa sekaya Karun kalau berani bongkar toko-toko bangsat di seberang jalan itu!'

"Kata-kata itu ditujukan pada kami semua. Kami saling berpandangan. Di seberang toko kami adalah toko-toko emas. Para pemiliknya adalah orang-orang paling kaya di kota. Turun-temurun. Dan menjadi sumber pemicu iri dengki koh Acong. Kami bingung. Lalu, dengan suara yang tak mengandung keraguan lagi, koh Acong berbisik: 'aku tunggu lima belas menit di sini, di atas perahu motor. Ambil hak kalian. Barang-barang kuning itu. Aku akan bakar toko-toko ini pada menit keenam belas!'

"Semula kami mengira koh Acong sudah gila. Hal yang biasa terjadi pada seorang cina yang akan bangkrut. Tapi dia membentak kami: 'pergi kalian hei anak-anak kegelapan!'

"Kami bukanlah orang yang suka menunggu perintah untuk kedua kali. Kedua tukang becak itu ikut terinspirasi Acong. Dalam kemelut kegelapan malam itu, dengan cepat kami menyebar. Merangsek ke seberang jalan. Pekerjaan itu hanya seperti mengambil buah-buah mangga yang sudah jatuh. Kami sangat hapal dengan segala seluk beluk toko-toko itu. Sebab dua kali sehari kami bolak-balik ke toilet yang ada di belakangnya. Maka tak sampai lima belas menit kami telah berada di tengah-tengah sungai. Membawa kantong-kantong kain yang memberat seperti diisi dengan besi timbangan. Berkayuh diam-diam seperti perahu pencari ikan, di tengah bayangan api di kedua sisi sungai yang berkobar bagai cakar-cakar neraka.

"Kami menginap dua hari di rumah Acong. Dia minta dari kami masing-masing setengah kilo. Katanya buat modal baru. Hari-hari itu dia banyak tertawa. Lebih gembira dari hari-hari biasa. Istrinya yang gemuk bertotol-totol, karena kebanyakan makan bulus, memanjakan kami bagai anak-anaknya sendiri. Menyebut kami sebagai anjing sirkus yang lincah, putra daerah yang tersesat di jalan kebenaran, anak manja berang-berang yang penuh perasaan.

"Acong tinggal di sebauh kawasan perumahan mewah. Tetanggganya adalah para pejabat tinggi di daerah, pedagang dan pebisnis, mereka yang namanya sering disebut-sebut dalam berita koran dan iklan-iklan di radio. Mereka punya pusat olahraga, kolam renang, klinik, taman, lapangan bola, lapangan golf mini, sanggar seni, lapangan tembak. Daerah itu dulunya adalah kawasan kampung tua orang-orang Melayu. Letaknya persis di belakang gedung dan sentra perbelanjaan di kota. Dulu, ketika Pemda dan pemodal berniat mengembangkan kawasan itu, orang-orang Melayu itu adalah satu-satunya kelompok yang tak mau dipindahkan. Mereka nekat bertahan dan bersedia menanggung semua resiko. "

Ketika semua akses jalan keluar ditutup, orang-orang pulau itu membangun dermaga kecil di pinggir sungai. Mereka punya puluhan perahu cepat dan kapal-kapal layar mini. Mereka menjalin bisnis pintu belakang dengan bos-bos nakal di sentra perbelanjaan kota. Kapal-kapal layar itu punya kapasitas angkut setara empat kotak kontainer standar dengan biaya empat kali lebih murah dari jalur darat. Dermaga itu berubah menjadi jalan 'tikus' bagi para pedagang dan penyuplai barang antar pulau. Dimana para petugas lapangan dan aparat pajak saling berbagi hasil dengan adil.

"Mereka menempuh separoh perjalanan ekspedesi untuk menghindari formalitas pelabuhan Trisakti, lalu dipunggah dan disalin ke kapal-kapal tradisional yang lebih keci di tengah laut. Inilah yang mereka namakan transaksi terapung, plesetan dari pasar terapung yang terkenal itu.

"Tapi kegiatan ini hanya sempat berlangsung beberapa tahun saja. Seorang pengembang nasional kemudian berhasil membebaskan kawasan terisolir itu dengan membeli lahannya sepuluh kali lipat tawaran pemerintah dan menyediakan lahan relokasi gratis di pinggiran kota. 313 pemukim kampung tua itu mendadak kaya raya. Mereka mengembangkan kawasan pertokoan tersendiri yang kemudian terkenal dengan sebutan Pasar Baru. Mereka inilah pelopor jenis tempat usaha yang disebut ruko, rumah sekaligus toko di Banjaramasin.

"Mereka memasok barang-barang ke toko-toko kecil di berbagai kota kabupaten dan kotamadya. Keluarga Acong adalah salah satu OKB dari kampung tua. Tapi dia punya pemikiran berbeda dengan rekan-rekan sekampung. Dia termasuk orang pertama yang membeli unit perumahan super mahal di lokasi bekas kampung tua itu. Dia menghabiskan sepertiga dari uang pembebasan lahan untuk melunasi DP-nya saja. Si pengembang nekat itu, membeli sebuah gedung pertokoan berlantai empat untuk membuka akses jalan. Dia mengosongkan lantai dasar itu untuk parkiran sekaligus akses jalan ke perumahan. Tipe rumah yang dia kembangkan itu sendiri adalah jenis rumah mewah pertama di seluruh Kalimantan. Ide gila ini banyak menarik perhatian bos-bos dan para pejabat tinggi yang merindukan gengsi sekaligus ketenangan. Dalam kurun waktu tak sampai dua tahun, seluruh unit rumah langka itu habis terjual. Kampung tua itu kini berubah jadi semacam oase di tengah gebalau kota yang panas dan penuh persaingan. Acong tetap punya barang-barang murah dalam gudang di belakang rumahnya. Ia tetap melakukan jual beli terapung dengan langganan-langganan lamanya. Dan sebagai kedok, ia membeli tiga toko kecil di kawasan Sudimampir, tempat kami bekerja selama enam tahun ini. Semua rahasia itu dia ungkapkan, tidak lain adalah karena dia sudah menganggap kami sebagai keluarga sendiri. Karena kami telah banyak menolong dia. Karena sesama keluarga tak boleh jahat. Karena kami adalah anak berang-berang kesayangan istrinya.

"Malam ketiga kami pulang ke kontrakan Bu Sumiri. Kami shok dan bingung. Kota hancur lebur dan kami merasa seperti dikejar-kejar orang entah siapa. Kami tidak berani menongolkan kepala ke dunia luar, padahal jam malam sudah dicabut dan polisi menjamin keamanan warga.

"Sehari-hari kami hanya berbisik-bisik di kamar. Berkumpul di teras belakang rumah kontrakan. Kami tak tahu apa yang harus dilakukan dengan kantong-kantong berisi emas itu. Kami tak dapat membayangkan bagaimana kelanjutan hubungan kami dengan Acong di waktu mendatang. Kami justru curiga dengan babi licik itu, jangan-jangan dia melaporkan kami ke polisi suatu hari nanti. Toh dia tidak akan rugi barang seujung kuku.Dia punya lima kilo emas. Tiga kali lipat dari yang kami punya masing-masing. Tanpa merasa berdosa sama sekali. Maksudku, dia benar-benar bahagia. Tanpa tanggungan beban pikiran seperti yang kami rasakan. Dan satu fakta yang sangat mendukung kekhawatiran kami, istrinya terus-terusan memanggil kami anak berang-berang. Suatu pernyataan lugas yang menyiratkan bahwa di matanya kami setara belaka dengan hewan. Tidak punya otak.

"Namun yang amat menggelisahkan adalah hubungan kami dengan Bu Sumiri. Bagaimanapun dia adalah seorang aparat penegak hukum. Dia adalah bagian dari petugas penjara. Sejauh ini dia bisa cukup berbangga terhadap kemajuan akhlak yang kami capai. Kami mandiri dan rajin sembahyang . Hidup normal seperti kebanyakan orang. Dia sering mengajak kami ke penjara pada hari-hari libur kerja. Menjadikan kami sebagai contoh suri teladan bagi warga binaan yang sukses menempuh jalan kebenaran. Andai keadaan kami yang sekarang terungkap, apa kata beliau?

"Kami telah mencacati budi baik beliau. Seminggu lebih kami berdebat tentang keadaan terakhir kami dan sikap yang harus diambil terhadap Bu Sumiri. Beliau sendiri bersikap biasa setiap kali lewat di depan kontrakan dan melihat sepeda kami masih terparkir di tempat. Beliau pasti tahu bahwa tempat kerja kami ikut terbakar. Kami kehilangan pekerjaan. Kami tak bisa bayar kontrakan. Tapi bukan itu persoalan pokoknya. Sekarang kami terlalu kaya. Kekayaan yang justru sangat menggelisahkan. Bikin serba salah. Tidak enak hati. Kami merasa terlalu mencolok dibanding orang-orang kebanyakan. Emas-emas itu selalu menjadi ganjalan ketika kami ingin bersikap layaknya orang biasa. Ya, kami bukan orang yang dulu lagi. Derajat kami naik beberapa tingkat dari para buruh biasa. Sungguh tidak enak.

"Celakanya, fantasi buruk emas-emas sialan itu merambah juga sampai ke dalam tidur. Inong yang pertama mengalami. Pada suatu tengah malam ia menjerit-jerit dengan suara seperti orang terbekap, sesak nafas. Aku menendangnya sampai jatuh ke lantai. Kami semua terjaga dengan perasaan ganjil. Secara naluriah kami dapat menduga apa yang baru mendatangi Inong dalam mimpinya. Ada ancaman dari segala penjuru. Kami terus merasa diintai mata-mata. Mata-mata dunia kegelapan.

"Ada sesuatu yang tak pernah tidur mengawasi kami siang malam. Dia sangat dekat. Tapi kami tak tahu dimana. Kami hanya dapat merasakan kehadirannya, sinar dingin pancaran matanya yang menembus tengkuk kami yang terbuka. Dia bisa membekuk kami kapan saja. Selama beberapa hari ini dia telah melepaskan beberapa anak panah kecil, anak panah mainan untuk menakuti kami.

"Inong demam dan tak mau makan. Dia bersikeras ingin mengembalikan barang-barang curian itu. Tapi ke mana? Toko-toko itu telah rata dengan tanah. Ke Acong? Bisa saja. Tapi itu akan menimbulkan masalah bagi yang lain, aku dan Asih. Acong pasti akan menggarong kami sampai habis.Sampai sore Inong tetap tak mau makan. Kami mulai bertengkar. Inong menunuduh kami sebagai biang keladi semua kesialannya. Dia mengatakan, melihat kami sama seperti melihat cerminan nasib buruk dunia. Yakni sebuah gambaran suram tentang alam baka.Ia mengatakan kami telah menjerumuskannya ke jalan setan, memperkosa hak-haknya sebagai manusia berahati bersih.Yaitu perempuan baik-baik yang sedang mendamba cinta pemuda baik-baik pula, mempermalukan seluruh nenek moyangnya yang merupakan keturunan langsung dari Bekantan.

"Ya, apa boleh buat, kami terpaksa menghajarnya demi membuatnya cepat sadar. Aku menjambak rambutnya dan Asih memukuli pantatnya dengan gagang sapu. Kuguncang-guncang kepalanya sekuat tenaga. Tapi dia makin kesurupan. Menggeram-geram seperti kucing jantan berebut kawin. Pada waktu itulah pintu kontrakan tiba-tiba terbuka. Pak RT dan warga berkerumun di teras. Bu Sumiri keluar menyibak kerumunan. 'Apa di sini ada yang memerlukan aparat keamanan?' Dia mendekati kami. Membangunkan Inong yang tertelungkup kelelahan. Keributan itu telah memancing perhatian orang banyak. "Mengundang bahaya. Kamipun minta maaf. Kami tak sadar.

"Asih, sebagai orang yang paling berpendidikan, berhasil meyakinkan Pak RT bahwa kami sedang mencoba terapi ruqyah. Bahwa kami adalah korban PHK sewenang-wenang dari keadaan yang tak disangka-sangka. Sebuah rezim yang tak mengenal belas kasihan. Kami bangkrut dan kehilangan akal waras. Lalu seseorang mengamuk. Mencaci maki dan ingin mencekik. Kami terpaksa memberangus dan menggunakan kemampuan yang ada untuk mengobatinya. Orang-orang itupun akhirnya meninggalkan kami dengan perasaan was-was. Tahu Asih bohong.

"Keadaan kepalang basah itu akhirnya memojokkan kami ke sudut terakhir persembunyian. Terpaksalah kami mengaku pada Bu Sumiri. Menceritakan keadaan kami yang penuh beban batin. Dikejar-kejar rasa berdosa. Beliau tertawa terpingkal-pingkal. Mengguncang-guncang kepala kami bergantian. Inong kami bawa ke kamar mandi. Bu Sumiri menyiramnya dengan air hangat. Menuangkan shampo banyak-banyak ke kepalanya. Menggosoknya kuat-kuat seperti seorang pemeras sagu membanting parutan batang paya di atas tapisan. Inong bisa ditenangkan. Dia tertawa-tawa sambil menangis. Kami lega. Inong tidak gila. Kami lega, karena telah mengaku dosa. Terserahlan lagi orang menilainya.

'Apa kalian menjual emas itu?' Itulah kalimat pertama yang dilontarkan Bu Sumiri setelah keadaan tenang. Tentu saja kami belum sempat. Kata beliau emas-emas itu tidak bisa dijual dalam waktu dekat ini karena tak punya surat selembar pun. Lebih-lebih suasana sangat tidak mendukung. Polisi sedang gencar-gencarnya memasang telinga di setiap sudut kota. Pemerintah yang berkuasa sangat terpukul dengan kerusuhan spontan itu. Tak menyangka sampai sebesar itu kemarahan rakyat. Peristwa itu dianggap sepenuhnya politis. Yang diserang dan dirusak adalah sarana dan lembaga yang sangat erat hubungannya dengan pemerintahan. Atau yang dianggap sebagai simbol dari kekuasaan. Itu sangat memalukan. Bahkan kaum kriminal kota yang selama ini beroperasi di bawah tanah, jelas-jelas mengambil prakarsa paling depan untuk menghancurkan wibawa pemerintahan yang sah. Ajaibnya, mereka berhasil mengorganisir preman-preman pasar, preman terminal, anak jalanan, penunggu pos-pos ronda, para penganggur dan gelandangan, bersatu padu dengan tukang becak, tukang ojek, kuli gerobak, sopir angkot, mereka yang paling menguasai jalanan kota dan tahu persis lokasi-lokasi ekonomi paling strategis, bahu-membahu untuk menguras timbunan kekayaan kota. Mengosongkan lumbung lalu membakar wadahnya lengkap dengan segenap tikus yang terperangkap di dalamnya. Sungguh kejam.

"Kata Bu Sumiri, kenyataan inilah yang membuat pemerintah dan aparatnya sulit untuk menganbil tindakan tegas. Kerusuhan itu jelas menunjukkan satu hal: dendam publik terhadap kecurangan kekuasaan yang tak pernah jujur ketika menyelenggarakan Pemilu.

