Mohon tunggu...
Abdul Wahid Ola
Abdul Wahid Ola Mohon Tunggu... Tenaga Ahli Anggota Komisi III DPR RI 2019-2024

Sedang Belajar Membaca

Selanjutnya

Tutup

Politik

Wakil Rakyat Dalam Koalisi Gemuk

25 Mei 2025   14:44 Diperbarui: 25 Mei 2025   14:50 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada akhir tahun 2024, anggota DPR RI fraksi partai Nasdem, Muslim Ayub, mengusulkan agar pemilu digelar setiap 10 tahun sekali. Alasannya, dengan sistem pemilu 5 tahunan, ia kesulitan mengembalikan modal yang dikeluarkan saat maju sebagai calon anggota legislatif. Dirinya bahkan harus mengeluarkan biaya diatas Rp 20 miliar dalam pemilu 2024 lalu.

Selain itu, ada anggota DPR RI yang masa jabatannya hampir sama dengan Soeharto saat menjadi presiden. Ia adalah Muhidin Mohamad Said, anggota DPR dari fraksi partai Golkar dapil Sulawesi Tengah. Ia sudah berkantor di senayan sejak 1992 dengan menjadi anggota MPR dari jalur independen selama tiga periode (1992-2004), kemudian menjadi anggota DPR selama lima periode, yakni sejak tahun 2004 hingga 2029. Total sudah 35 tahun ia berada di senayan.  

Dua fakta diatas sangat mencamaskan kita akan harapan dan tugas yang diemban para wakil rakyat selama di parlemen. Benarkah biaya politik yang begitu mahal menjadi penyebab rendahnya kinerja wakil rakyat kita selama ini karna sibuk mengembalikan modal?

Sebab, data terbaru menunjukkan dari total 580 anggota DPR RI periode 2024-2029 yang dilantik, sebanyak 47,2 persen (273 orang) merupakan wajah baru, dan sisanya 52,8 persen (307 orang) merupakan petahana. Ini mengindikasikan dua hal penting: bahwa biaya politik yang mahal mengakibatkan banyak anggota DPR RI sulit terpilih kembali, dan rendahnya kinerja legislasi menjadi penyebab anggota DPR RI tidak dipercaya publik.  

Penyebab Rendahnya Kinerja DPR

Saya berpandangan, ada dua penyebab utama rendahnya kinerja anggota DPR: yakni mahalnya biaya politik (political cost) dan dominasi parpol pendukung pemerintah di parlemen.

Mahalnya biaya politik ini ditandai dengan komposisi angota DPR yang berprofesi sebagai pengusaha atau jajaran elit manajemen perusahaan sebelum terpilih. Dari 337 anggota MPR yang bukan petahana, sebanyak 80 orang (23,7 persen) diantaranya tercatat sebelumnya berprofesi sebagai pemilik atau pimpinan sebuah perusahaan. Ini berarti, figur yang tidak memiliki modal yang cukup besar akan sangat sulit terpilih sebagai anggota dewan saat pemilu.

Jika yang terpilih sebagai anggota dewan bukan dari kelompok pengusaha, potensi mengembalikan modal saat pemilu akan sangat mengganggu kinerja legislasi dan pengawasan yang melekat padanya.

Penyebab kedua rendahnya kinerja wakil rakyat di parlemen adalah dominasi partai politik pendukung pemerintah. Ini mengakibatkan lemahnya fungsi pengawasan DPR terhadap setiap kebijakan pemerintah. DPR hanya sebagai stempel pemerintah. Dominasi koalisi gemuk dalam pemerintahan seperti ini adalah fenomena dimana partai-partai politik yang berkuasa membentuk koalisi besar—bahkan tanpa oposisi.

Dengan sistem multipartai di negara kita, tipologi demokrasi konsensus (consensus democracy) yang disebut oleh Arend Lijphart dalam bukunya “Patterns of Democracy” nampaknya relevan di Indonesia. Setidaknya ciri dan elemen demokrasi konsensus itu meliputi sistem pemilu yang proporsional, desentralisasi kekuasaan, dan pembentukan koalisi multipartai.

Bagi Arend Lijphart, demokrasi konsensus seringkali dicirikan oleh koalisi pemerintahan yang melibatkan berbagai partai. Namun, koalisi ini cenderung lebih bersifat pragmatis. Demokrasi konsensus lebih menekankan konsensus ketimbang jadi oposisi, lebih merangkul daripada memusuhi, yang memaksimalkan ukuran koalisi (rulling majority) ketimbang sekadar demokrasi “limah puluh persen plus satu”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun