Mohon tunggu...
Abdurrahman
Abdurrahman Mohon Tunggu... Konsultan - Peneliti Madya di SegiPan (Serikat Garda Intelektual Pemuda Analisis Nasionalisme)

Tertarik dengan kajian kebijakan publik dan tata pemerintahan serta suka minum kopi sambil mengamati dengan mencoba membaca yang tidak terlihat dari kejadian-kejadian politik Indonesia. Sruput... Kopi ne...!?

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menakar Kembali Sumber Kekuatan KIB dalam Memposisikan Sikap Politiknya Pasca Ditinggalkan PPP

19 Juli 2023   12:38 Diperbarui: 19 Juli 2023   12:50 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PAN dalam pemilu 2024 tentu akan hilang eksistensinya jika tidak mampu meningkatkan akseptabilitasnya, beruntungnya masih ada ETo yang sangat membantu PAN dalam menaikkan akseptabilitas, semisal dalam perekrutan caleg yang berlatar aktivis maupun selebritis/artis. Dengan rong-rongan Partai Ummat secara kader dan infrastruktur, mampu meyakinkan tambahan petarung dari luar kader dengan infrastruktur baru serta wacana yang beragam dalam merekrut Caleg untuk bertarung di Pileg. 

Bagaimana jika ETo keluar dari PAN sebab tidak jadi cawapres? Terutama dampak pada semangat tempur Caleg yang sebab faktor daya akseptabilitas ETo gabung jadi caleg PAN? Mari kalkulasi ulang antara PAN dan Partai Ummat dimana jika irisan segmentasi pemilih kedua partai ini dibagi dua, setidaknya Partai Ummat dan PAN sama-sama tidak lolos parlemen, sebab segmentasi pemilih ini terwakili hanya sekitar 7,6% kursi di parlemen sedangkan suara nasional hanya 6,8%. 

Artinya sama-sama mendapatkan 3,4% suara nasional yang pasti tidak lolos Parliamentary Threshold, tidak masuk senayan. Atau salah satu keduanya mampu mempertahankan minimal diatas 4% dengan segmentasi pemilih yang sama, artinya salah satu lolos Senayan sedangkan yang lain tidak, sebab hanya mendapatkan 2,8%.

Tantangan itu tentu sudah terjawab dengan adanya ETo sebagai usungan Cawapres, wacana yang beragam, infrastruktur tambahan, serta petarung/caleg yang bervariatif diluar segmentasi basis PAN selama ini. Tentunya wacana Muhadjir Effendy hanyalah lelucon elit PAN atau setidaknya menjaga ritme basis tradisi tetap di PAN bukan di Partai Ummat.

Bagi Golkar menghadapi pemilu 2024 mungkin suatu lumayan stabil, sebab tidak ada partai baru dari pecahan elit partai. Menuju 2019 ada Berkarya, menuju 2014 ada Nasdem, menuju 2009 ada Gerindra, banyak lagi ketika pemilu 1999 dan 2004. Party ID dari Golkar sudah kebentuk, jika ada elit keluar membangun partai baru, tentu partai baru tersebut harus bertahan atau punah jika tidak mampu membangun party ID baru (kunci parameter akseptabilitas partai). 

Sedangkan party ID PAN dan Partai Ummat ini hanya ganti baju saja, apalagi Amien Rais dulunya adalah pendiri PAN yang sekarang jadi pentolan Partai Ummat. Langkah elit PAN mampukah menambah atau mengembangkan party ID tersebut, hal itu tentunya sudah dilakukan. Bagaimana jika tidak dapat mempertahankan KIB dan dapat mengusung ETo sebagai Cawapres. Sedangkan koalisi dengan partai lain, hanya pelengkap bumbu dari masakan yang sudah matang.

Akan tetapi apakah Golkar tidak akan terlempar dari tiga teratas jika KIB bubar lalu bergabung dengan koalisi lainya, serta tidak ada kader yang bertarung di Pilpres? 2019 adalah pengalaman pahit bagi partai Golkar ini, dimana partai ini pertama kali tidak ada kader yang bertarung sebagai Capres maupun Cawapres. 

Golkar pada 1999 masih nomor 2 maklum habis reformasi, lima tahun berikutnya bangkit jadi nomor 1 pada 2004 yang setidaknya konvensi mengembalikan daya tempur tokoh-tokoh elit partai untuk konsolidasi dengan mengusung Wiranto di Pilpres dengan Golkar dan juga JK walaupun beda pasangan dengan PKPI pecahan Golkar.

Nomor 2 di tahun 2009 dengan dengan JK dan Wiranto satu pasangan di Pilpres, uniknya disini kebalik dari 2004 yakni Wiranto dengan partai Hanura dan JK di Golkar, dan 2014 harusnya ARB di Pilpres tapi di last minute ada manuver, tapi suara bertambah walaupun secara persentase tetap, setidaknya pada 2014 Golkar dengan ARB masih pemegang pemain arus utama. Bahkan Golkar menjadi atensi pemberitaan dan serangan manuver-manuver habis-habisan.

Terjungkal ke nomor 3 pada 2019 dan baru pertama kali tidak ada wacana kader bertarung sebagai Capres maupun Cawapres atau sebagai inisiator pengusung pasangan Capres-Cawapres, juga bukan lagi pemegang arus utama atensi pemberitaan kandidat maupun percaturan nilai tawar. Isu internal dan habis selesai konsolidasi konflik dua kepengurusan menumpulkan daya petarung partai ini. 

AH memimpin Golkar sebagai jalan tengah kompensasi dualisme, dimana elit partai mulai malas bertarung di internal yang jadi ciri khas partai ini pasca reformasi, lalu periode kedua AH sepertinya semua mesin partai lemas, membikin mulus dan melenggangkan secara lancar AH tanpa rintangan apapun ke jabatan ke dua sebagai Ketua Umum. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun