Dunia yang Bergerak Lebih Cepat dari Pikiran
Di dunia digital, yang paling cepat bukanlah jaringan internet, melainkan emosi manusia.
Sebelum berita dikonfirmasi, amarah sudah beredar.
Sebelum klarifikasi dimuat, opini sudah viral.
Kita hidup di zaman ketika reaksi jadi mata uang baru,
dan sayangnya, akal sehat tak ikut diperbarui versinya.
Setiap hari, ribuan potongan video, headline, dan kutipan berseliweran di layar kita tanpa konteks, tanpa sumber, tanpa jeda untuk berpikir.
Akibatnya, yang tersisa hanyalah gelombang instan:
hak marah yang lebih cepat dari hak jawab.
Hak Jawab: Terlalu Lambat untuk Dunia yang Terburu-buru
Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999 sudah memberi ruang bagi setiap orang untuk membela diri.
Ada hak jawab, ada hak koreksi.
Semuanya diatur dengan indah dalam bahasa hukum --- formal, beretika, dan penuh wibawa.
Namun dunia digital bukan dunia pasal,
melainkan dunia timeline.
Di sana, publik tak lagi menulis surat keberatan,
mereka langsung menulis komentar.
Ketika berita dirasa salah, bukannya menempuh hak jawab,
yang muncul justru hak marah berjamaah.
Dan yang lebih ironis, amarah itu sering lebih dipercaya ketimbang pernyataan resmi.
"Kita bukan bangsa yang tak punya hukum,
kita hanya terlalu sibuk menegakkan perasaan."
Hak Marah: Ketika Perasaan Jadi Konstitusi
Zaman ini memperlakukan amarah sebagai bukti cinta.
Kita marah demi agama, marah demi kiai,
marah demi keadilan --- bahkan kadang marah demi likes dan views.