Mohon tunggu...
Abdurrahman
Abdurrahman Mohon Tunggu... Konsultan - Peneliti Madya di SegiPan (Serikat Garda Intelektual Pemuda Analisis Nasionalisme)

Tertarik dengan kajian kebijakan publik dan tata pemerintahan serta suka minum kopi sambil mengamati dengan mencoba membaca yang tidak terlihat dari kejadian-kejadian politik Indonesia. Sruput... Kopi ne...!?

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

GBHN Mencegah Kekuasaan Pemerintahan Negara Jatuh pada Tangan Ekstrimis

24 September 2022   15:34 Diperbarui: 24 September 2022   16:01 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Koreksi dari itu, kita ingat istilah "jika kita melupakan sejarah kita akan mengulangi keburukan-keburukan dari sejarah". Maka pandangan kita kedepan bagaimana pencapaian pembangunan tidak mengulangi pencapaian buruk masa lalu, semacam istilah "ambil hikmahnya" yakni mempertahankan yang baik dan memperbaiki yang buruk.

Sejenak mari kita melihat arah pergerakan pemikiran yang menggerakkan sebuah negara dan hubungan antar negara-negara di dunia secara umum. Terutama pergerakan pemikiran konservatif liberal dan sosialis progresif sebagai pendominan politik negara tersebut dan pengaruh pada hubungan internasionalnya. Sebagai awas pada diri dalam memberikan batasan dan kebebasan dalam membentuk kebijakan-kebijakan pemerintahan kita dalam niatan mengembalikan GBHN pada ketatanegaraan kita.

Akan tetapi mari kita sederhanakan memahami pergerakan dua pemikiran tersebut. Selama masih ada istilah yang kaya dan yang miskin, orang kecil dan orang besar, si kuat dan kuasa serta si lemah tak berdaya, maka selama itu kita akan selalu gagap dan dalam ketakutan menghadapi konservatif liberal mendominasi maupun jika sosialis progresif yang mendominasi. Kedua kutub seperti dipertentangkan atau dipertarungkan, negara adikuasa terlepas karakter kepemimpinannya bisa maju semacam itu sebab bisa mengakurkan kedua kutub tersebut.

Kita istilahkan si kuat sebagai konservatif liberal dan si lemah sosialis progresif. Dengan semacam ini kita akan lebih mudah memahami pergerakan arah dunia dan percaturan politiknya. Lahirnya perang dunia pertama maupun kedua sebab pertarungan si kuat dan si lemah. Si kuat dengan pandangan kolonialisme, imperialisme, kapitalisme, ekspansi, agresi, dan pertarungan monopoli dominasi antar si kuat. Sedangkan si lemah kebalikannya dengan pandangan kemerdekaan, nasionalisme, liberalisme, patriotisme, simbiosis mutualisme, koperatif/kerjasama atau saling membantu untuk berkembang bersama.

Disini kita bisa memahami dominasi sebuah negara bagaimana sikap kebijakan pemerintahan tersebut, kebijakan dalam negerinya dan bagaimana berhubungan dengan negara lain, kebijakan luar negerinya (hubungan internasionalnya). Dari situ juga kita bisa paham, bagaimana pandangan kita terhadap negara lain dan negara sendiri. Dari segi apapun keduanya baik dan tidak bisa dilepaskan, bagai sisi mata uang logam, hanya pada posisi momen, even atau waktu tertentu saja salah satu sisi lebih dominan dari sisi lainnya. Hal inipun dari sudut sisi mana kita memandang, disini baru kita bicara kepemimpinan negara, partai, pemilu, kebijakan, dan jati diri kekuasaan atau karakter kepemimpinan, yang penting kita paham dulu bangsa ini mau kemana, nah ini pentingnya GBHN sebagai bangsa dan kepemimpinan sebagai anak-anak bangsa.

