Tambahan kuota haji 2024 yang seharusnya menjadi berkah justru berujung polemik. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti distribusi tambahan 20 ribu kuota dari Arab Saudi, sementara pemberitaan media menyebut potensi kerugian negara hingga Rp1 triliun. Pertanyaannya, apakah benar ada kerugian negara, ataukah persoalan ini lebih tepat dipahami sebagai isu bisnis travel dan potensi gratifikasi?
Haji Reguler: Subsidi dan Antrean Panjang
Haji reguler adalah jalur mayoritas dengan porsi 92 persen dari total kuota, sebagaimana diatur dalam UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Jalur ini paling erat kaitannya dengan APBN karena sebagian biayanya ditanggung negara melalui Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
Pada 2024, Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) ditetapkan sebesar Rp93.410.286 per jamaah. Dari jumlah itu, jamaah hanya membayar Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) rata-rata Rp56.046.172 atau 60 persen. Sisanya, sekitar Rp37.364.114 atau 40 persen, ditutup dari nilai manfaat keuangan haji yang dikelola BPKH.
Staf Khusus Menteri Agama Bidang Media dan Komunikasi Publik, Wibowo Prasetyo, menegaskan (Kemenag, 15/11/2023) bahwa Pasal 44 UU No. 8/2019 menyebutkan: "BPIH bersumber dari biaya perjalanan ibadah haji yang harus dibayar jemaah (Bipih), Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), nilai manfaat, dana efisiensi, dan/atau sumber lain yang sah berdasarkan ketentuan perundang-undangan."
Artinya, jalur reguler jelas menggunakan dana negara. Karena itu, jika ada penyalahgunaan, kerugian negara nyata terjadi.
Haji Plus Resmi: Premium, Nomor Porsi, dan Dana di BPKH
Selain reguler, ada jalur haji khusus (ONH Plus) dengan porsi 8 persen. Mekanismenya resmi, terdaftar, dan diawasi Kemenag.
Jamaah Haji Plus mendaftar melalui PIHK (travel resmi) dan menyetor USD 4.000 untuk mendapatkan nomor porsi.
Setoran awal ini tidak masuk ke travel, tetapi ke Bank Penerima Setoran (BPS) dan dikelola oleh BPKH/Kemenag.
Masa tunggunya rata-rata 5--7 tahun, jauh lebih singkat daripada reguler.