"Bu Sumiri mengatakan, bahwa hampir semua kalangan yang berada di luar pemerintahan, merasa terwakili oleh peristiwa Jum'at kelabu itu. Opini publik sedang berpihak pada para perusuh. Aparat keamanan, polisi dan ABRI, sedang dicurigai bertindak berlebihan ketika memberlakukan Jam Malam. Kesaksian yang menyudutkan bermunculan dalam berita-berita kriminal di koran, wawancara di radio, juga majalah-majalah kampus. Untuk saat ini, memang tidak simpatik bagi aparat untuk bertindak frontal. Maka mereka menunggu suasana reda sambil terus bergerilya mengumpulkan bukti-bukti, menyusun skenario investigasi, memantau gerak-gerik tokoh masyarakat dan LSM. Bila sampai waktunya nanti, keadaan bisa berbalik 180 derajat. Mereka yang hari ini dipahalawankan boleh jadi nanti jadi pesakitan atau kambing hitam. Maka kami dilarang bertindak tolol, menjual emas-emas itu umpamanya. Harta karun itu harus disimpan untuk waktu yang tak bisa ditentukan. Tempat paling aman untuk menyimpannya tentu saja adalah penjara, petugas penjara, beliau sendiri maksudnya.

"Kami tak bisa berpikir lagi. Kami menyetujui usul beliau begitu saja. Bahkan kami tak pernah menghitung jumlah emas-emas itu. Harta itu masih terbungkus asli dalam kantung-kantungnya yang pertama sejak kami meninggalkan rumah Acong. Jujur, kami agak takut untuk melihatnya.

"Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa kami kini resmi jadi pengangguran, tak punya uang dan tidak tahu bagaimana caranya untuk mendapatkan uang. Maka kami harus bekerja agar tidak kelaparan.

"Akan halnya Acong sendiri, dia akan bangkit dengan cepat, kata Bu Sumiri. Toko-tokonya yang terbakar itu hanyalah sejenis uang tunjangan baginya, bila dibandingkan dengan bisnis besarnya di luaran sana. Ia akan mendapatkan klaim asuransi dalam waktu dekat. Dan lima kilo emas yang dikutipnya dari kami adalah agunan yang lebih dari cukup untuk mendapatkan kredit baru dari bank. Kami disuruh tenang dan menunggu. Diam dan hanya diam. Sebab kami dinilai beliau sama sekali tak becus bersandiwara. Kami terlalu polos untuk ukuran para pemain kriminal kota.

"Dan benar juga, tak sampai sebulan sejak kerusuhan, Acong datang menjemput kami di rumah kontrakan. Ia telah mengambil alih gedung empat lantai yang menjadi pintu gerbang masuk ke perumahan tempat tinggalnya. Dua investor utama yang membiayai perusahaan itu undurdiri karena prospek keamanan yang tidak menentu. Mereka menganggap bahwa tabiat suku-suku lokal di kota sama belaka perangainya dengan monyet yang sedang kelaparan. Nekat dan tak bisa dibendung.

"Ajaib betul. Gedung itu tidak dijarah. Beberapa panah api memang ada ditujukan ke atas. Namun tak bisa membakar karena bagian depan gedung itu sepenuhnya terbuat dari beton dan kaca. Lagi pula isinya cuma maneken, patung-patung pajangan busana aneh dari Italia dan Prancis. Tidak akan cocok dan laku dijual di pasaran. Bahkan suku-suku asli pedalaman Kalimantan sendiri, sudah lama meninggalkan cara-cara berpakaian seperti itu. Membiarkan tetek bergelangantungan pada dua helai tali tipis atau memamerkan separuh bulu kemaluan layaknya seekor monyet jantan. Sungguh biadab orang-orang Prancis dan Itali itu. Acong telah mengumpulkan semua harta bendanya untuk berfokus melakukan satu lompatan dari seorang pedagang klontong menjadi pengusaha yang berkelas. Pelaku bisnis yang sebenarnya.Yakni orang yang tampaknya tak melakukan apa-apa.

"Di tempat Acong yang baru, kami tak lagi menjual bahan mentah, tapi aneka barang-barang jadi; pakaian, kosmetik, elektronik, buku, mainan anak-anak, bahkan motor. Acong menaruh motor-motor itu di balkon lantai dua sehingga sangat mencolok mata kalau dilihat dari jalan raya. Dia memasang spanduk diskon, undian, dan kartu belanja. Kami disuruh mengangkut segala rongsokan yang telah bertahun-tahun disimpan dalam gudang besar di belakang rumahnya. Barang-barang apkir itu dijual di bawah setengah harga pasaran. Dengan bantingan harga gila-gilaan ini, plaza Acong meraup popularitas dalam waktu singkat. Para pemodal berdatangan dan kredit baru mengalir lancar. Mukanya tambah berkilat-kilat dan licin.

"Tempat baru itu terus terang membuat kami kikuk. Ratusan pegawai baru yang datang ke situ adalah orang-orang sekolahan, dari SMP sampai sarjana. Tapi kami bersepuluh, teman lamanya di pasar kain Sudimampir, dia jadikan sebagai pajangan aneh di kebun binatang. Dia menyuruh kami mengenakan dasi dan kemeja. Memasangkan sepatu keras mengkilat. Dan menamai kami manajer. Yakni orang bodoh yang kerjanya membaca laporan-laporan, memberi tanda Acc, atau sekedar membubuhkan tanda tangan. Pekerjaan yang sama sekali tidak memerlukan tenaga dan kepintaran apapun.

"Aku sendiri tidak suka memabca laporan-laporan itu, asistenku yang kusuruh membacakan. Aku selalu bertanya padanya; apakah menurutmu itu bagus, masuk akal, sesuai kenyataan, apakah bahasanya tidak mengandung unsur puisi dan seterusnya. Kalau dia jawab bagus, aku akan Acc dan tanda tangan. Nah, semudah itulah pekerjaan kami yang baru. Beda jauh dengan pekerjaan lama kami di pasar kain dulu.

"Di situ kami harus mengukur dengan akurat, menulisi buku besar dengan tangan sendiri, mencocokkannya dengan semua kwitansi, lalu membuat ringkasan laporan dalam buku kecil. Kwitansi-kwitansi itupun harus disusun sesuai urutan tanggal. Dan setiap akhir bulan kami harus menghitung total pemasukan harian, selisih harga modal dan harga jual. Memeriksa kain-kain jenis apa saja yang sedang diminati, langganan mana yang suka menunggak dan mana yang bayar kontan. Kadang teman-teman kami yang laki-laki disuruh menagih tunggakan sampai dapat. Kalau tidak, gaji semua karyawan akan ditunda. Hal-hal seperti itu sering menimbulkan keributan dan pertengkaran. Acong sangat mahir membuat kondisi kami saling tergantung satu sama lain. Sehingga bila perlu, dia bisa menekan kami secara bersamaan dalam satu tepukan tangan. Nampaknya itu adalah keahlian nenek moyangnya yang diwariskan secara turun-temurun.

"Sementara dalam pekerjaan kami yang baru, kami justru dituntut untuk santai, tidak terburu-buru, bersikap serba tenang dalam segala keadaan, pokoknya bertingkah layaknya penganggur sejati. Kami juga boleh datang dan pergi seenaknya sendiri. Tak ada yang mengatur, mengawasi, atau membatasi. Acong sendiri hanya tertawa-tawa bila melihat kami nampak bosan dan jemu. Ia sering menyuruh kami keluyuran tak karuan di kota. Mencari angin.