Sebuah negara, pemimpin negara tersebut, partai, golongan, masyarakat, hingga kelompok sosial terkecil sekalipun tidak ada yang murni menerapkan konservatif liberal maupun sosialis progresif. Sebab ada istilah diatas langit masih ada langit, sedangkan dasar lautan tidak selalu lembah jurang yang curam. Tinggal bagaimana menyikapi atau posisi sikap kita bernegara dalam kesatuan kebangsaan Indonesia ini, walaupun pada ujungnya akan kembali pada karakter kepemimpinan kita.

Sebab semacam apapun bentuk dan/atau sistem negara serta pemerintahan, akan kembali pada kepemimpinan yang lagi berkuasa pada saat itu. Ini buruknya jika tidak ada GBHN, jika bergantung pada pemikiran (visi-misi) pemimpin yang berkuasa saat itu, tinggal menunggu waktu saja negara ini dipegang oleh orang gamang yang lemah menghadapi kekuatan asing dari luar atau orang otoriter yang hanya jago kandang tapi mengemis nangis-nangis minta diberikan legitimasi. Seperti diatas jadi pemimpin ekstrim demokratis, ekstrim fasis, atau ekstrim komunis. Jangan salahkan masyarakat jika pemimpinnya di cap fasis otoriter, plin-plan, bahkan di cap komunis, serta cap buruk lainnya dalan asosiasi masyarakat pada orang lain.

Jika masyarakat berpandangan semacam itu pada pemimpinnya tentu negara lain juga akan bersikap sama. Apalagi pemimpin mengambil sikap melawan pandangan masyarakat, itu akan jadi konflik internal. Jika ada konflik internal, atas nama solidaritas dan kemanusiaan atau hal itu hanya dijadikan topeng maka negara lain akan bersikap ikut campur urusan internal tersebut. Ingat faktor perang dunia pertama dan kedua sebab atas nama solidaritas dan kemanusiaan, agresi militer pada negara lain seperti menjadi jalan terbaik untuk mengatasi konflik internal negara tersebut.

Setelah perang dunia kedua ada kesepahaman untuk tidak ikut campur urusan dalam negeri negara lain, tapi beberapa internal yang berkonflik meminta bantuan secara tidak langsung yang ini menyebabkan perang saudara dimana internal satu sisi dengan sisi lainnya dapat sokongan dan bantuan secara tidak langsung. Hal ini disebut perang dingin sebagaimana terjadi di negara asia selatan dan asia barat daya/timur tengah.

Sudah bukan rahasia bahwa perang dan konflik internal di negara-negara asia selatan dan asia barat daya/timur tengah adalah tindak lanjut dari perang dingin, yakni ketegangan politik dan militer blok barat dan blok timur. Jika perang dingin hanya sebatas ketegangan saja dari kedua kubu maka timur tengah dan asia selatan tempat perang terbukanya. Walaupun blok barat lebih dominan konservatif liberal sedangkan blok timur lebih dominan sosialis progresif tapi bukan ini sebab perang dan ketegangan sebenarnya, akan tetapi lebih tepatnya bagaimana kepemimpinan menyikapi persoalan internalnya serta perebutan pengaruh pemaksaan kehendak dari pada bagaimana formalitas legitimasi diperoleh. Sebab nilai-nilai kebangsaan dibawah kesukuan, sukur Indonesia ada Pancasila sebagai nilai-nilai kebangsaan dan semoga nanti GBHN menjadi kesatuan semua pemikiran dan harapan serta keinginan anak-anak bangsa.

Jika nanti bisa mengembalikan GBHN dalam ketatanegaraan kita, maka penentuan kepemimpinan tidak akan meruncing konflik pra maupun pasca suksesi (pemilu) seperti yang sudah-sudah. Sebab pemilih akan condong pada pemimpin yang sesuai atau bisa mewujudkan GBHN tersebut, bisa disimpulkan punya latar belakang dan wawasan yang sama tentang bagaimana membawa bangsa pada kemajuan, keadilan, dan kemakmuran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun