Segelas kopi dengan adukan kuat, ditemani srabi hangat dan ketan putih bertabur kelapa parut serta sambal kacang pedas manis, adalah definisi kenikmatan sejati di pagi hari. Itulah rasa kopi yang jujur: sederhana, merakyat, tapi mampu membuat hati tentram sebelum kaki melangkah ke pekerjaan.
Bukan gelas kristal atau cangkir caf mahal, tapi cangkir kampung dengan gagang gumpul yang sudah patah, lalu diganti besi ringan seadanya. Di situlah filsafat kopi hidup: sederhana, tidak mulus, tapi tetap berfungsi. Seperti hidup, yang seringkali tidak sempurna, namun tetap harus dijalani.
Kini, di era Instagram dan reels, kenikmatan kopi kerap dipoles filter kamera. Secangkir sederhana bisa tampak megah di layar, membuat orang lain ingin ikut menyeruputnya. Bedanya, kopi warung desa memang nikmat untuk diminum, bukan sekadar cantik untuk difoto.
Bandingkan dengan espresso yang ditekan paksa dari mesin pemanas: kelihatan gagah, tapi sering meninggalkan perut merintih dan asam lambung melonjak. Atau cappuccino dengan topping busa tebal yang sekilas menggoda, padahal setelah diminum justru membuat enek.
Kopi Kampung, Seduhan Galau Anak Muda
Di caf kota, pengunjung duduk dengan wajah penuh topeng. Ada yang sibuk mengetik, padahal lebih sibuk mencari colokan. Ada yang bergaya pebisnis, padahal dompetnya tipis. Caf adalah panggung kamuflase.
Sementara di kampung, setiap seruput kopi kampung punya makna:
Seruputan pertama, pahit lamaran kerja gagal maning, gagal maning.
-
Seruputan kedua, panas napas tersengal menghadapi calon mertua yang terus menuntut kapan nikah.
- Baca juga: MBG Digital, Dari Minder Ke Martabat
Seruputan ketiga, manis getir idealisme kuliah yang kandas karena biaya tak ada.
Seruputan berikutnya, hampa dikejar pinjol, kalah judol, atau distigma pengangguran di rumah.