"Ia sendiri banyak bepergian. Liburan dan pesiar ke luar negeri, katanya. Ia telah jadi pengusaha yang sebenarnya. Yaitu orang yang pulang balik dari berbagai tempat, meninjau negeri-negeri asing, menemui teman-temannya di hotel, menjamu tuan ini dan pejabat itu. Lalu mereka bagi-bagi uang tiap tiga bulan sekali. Pokoknya sibuk dan banyak urusan. Terutama mengurus para pejabat dan pemodal. Dua jenis manusia sinting yang ia istilahkan sebagai diigut layat dibuang sayang, serba salah maksudnya.

"Acong sendiri tambah gemuk. Sementara istrinya sudah menyerupai etalase berjalan. Perhiasannya rimbun mentereng. Seperti hiasan pohon natal di gereja dekat gedung kami. Sayangnya dia belum bisa menghilangkan kegemarannya akan bidawang, bulus, badannya tetap bau pesing. Maka sulit baginya untuk diterima dalam pergaulan nyonya-nyonya kaya dalam klub Jantung Sehat. Lagi pula ia sendiri selalu tersengal-sengal setiap selesai mengucapkan dua buah kalimat. Itu tak baik untuk sebuah perkumpulan yang mempromosikan kesehatan jantung.

"Kenyataan bahwa gaji kami dinaikkan tiga kali lipat dari gaji di pasar kain dulu tidaklah terlalu menggembirakan. Kami bahkan menganggapnya terlalu berlebihan. Tidak pantas bila diukur dengan jerih payah yang kami keluarkan. Tapi Acong punya pendapat lain. Ia beranggapan kehadiran kami yang lahirnya nampak bodoh dan kampungan, justru menggentarkan para pegawai. Mereka tak berani berbuat culas dan macam-macam. Jadi kami adalah ujung tombak kelancaran bisnis.

"Bu Sumiri punya pendapat sendiri. Katanya, bajingan tengik seperti Acong takkan mau berlama-lama memelihara berang-berang, yaitu kami, kalau manfaatnya tidak jelas kelihatan. Intinya Acong telah memanfaatkan kami dengan cara tertentu, entah apa, dan berhasil mengeruk keuntungan besar. Beliau sendiri kurang mengerti keuntungan apa yang telah kami datangkan.

"Tapi orang seperti Acong itu sangat percaya dengan hoki, keberuntungan yang dibawa binatang tertentu. Jadi mungkin saja dia telah menganggap kami benar-benar sebagai kawanan berang-berang. Binatang pembawa keberuntungan. Inilah keyakinan seorang penyembah berhala. Keyakinan yang tak bisa diganggu-gugat lagi.

"Penjelasan tersebut cukup melegakan. Bisa diterima akal sehat. Dengan begitu kami merasa telah memberikan jasa yang setimpal dengan gaji yang kami terima. Walau itu didapat dengan cara menurunkan sedikit martabat. Tak apa. Bagaimanapun kami bukan jenis para pemalas yang sehari-harian duduk di belakang meja, seperti para pejabat sahabat Acong, lalu di awal bulan terima gaji buta, tanpa keringat, tanpa memakai otak sedikitpun. Atau, apakah para pejabat itu juga ia anggap sebagai binatang yang bisa mendatangkan hoki? Rasanya terlalu jauh. Sebab bahkan seekor babi takkan mau mengerjalan hal-hal semacam itu. Menadahkan mulut, menunggu perasan keringat orang lain.

"Damai kembali ke bumi. Empat bulan itu bisa dibilang kami telah kembali ke kehidupan normal. Kami selalu punya uang lebih tiap bulan, tapi tidak terlalu lebih. Maksudku, seperti seseorang yang pergi ke pasar dengan sederet daftar belanja, ketika semua barang telah terbeli, kau masih punya beberapa lembar uang sisa. Kau ingin beli suatu barang yang sudah lama kau inginkan, tapi uangnya tanggung, maka kau harus menunda keinginan itu. Begitulah seterusnya. Kami hidup layak tapi tak sampai kaya. Hanya berkecukupan. tapi jauh lebih mending dari ssebelumnya.

"Bu Sumiri menyuruh kami mencicil rumah. Kami menolak. Kami menawarkan untuk menambah bangunan ke belakang pada rumah kontrakan. Beliau setuju. Kamipun patungan. Hasilnya, sebuah tarikan memanjang di bagian tengah kontrakan tiga pintu itu, membuat rumah itu terlihat ganjil sekaligus mengenaskan. Sebab dinding-dindingnya sebagian ditapal begitu saja dengan kardus. Separuh jendelanya ditutup dengan seprai bekas.

"Seperti kataku, kami punya suatu keinginan, tapi uangnya tanggung. Namun keadaan itu sudah cukup menyenangkan. Sekarang kami punya kamar masing-masing. Semacam sekat kecil tempat kami bisa meletakkan barang-barang pribadi. Dan kita bisa melakukan hal-hal tertentu yang kita inginkan, tanpa malu dan sungkan. Hal-hal yang biasa dilakukan oleh seorang wanita bernafsu yang sedang beranjak dewasa.

"Sayang keadaan itu tak berlangsung lama. Pada bulan keempat tahun ini bisnis Acong kacau balau. Penyebabnya kurang jelas. Semua tiba-tiba tersendat; pengadaan barang, penjualan, pembayaran cicilan ke bank yang gila-gilaan. Karena barang jualan kami bukan termasuk kebutuhan pokok, para pembeli dengan cepat menyusut. Harga-harga naik empat kali lipat. Kami tak bisa mengadakan stok baru. Bank menahan kredit baru. Para pemodal meninjau ulang perjanjian-perjanjian. Acong kelimpungan seperti truk kelebihan muatan. Di akhir bulan Mei, setelah kawan-kawannya di ibukota menceritakan tentang kerusuhan-kerusuhan, Acong injak rem mendadak. Ia memerintahkan semua pegawai untuk mengosongkan gudang. Seluruh stok barang yang ada diobral seperti awal dia membuka plaza. Dalam waktu tiga hari seluruh ruangan kosong melompong. Acong bahkan melelang meja dan lemari pajangan. Tapi tak ada yang membeli.

"Suatu hari dia mengumpulkan kami bersepuluh di rumahnya. Katanya mereka sekeluarga akan pergi berlibur sepuluh hari sambil melihat-lihat situasi. Kami disuruh membersihkan sisa-sisa barang di gudang belakang rumah. Dimasukkan dalam tas-tas besar. Disuruh bawa pulang dulu.Karena gudang itu akan digunakan untuk hal-hal yang lebih penting. Maka hari itu masing-masing kami membawa dua tas besar barang untuk disimpankan. Tindakan yang membuat kami sekaya seorang pedagang klontong di pojok pasar Sudimampir. Esoknya kami mengantarkan Acong sekeluarga ke dermaga kecil di belakang komplek perumahan. Mereka menggunakan sebuah perahu besar untuk memuat semua perlengkapan berlibur.

"Hal yang cukup aneh terjadi hari itu. Acong menangis. Juga istrinya. Kami berpelukan dengan kikuk, Disaksikan pengemudi dan keempat anak mereka yang terheran-heran. Istri Acong bahkan mencium kami satu persatu seperti seorang ibu yang mencium jenazah anaknya untuk terakhir kali. Ia membuka tas kecil yang selalu dibawa-bawanya. Memberi kami masing-masing sebuah amplop. Tak tahu kami apa maksudnya.

"Sulit untuk menggambarkan perasaan saat itu. Kami tahu Acong adalah ular berkepala seribu. Kebajikannya tak pernah tulus. Tapi dia orang paling baik di antara sekian banyak bajingan yang kami kenal. Bos-bos lain tempat kawan-kawan kami bekerja. Hari itu, jelas Acong sedang menunjukkan sisi kepribadiaannya yang paling manusiawi. Begitu tiba-tiba hingga kami tak sempat terharu.

"Ketika mesin dihidupkan, Acong dan istrinya memandangi kami dengan penuh makna. Seakan telah terjadi persekongkolan rahasia antara kami dan mereka. Itulah terakhir kali kami melihat Acong dan keluargnya. Seorang bajingan berbakat, anak kegelapan setengah insaf setengah kumat. Orang yang mempertaruhkan seluruh keberuntungan hidupnya dengan mengandalkan hoki sekawanan anak berang-beran

"Kata Bu Sumiri, Acong bangkrut hingga ke tulang-belulang. Ia kehabisan akal. Karena kebangkrutan itu bersifat alamiah dan merata. Tak ada unsur kecelakaan. Tak ada kerusuhan. Tak ada penjarahan dan bakar-bakaran. Oleh sebab itu tak ada asuransi. Acong lari dari pemodal dan pihak bank karena seluruh hartanya jauh berada di bawah standar keamanan minimum. Maka dia mengemplang begitu saja semua utang dan modal. Lari menyelamatkan batang lehernya sendiri. Dia tentu sudah punya tujuan yang jelas. Sebuah pulau terpencil di hulu Barito mungkin, di mana teman-teman bisnisnya dalam transaksi terapung akan suka hati menyediakan penampungan. Mereka perlu otak dan jaringan yang dimiliki Acong. Lobi dan pertemanannya dengan para pejabat. Mereka akan kembali ke bisnis walau perlu waktu lebih lama dari tahun setelah peristiwa Jum'at Kelabu. Acong itu takkan ada jera-jeranya.

"Dengan demikian jelaslah pula nasib kami; kembali jadi pengangguran. Kami harus kembali super hemat. Menghitung dengan rinci setiap pengeluaran. Amplop yang diberikan istri Acong isinya sejumlah gaji kami selama satu bulan. Maka persis pada hari ke 31, kami kembali harus patungan membeli bahan-bahan pokok. Kami masih berharap akan mendapatkan pekerjaan kembali. Setiap hari kami mendatangi kenalan, toko-toko sepanjang kawasan Sudimampir yang mulai berbenah sekuat tenaga. Tapi mereka justru sedang mengurangi jumlah karyawan. Setiap hari kami berpapasan dengan orang-orang yang bernasib sama. Luntang-lantung mencari pekerjaan tanpa hasil.

"Kemudian tiba-tiba saja sudut kota dipenuhi pengemis, gelandangan, anak-anak putus sekolah yang jadi peminta-minta, pengamen brutal, pedagang rokok dan air mineral yang setengah berdagang setengah minta belas kasihan. Di bahu jembatan tempat berlangsung kerusuhan tahun lalu, kini dijejali peminta-minta dengan berbagai ragam gaya. Seorang peminta yang membuat kami lari ketakutan setengah mati adalah lelaki bergigi hitam yang kedua kakinya membusuk dikerumuni lalat. Dia akan mengejar barang siapa yang bertatapan mata dengannya, dengan merangkak cepat-cepat. Mengeluarkan pistol air dari balik baju. Menembaki pejalan kaki yang tak mau bermurah hati. Aku belum pernah melihat borok separah itu. Kaki kanan peminta itu berlobang hingga kelihatan warna putih tulang keringnya. Lalat-lalat gemuk menghisap cairan barah dan nanah, sementara lelaki bergigi setan itu mengerjat-ngerjatkan urat-uratnya yang hampir putus sambil meraung kesakitan. Raungan putus asa yang terus menghantuiku selama beberapa hari berikutnya. Aku berharap dalam hati, semoga makhluk malang itu melompat ke sungai, agar tak lagi merasakan penderitaan.

"Kedua tetangga kami di kontrakan juga kena PHK. Perusahaan kayu tempat mereka bekerja mengurangi separoh karyawan. Mereka mengepak seluruh barang yang bisa dibawa. Melego perabot-perabot besar untuk biaya angkutan ke kampung. Katanya akan membuka kebun di daerah Pelaihari. Sedang yang satunya pulang ke Hulu Sungai. Menyadap karet. Mereka dapat pesangon, sedang kami tidak. Itulah bedanya. Maka kontrakan itu jadi senyap. Tak ada lagi terdengar keributan khas anak-anak. Hal yang sama terjadi dengan kontrakan-kontrakan lain. Rata-rata mereka punya keluarga atau tempat tujuan yang jelas. Mereka tahu apa yang harus dilakukan.

"Kini sepertiga penghuni gang menghilang. Yang tersisa hanya penduduk asli atau pendatang yang masih berharap bisa mendapatkan pekerjaan lagi.

"Pada suatu malam, pintu kami diketuk orang. Semula tidak kami pedulikan. Tapi ketukan itu terus berulang, pelan, seperti sebuah panggilan bersahabat. Asih yang membuka pintu, sementara aku dan Inong siap siaga dengan kayu penggada. Dia seorang wanita tiga puluhan dengan dandanan menor. Menawarkan diri untuk dimanfaatkan tubuhnya. Dia tak pernah masuk ke lingkungan kami. Tak tahu bahwa daerah kami hanya menerima penyewa wanita lajang atau lelaki yang sudah berkeluarga. Asih memberinya dua bungkus mi instan dan menyuruhnya pulang kampung seperti kebanyakan orang. Kami lupa, bahwa barusan dia mengatakan tinggal di kolong jembatan. Rupanya para pelacur itu tak bisa lagi tinggal diam menunggu pelanggan. Tapi harus nekat mencarinya ke tengah-tengah pemukiman. Dengan resiko disergap atau dipukuli orang.

"Kejadian itulah yang pada akhirnya menyadarkan kami pada kenyataan yang sebenarnya. Bahwa tak ada lagi harapan. Segalanya telah berakhir dan buntu. Kami harus segera membuat keputusan. Kota sudah semaput. Tak suatu apa lagi bisa diharapkan. Kata Bu Sumiri, keadaan memang sudah tak bisa ditolong. Semua orang tanpa kecuali sedang menuju sakaratul maut. Situasinya beda dengan kerusuhan tahun lalu yang hanya bersifat lokal dan sementara. Kini bahkan pemerintah sendiri jatuh miskin karena menanggung beban utang yang berlipat ganda. Masalahnya terletak pada nilai uang, kata beliau. Nilai uang kita merosot empat kali dibanding mata uang asing.

"Nah, dulu kita meminjam uang dari seorang lintah darat. Dia kasih mata uangnya sendiri dan minta dibayar dengan mata uang yang sama. Kita mengambil uang itu. Menukarnya dengan rupiah agar bisa digunakan. Begitulah. Usaha pemerintah berjalan lancar. Mereka bisa mencicil utang itu lengkap dengan bunga dan dendanya. Sisanya buat pesta-pesta dan menjamu teman-teman. Tapi sekarang rupiah hancur berkeping-keping. Pemerintah harus membeli mata uang asing itu dengan harga empat kali lipat nilai harga terdahulu untuk membayar cicilan utang. Sementara usaha-usaha mereka mangkrak karena tak punya cukup uang untuk meneruskan proyek. Begitu saja, ternyata akal pemerintah itu sama belaka dengan akal Acong. Mereka sepenuhnya berhutang untuk menjalankan bisnis. Kemudian berlagak kaya dan sukses. Seperti seseorang yang berlari dengan membawa kelereng di atas sendok. Tentu saja kelereng itu akan jatuh sebelum sampai tempat tujuan. Tapi orang itu sangat puas dengan tepuk tangan para penonton. Merasa sebagai petanding tangguh. Padahal semua orang tahu, bahwa permainan itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang idiot.

