Mohon tunggu...
Abdul Wahid Ola
Abdul Wahid Ola Mohon Tunggu... Tenaga Ahli Anggota Komisi III DPR RI 2019-2024

Sedang Belajar Membaca

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Maulid Nabi Muhammad SAW di Mata Yahudi & Nasrani

26 September 2025   17:03 Diperbarui: 26 September 2025   17:21 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Maulid Nabi Muhammad SAW (Sumber: Dok Pribadi, Abdul Wahid Ola)

Fakta ini menjadi menarik ketika pada tahun 1881, mumi Ramses II ditemukan di Mesir dan kini tersimpan di Museum Kairo. Maurice Bucaille (1976) meneliti mumi tersebut dan menemukan adanya tanda-tanda kematian akibat tenggelam, selaras dengan deskripsi Al-Qur'an. Baginya, ini adalah "suatu fakta medis dan historis yang mustahil diketahui oleh seorang manusia di abad ke-7 tanpa wahyu ilahi".

Kelahiran Nabi Muhammad juga menjadi bukti historis akan daya tahan spiritual dan sosial dari ajaran yang dibawanya. Meski telah berlalu 1.455 tahun, Islam tetap menjadi agama dengan pertumbuhan paling pesat di dunia. Karen Armstrong, seorang penulis Inggris, dalam Muhammad: A Prophet for Our Time (2006), menekankan bahwa kekuatan Nabi Muhammad tidak semata pada karisma personal, melainkan pada visi moral dan sosial yang ditawarkan: keadilan, belas kasih, dan kesetaraan. Montgomery Watt dalam Muhammad at Mecca (1953) bahkan menyebut bahwa Nabi Muhammad adalah reformator besar yang sukses mengubah struktur masyarakat tribal Arab menjadi peradaban baru yang berakar pada etika monoteisme.

Menariknya, figur Nabi Muhammad SAW tidak hanya menjadi pusat perhatian dalam tradisi Islam maupun riwayat Ahlul Kitab, tetapi juga menjadi objek kajian serius para sarjana Barat dan orientalis. Dari abad pertengahan hingga era modern, nama Muhammad selalu muncul dalam diskursus akademik, politik, bahkan peradaban.

Beberapa orientalis klasik seperti William Muir, seorang misionaris Kristen dalam karyanya Life of Mahomet (1861) menyoroti Nabi Muhammad dari sudut pandang historis, meski tidak lepas dari bias kolonial. Muir melihat Muhammad sebagai tokoh yang berhasil menyatukan bangsa Arab di tengah gurun konflik, sekaligus sebagai pemimpin dengan visi politik yang kuat. Pandangan ini menuai kritik karena terlalu menekankan aspek duniawi, namun tetap menunjukkan pengakuan terhadap kemampuan Nabi sebagai pemimpin besar.

Sementara itu, Montgomery Watt, orientalis Skotlandia, memberikan penilaian lebih seimbang. Dalam bukunya Muhammad at Mecca (1953) dan Muhammad at Medina (1956), Watt menggambarkan Nabi Muhammad bukan hanya seorang tokoh spiritual, tetapi juga negarawan yang menghadapi tantangan sosial, politik, dan ekonomi yang kompleks. Watt menekankan bahwa keberhasilan Islam tidak bisa dilepaskan dari integritas pribadi Muhammad yang menggabungkan keteguhan moral dengan kecerdasan strategis.

Ada pula Karen Armstrong, penulis dan sejarawan agama kontemporer, yang dalam bukunya Muhammad: A Prophet for Our Time (2006) menolak gambaran negatif tentang Nabi. Armstrong menegaskan bahwa Muhammad adalah pribadi penuh kasih sayang, yang dakwahnya berakar pada keadilan sosial, empati kepada kaum miskin, dan penghormatan terhadap perempuan. Menurutnya, dunia modern justru dapat belajar banyak dari visi etika Muhammad untuk membangun perdamaian lintas budaya.

Dengan begitu, dari sudut pandang manapun, baik dari riwayat Islam klasik, Ahlul Kitab seperti Ka'ab al-Ahbar, maupun para sarjana Barat, Nabi Muhammad SAW selalu tampil sebagai figur besar yang melampaui batas ruang dan waktu.

Selain itu, pengaruh Nabi Muhammad SAW ini juga mendapat pengakuan dari sejumlah tokoh besar dunia di luar lingkaran orientalis akademik. Pandangan mereka kerap lebih simpatik dan menekankan sisi universal dari risalah kenabian.

Mahatma Gandhi misalnya, tokoh perjuangan kemerdekaan India, dalam salah satu refleksinya menyebut dirinya terkesan dengan kesederhanaan dan keteguhan Nabi Muhammad. Menurut Gandhi, beliau adalah sosok yang mampu menginspirasi jutaan orang bukan dengan kekuatan pedang, melainkan dengan ketulusan dan keyakinan yang tak tergoyahkan.

Sementara itu, sejarawan Perancis Alphonse de Lamartine dalam Histoire de la Turquie (1854) menggambarkan Nabi Muhammad sebagai "filsuf, orator, legislator, penakluk ide, pembaharu keyakinan, dan pendiri peradaban." Lamartine bahkan menyimpulkan bahwa jika ukuran kebesaran seorang manusia dilihat dari tujuan mulia, keterbatasan sarana, dan hasil yang dicapai, maka "tidak ada manusia yang lebih agung daripada Muhammad."

Di abad ke-20, Michael H. Hart melalui bukunya The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History (1978) menempatkan Nabi Muhammad SAW di urutan pertama. Hart menilai bahwa hanya Muhammad yang mampu memadukan kesuksesan spiritual dan temporal dalam skala besar, menjadikannya figur paling berpengaruh dalam sejarah umat manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun