Bayangkan begini.Warga Jakarta pengin banget makan Mi Kocok Bandung --- panas, kental, gurih.Sebaliknya, warga Bandung ngidam Soto Betawi yang santannya tebal dan empingnya renyah.
Tapi setiap kali Mi Kocok dikirim ke Jakarta, kuahnya keburu dingin.
Soto Betawi yang dibawa ke Bandung pun basi di tengah jalan tol.
Lalu muncul ide besar:
"Kita buat kereta cepat! Biar Mi Kocok masih panas waktu sampai Jakarta, dan Soto Betawi tetap segar saat tiba di Bandung."
Dari Dapur ke Rel
Begitulah awalnya proyek Kereta Cepat Jakarta--Bandung (KCJB) berdiri.
Empat BUMN --- KAI, Wijaya Karya, Jasa Marga, dan PTPN VIII --- sepakat patungan dalam dapur baru bernama KCIC.
Negara bilang:
"Silakan, asal jangan pakai uang dapur negara. Ini bisnis murni --- B to B."
Artinya, kalau nanti Mi Kocoknya laris dan Soto Betawinya viral, keuntungannya dibagi.
Tapi kalau sepi pembeli, ya tanggung bareng, jangan tiba-tiba minta APBN ikut bayar cicilan.
Kuahnya Meluber, Uangnya Seret
Masalahnya, setelah restoran megah itu buka, modalnya keburu bengkak.
Harga bahan naik, alat masak impor mahal, dan pembeli belum seramai harapan.
Sementara tagihan dari China Development Bank sudah datang lebih cepat dari jadwal keberangkatan Whoosh.
Akhirnya, para koki BUMN mulai melirik meja makan negara.
"Pak, bolehkah APBN bantu sedikit? Demi nama baik nasional..."