"Nah, tak ada yang bisa diharapkan dari seorang idiot, bukan? Kami telah sampai pada titik kritis terakhir yang bisa ditanggungkan. Jadi kami menemui Bu Sumiri untuk berpamitan. Beliau mengembalikan kantung-kantung emas kami. Beliau berpesan supaya kami jangan coba-coba lagi kembali ke penjara. Janganlah umur dihabiskan untuk pekerjaan tak bermakna, seperti jadi pegawai toko klontong umpamanya. Jangan pula kami boros dan rakus. Karena dua sifat ini dalam sekejap bisa menghanguskan segalanya. Layaknya api menghanguskan kayu kering. Kini sebuah fakta mengejutkan terbuka: Bu Sumiri mandul. Maka kami, para warga binaan tanpa kecuali, adalah pengganti dari anak-anak yang beliau impi-impikan itu. Kini otomatis kegagalan kami adalah kegagalan beliau. Keterjatuhan kami adalah keterjatuahn beliau. Kemiskinan kami adalah kemiskinan beliau. Maka dengan sendirinya, dengan hati insaf kami menyadari, bahwa harta kami adalah harta beliau juga. Jadi kami menyisihkan beberapa perhiasan untuk beliau simpan. Sebagai tanda bakti dan kenang-kenangan dari kami. Sekawanan anak berang-berang yang tak lagi membawa peruntungan."

Cerita Pairah itu membuat Bana lega, terutama bagian akhirnya. Satu kesimpulan yang menyatakan bahwa akal pemerintah tak jauh beda dengan akal Acong. Artinya pemerintah tidak lebih pintar dari seorang pedagang klontong yang mempercayai tahayul. Mereka sama-sama penyembah berhala. Maka sekarang boleh dikata, keadaan mereka kini jauh lebih baik dari pemerintah. Walau mereka juga percaya tahayul sedikit, tapi tak punya utang barang sepeserpun.

Memang selama ini, yang paling menakutkan Bana adalah pemerintah dan para aparatnya. Mereka sangat kaya. Kaya dengan tipu muslihat. Terutama polisi yang biasa menangkapi para penjudi di Kalahan. Sekarang terbukti bahwa mereka tak secerdas seperti apa yang selama ini dibayangkan kebanyakan warga Kalahan. Mereka juga bisa bangkrut dan ditipu oleh para lintah darat Yahudi itu. Mereka juga punya kelemahan yang sama dengan manusia lain; mudah tergoda dan terlalu panjang angan-angan.

Bana membawa Pairah ke danau di tengah hutan. Mereka memendam emas-emas itu di tiga tempat terpisah. Keduanya menghabiskan waktu dengan berenang ke sana kemari. Mencuci dan mandi sampai kulit mengkerut. Pairah sangat bersemangat. Tak habis-habis ia mengagumi kejernihan air danau, alam yang damai permai, suara-suara binatang yang mengambang bersahutan. Ia tak pernah menghitung berapa lama dalam penjara dan tinggal di kota. Ia hanya ingat, waktu terciduk aparat, Bana berumur sekitar delapan atau sembilan tahun. Bana telah membantunya bekerja selama tiga tahun terakhir. Kini ia telah jadi seorang pemuda kurus yang tangguh. Raut mukanya keras dan dingin. Tak menyiratkan pikiran atau perasaan apapun. Ia bisa bertahan melewati masa-masa sulit sendirian. Mampu menyembunyikan kemarahan. Tak mudah dipancing untuk bikin keonaranan yang tak perlu. Ya, akal Bana telah tumbuh dengan ukuran yang sesuai untuk kebutuhan hidupnya. Ia bisa mengurus dan merencanakan hidupnya sendiri. Mereka hampir seimbang. Bana hanya kurang pengalaman. Tapi itu akan berkembang dengan sendirinya. Yang jelas, anak itu punya modal yang cukup untuk menghadapi hidup selanjutnya. Bahkan yang lebih keras sealipun.

Menjelang sore mereka keluar hutan. Berjalan santai sambil menunggu waktu malam. Mereka telah membeli seperangkat alat untuk memompa air. Menimbunnya di dasar sungai di perbatasan kampung. Seseorang dari toko akan datang dengan pipa-pipa besi dua hari mendatang. Melakukan pengeboran dan memasang pompa. Mengalirkan air secara cuma-cuma dari dalam tanah.

Pairah merencanakan untuk membeli sebuah sepeda bekas, supaya mereka bisa lebih sering pergi ke pasar kecamatan, kalau mungkin sampai kota. Ia ingin mengenalkan Bana pada kehidupan yang agak berbeda. Kehidupan lain yang tak begitu mengungkung. Sebuah keadaan yang tak memaksa orang untuk hanya bersetia dengan kenyataan yang ada.

Hampir tengah malam ketika mereka sampai di halaman. Sekarang Kalahan hampir gelap gulita. Satu-satunya rumah yang masih diterangi listrik adalah rumah H. Jali. Ia kini jadi penadah tunggal barang-barang gadaian dari Kalahan dan kampung-kampung sekitar. Di halamannya kini berdiri sebuah pos penjagaan yang mengatur nomor urut antrian dan penumpukan barang. Pairah mengamati orang itu dengan seksama sejak kepulangannya. Ia berkesimpulan bahwa tak masuk di akal kalau H. Jali bekerja sendirian. Uangnya takkan cukup untuk membeli semua rongsokan itu. Beberapa kali ia memperhatikan, bahwa barang-barang mahal seperti televisi dan sepeda, selalu menghilang dengan cepat. Artinya barang itu laku. Dia pasti bekerjasama dengan seseorang. Dan orang itu memantau keadaan tiap hari. Ia tak mau didahului orang lain. H.Jali punya langganan. Pairah tahu, Bana juga memikirkan hal yang sama. H. Jali itu sama dengan dirinya, pernah tinggal di kota, punya pengetahuan lebih tentang betapa busuknya dunia.

Sampai di depan pintu, mereka dikejutkan oleh sekujur bayangan hitam yang melintang. Bana berbalik untuk memungut potongan kayu. Ia menusuk-nusuk ujung bayangan itu. Bayangan itu tiba-tiba membelah. Bana mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi, siap menghantama. Terdengar suara seperti seseorang yang bedehem-dehem membersihkan tenggorokan.

"Siapa kau?" Pairah bertanya tak ramah.

Sekali lagi suara berdehem serak, lalu; "kami tersesat. Kelaparan.."

Seperti suara seorang nenek-nenek.

"Semua orang kelaparan. Kau jangan coba-coba menipu, nenek setan!"

Nenek itu batuk dengan ribut. Bayangan satunya mengurut-urut punggung sang nenek. Ia bergerak-gerak liar. Tangannya sibuk mencekau-cekau udara. Mulutnya mengeluarkan bunyi-bunyian yang patah-patah. Dia bisu. Bana seperti tersengat kalajengking. Ia langsung mengenali siapa perempuan bisu itu. Hati dan perasaannya langsung dapat memastikan.

Mereka memapah kedua makhluk malang itu ke dalam. Pairah menyalakan pelita. Perempuan bisu itu terpekik amat senang. Ia masih mengingat pertemuan mereka beberapa bulan lalu di persawahan. Pairah memberi mereka minum. Keduanya minum dengan rakus. Menghabiskan nasi hampir dalam satu suapan. Pairah melirik Bana. Bertanya dengan matanya. Bana meletakkan telunjuk di bibir. Pairah tahu mereka masih lapar, tapi ia diam saja. Menunggu kejelasan. Adalah berbahaya menunjukkan bahwa kita punya beras dalam situasi seperti sekarang.

Nenek itu akhirnya bisa berbicara. Si bisu tak henti-henti mengurut kaki dan tangan si nenek sementara orang tua itu bercerita. Katanya kampung mereka hampir tumpas terserang muntaber. Memang mereka tak semelarat warga Kalahan karena di sana cukup banyak umbi-umbian. Tapi orang sana hidup dengan sembrono. Mereka buang hajat seperti kambing, minum air mentah, membiarkan anak-anak mencari cacing di comberan. Dan semua orang lepas berkeliaran seperti binatang tanpa alas kaki, tanpa baju.

Nenek dan cucu itu memutuskan untuk mengungsi ketika separuh kampung benar-benar diamuk muntaber. Setiap rumah punya orang sakit, satu atau dua orang. Dalam seminggu terakhir 11 warga meninggal kekurangan cairan. Kejang dan badan panas seperti bara. Si nenek tak mau sakit, tak ingin merepotkan cucunya yang bisu dan sebatangkara. Lalu si bisu menceritakan pertemuannya dengan seorang teman di tengah sawah. Seorang pemancing yang ramah. Namun karena kacaunya gambaran yang diberikan si cucu, mereka malah tersesat ke mana-mana. Bahkan sampai ke pasar kecamatan. Mereka sempat jadi peminta-minta di sana.

Tapi keadaan mereka yang segar bugar tak bisa menarik belas kasihan. Apalagi tingkah laku si bisu yang ceria dan penuh semangat, kadang lucu, membuat orang-orang hanya tertawa tanpa memberikan apa-apa. Setelah dua hari menginap di pasar, mereka memutuskan untuk pulang. Tak jadi mengungsi. Bagaimanapun, hanya di kampung sendiri kita bisa mengharapkan kepedulian.

Namun lagi-lagi mereka tersesat. Berdebat dengan sengit di tengah jalan. Seorang penduduk setempat menunjukkan jalan ke arah Kalahan. Katanya di Kalahan semua orang hidup senang. Tak punya beban pikiran. Karena semua warganya tak punya otak. Candaan ini ditanggapi si nenek dengan serius. Mereka menempuh arah yang ditunjukkan. Kali ini mereka hanya fokus ke tujuan sehingga tak sempat lagi bertengkar.

Kedamaian itu meringkaskan waktu menuju Kalahan. Menjelang matahari terbenam, dua orang pengungsi itu sampai di batas kampung. Mereka bertanya pada seorang tua yang sedang merenung di halaman. Pemilik rumah berpagar itu menunjukkan rumah H. Jali. Namun H. Jali mengusir mereka sambil menunjukkan arah menuju rumah Pairah dan Bana. Katanya di sana banyak makanan seraya menambahkan bahwa penghuninya sedikit sinting dan suka makan kadal. Tapi tak apa. Mereka orang baik kok. Tuyul saja ditampung. Apalagi manusia kapiran.

Pairah terpaksa mengizinkan kedua pelarian itu tinggal bersama mereka. Ia dapat merasakan gairah Bana yang meluap-luap tanpa bisa ditutup-tutupi. Anak bisu bermata besar itu mengamati segala sesuatu dengan penuh rasa ingin tahu. Berbeda dengan cerita neneknya tentang kebiasaan di kampung mereka yang jorok dan sembrono, kedua orang tamu aneh itu tertib dan rajin. Keadaan rumah yang semula seperti kapal terdampar, dalam tempo sehari ditata ulang, sehingga terlihat lapang dan nyaman. Mereka bekerja tanpa segan-segan, melipat gombal-gombal, menyusun kayu bakar, mengikis debu, menyiangi halaman, seakan mau tinggal selamanya di sana.

Pairah cemberut saja melihat tingkah laku tamu itu, terlebih si bisu. Dia sangat polos dan spontan. Dalam berbagai kesempatan dia selalu tertawa dan ceria. Selalu terpesona dengan benda-benda asing yang belum pernah dilihatnya; kaleng sarden, sendok, bahkan cawat dan beha. Suatu kali hampir dia membuka baju di depan semua orang ketika Pairah menjelaskan kegunaan beha. Bana sampai merah padam dibuatnya. Lalu semua orang tertawa. Si bisu sampai berlinang air mata. Dia menunjuk-nunjuk bagian bawah Bana sambil membuat isyarat-isyarat memalukan. Dasar kadal betina! Pairah ingin sekali menampar anak hutan itu. Tapi ia sendiri tak bisa menahan rasa gelinya. Begitulah, gubuk yang hampir roboh itu, dijalari kegembiraan dengan cara yang aneh dan tak biasa. Mereka jadi cepat tanggap dan saling mengerti.

Pompa air akhirnya terpasang. Kini mereka tak lagi pergi ke danau di hutan. Si bisu menyiram lantai, mencuci seluruh perabot dan pakaian. Ia juga menyirami tanaman; pisang, kelapa, pohon asam. Ia mengisi gentong dan semua wadah yang bisa menampung air.

Suatu hari seorang bocah perempuan kumal lewat di depan rumah. Ia tertegun meliaht si bisu yang sedang memompa air. Tanpa sadar mendekat sedikit demi sedikit. Jelas anak itu tidak mandi dalam waktu yang lama. Rambutnya menyatu seperti anyaman sabut kelapa. Bagian tubuhnya yang tak tertutup pakaian dipenuhi bentol-bentol merah. Leher dan tangannya menghitam oleh karat daki tebal. Si bisu menarik bocah itu, mendudukkannya persis di bawah pancuran. Lalu mulai menarik gagang pompa turun naik. Mula-mula bocah itu terheran-heran. Ia tak bereaksi. Kedua tangannya diam saja di pangkuan.

Si bisu mengambil sekepal sabut kelapa. Menggosok kedua tangan bocah itu perlahan. Aliran daki menyebar ke lantai papan. Si bisu meringis-riringis kegelian. Anak itu mulai tertawa. Si bisu melepas bajunya. Menggosok-gosok bagian ketiaknya dengan gemas. Bocah itu menjerit-jerit kegelian. Ia mencoba melepaskan diri dari cekalan. Tapi si bisu mengunci tubuhnya dengan kedua kaki. Selesai memandikan anak itu, si bisu mencuci pakaiannya, lalu menyuruh dia mengenakannya kembali. Anak itu seperti baru terlahir kembali. Bersih segar.

"Siapa namamu?" Pairah mendekat diam-diam.

"Imas."

"Nah, Imas, kalau mau mandi atau ambil air datanglah ke sini. Tak perlu bayar."

Bocah itu sudah akan berlalu pergi. Tapi Pairah menarik tangannya. Menuntunya ke dalam dan menyuruhnya makan. Seperti dugaannya, mata bocah malang itu terbelalak lebar melihat gumpalan nasi di atas piring plastik. Naluri alamnya muncul. Ia mendengus. Tanpa menunggu aba-aba langsung meraup santapan itu dengan suapan-suapan besar.

Pairah dan nenek memperhatikan tingkah bocah liar itu dengan diam. Ketika nasi di piring tandas, barulah bocah itu bisa mengangkat kepala. Sadar atas keadaan. Si nenek tersenyum. Menambahkan beberapa sendok nasi lagi ke atas piring. Bocah itu celingukan ragu-ragu.

"Makanlah sekenyangnya," Pairah memberanikan,"kau tamu di sini."

Dengan malu-malu anak itu menyuap nasinya perlahan-lahan dan tertib. Ia memungut setiap remah yang terjatuh ke lantai. Mengumpulkan nasinya pada satu sisi piring dengan bersih rapi.

Pairah tercenung. Ia berusaha keras menahan air mata. Ia baru saja menyaksikan, betapa rasa lapar mampu menggerogoti martabat seorang manusia, bahkan anak kecil sekalipun. Ia pun pernah mengalami hal serupa berulang kali, bersama adiknya. Mereka berupaya sekuat tenaga untuk menjaga martabat di mata banyak orang, tak ingin memperlihatkan penderitaan. Tak semuanya berhasil memang. Mereka pernah mencuri, mengutil sana-sini, kadang menipu kecil-kecilan, juga jualan minuman keras. Hal-hal itu cukup banyak membantu. Harga diri terselamatkan walau nurani terusik. Pengalamannya ditolak orang waktu mengemis minta lahan garapan membekas sangat dalam. Perihal hutang orangtuanya yang diungkit-ungkit orang, ibarat sikat sabut kelapa yang digosokkan ke muka berhadap-hadapan.

Sejak itu, ia bertekad untuk menjaga martabatnya lebih dari segalanya. Manusia akan tetap mampu meneruskan hidupnya walau hidupnya hancur atau hati nuaraninya terganggu. Tapi mustahil untuk bertahan hidup ketika harga dirinya jatuh berantakan. Itu adalah pukulan paling mematikan. Hal yang membuat seseorang nekat untuk mempertaruhkan seluruh kehidupan. Menghadang segala marabahya. Jarang orang bisa terbunuh atau membunuh gara-gara soal hati nurani. Hanya masalah harga diri yang mampu merubah seorang pengecut jadi pembunuh paling sadis.

Anak itu tiba-tiba berhenti. Ia memain-mainkan nasinya sambil menunduk. "Habiskanlah," si nenek berkata ramah, "kita masih banyak simpanan."

Dia terus diam. Matanya melirik malu-malu. "Kau sudah kenyang?" Pairah menepuk pelan punggungnya. Dia menggeleng. Ia dan si nenek saling pandang. Mungkin anak ini malu kalau terus diperhatikan. Ia kehilangan selera. Tiba-tiba Imas mengangkat kepala dengan tegas; "bolehkan aku bungkus nasi ini untuk adik?" Kedua orang dewasa itu gelagapan.

"Tentu saja, itu kan nasi kamu sendiri." Pairah menjawab cepat.

Anak itu pulang dengan sukacita sambil menyembunyikan dua bungkusan di balik baju bututnya. Pairah terus memandanginya sampai hilang di tikungan. Apa boleh buat. Mereka telah melakukan suatu hal yang mengandung kemungkinan akan datangnya bahaya. Sejauh ini mereka berhasil menghindarkan diri untuk tidak menarik perhatian orang. Peristiwa yang menimpa Juragan Kambing bisa terjadi pada siapa saja, jadi sasaran empuk para penjarah. Maka H. Jali, sebagai orang yang bijak, telah mengambil tindakan berjaga-jaga. Ia menyewa orang luar untuk mengamankan harta bendanya. Bisnis dan kemungkinan gejolak yang ditimbulkannya.

Dengan dugaan kuat akan datangnya bahaya, esok harinya Pairah mengajak Bana pergi jauh ke pinggiran kota. Mereka mendatangi sebuah rumah kontrakan. Pairah menjaminkan sebuah gelang emas sebagai tanda jadi, yang dengan suka cita langsung dipakai istri pemilik rumah kontrakan.

"Kita harus mulai menindahkan barang-barang. Sedikit-sedikit saja." Pairah memutuskan. "Keadaan makin tidak jelas. Kita tidak pernah tahu sampai kapan orang-orang bisa bertahan dengan akal warasnya. Kudengar sudah ada yang menjual anak."

"Dia itu janda korban sumur ambruk. Anaknya memang banyak, lima. Tapi dia masih sangat muda," Bana menjelaskan. "Yang aneh lagi, dia hampir tak terpengaruh keadaan, maksudku dia tidak kelaparan. Entah apa yang dia lakukan."

Hari itu mereka pulang membawa sepeda ontel. Pairah berencana merambah hutan. Mengumpulkan kayu bakar untuk dijual ke warung-warung makan yang tak mampu beli minyak tanah. Bagaimanapun mereka harus membuat penyamaran. Pairah teringat Acong dengan toko-toko kainnya yang konyol itu. Sebuah samaran untuk menutupi bisnis penyelundupannya yang berlipat-lipat ganda.

Perihal keberadaan pompa air itu tersebar dalam sekejap mata. Semula anak-anak yang datang, kawan-kawan Imas. Mereka hanya menumpang mandi. Esok harinya mereka sudah membawa jerigen dan ember. Lalu datang para perempuan secara sembunyi-sembunyi di tengah malam. Bana dan Pairah pura-pura tidak tahu. Orang-orang nyinyir itu membawa jerigen-jerigen besar. Mengisinya penuh-penuh, lalu menyelundupkannya ke semak-semak jerami, untuk memudahkan para lelaki mengambilnya esok malam. Esok harinya Pairah menyuruh Bana membakar seluruh semak sekitar rumah. Pairah ingin memberi sedikit pelajaran pada orang yang selama ini memandang mereka sebelah mata. Ia ingin orang-orang latah itu mengemis. Tak perlu menunggu lama, malam itu juga mereka mengetuk pintu dengan sopan. Pairah menyuruh si nenek untuk menemui mereka. Orang tua itu mengucapkan secara persis kata perkata yang diajarkan Pairah.

"Ibu tak bisa diganggu. Beliau capek setelah kerja seharian. Kalau kalian perlu air datanglah siang-siang. Jangan malam-malam begini seperti maling. Kasihanilah diri kalian sendiri hei anak-anak ular bludak!" Lalu sang nenek menutup pintu keras-keras.

Pairah betul-betul puas dengan akting nenek. Ia merasakan suatu kelegaan aneh karena berhasil menyarangkan sebuah pukulan telak ke tempat paling rawan dari kehormatan orang-orang latah tersebut, harga diri. Ia tidak sabar menunggu hari siang. Ia ingin tahu, apakah orang-orang itu akan memilih bertahan menanggung kepapaan atau membiarkan diri hancur lebur menanggung malu.

Pagi-pagi, Pairah dan si bisu menanak nasi banyak-banyak dengan aroma daun pandan. Nenek menggulai ikan kering Tenggiri dan telor itik dengan santan dan pucuk pandan. Lalu membubuhinya dengan irisan bawang goreng. Bau-bauan itu meluah hingga ke halaman

Jam sepuluh pagi anak-anak mulai bermunculan. Mandi dan mengisi jerigen kecil. Acara itu hanya memakan waktu satu jam. Mereka ganti baju lalu duduk-duduk bergerombol. Seperti menunggu sesuatu. Imas melirik-lirik ke arah pintu dengan gelisah. Pairah duduk saja bersandar sambil mengarahkan pandangan ke kejauhan, seakan tak melihat anak-anak itu.

Seorang bocah lelaki tiba-tiba berdiri, berlari ke arah rumpun pisang, lalu kembali dengan menenteng sebuah jerigen besar. Anak-anak lain segera mengikuti. Mereka memompa air bergantian. Pairah tersenyum. Ia akan memaksa ular-ular bludak itu menongolkan kepala. Pairah mendekat.

"Kalian takkan kuat mengangkat jerigen-jerigen ini.Panggillah ibu-ibu kalian yang sembunyi dalam parit itu."

Anak-anak itu tertawa. Mereka berteriak memanggil nama ibu masing-masing. Dengan lemah lesu, para penyamun kesiangan itu terpaksa keluar dari persembunyian. Menyeret jerigen-jerigen besar di belakangn mereka. Pairah menggandeng anak-anak itu ke rumah. "Nah, anak-anak, sementara menunggu ibu-ibu mencuci dan mengisi jerigen, mari kita makan-makan."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun