Kalau ada generasi yang paling banyak dibicarakan hari ini, jawabannya adalah Generasi Z. Mereka lahir antara akhir 1990-an hingga awal 2010-an, dan sekarang rata-rata berusia sekitar 20 tahun. Masa pasca-SMA hingga awal kuliah --- sebuah fase hidup di mana seseorang sudah tidak lagi dipanggil "anak-anak", tapi juga belum sepenuhnya dewasa.
Di fase inilah muncul suara murni: keberanian brutal, semangat idealisme, sekaligus kecemasan yang mendalam tentang masa depan.
Nekat: Suara yang Belum Terkotori Kompromi
Gen Z di Indonesia sering kita lihat bergerak dengan keberanian yang kadang disebut "brutal". Kalau merasa ada yang tidak adil, mereka langsung bereaksi: turun ke jalan, bikin kampanye digital, atau menyuarakan keresahan lewat konten media sosial.
Keberanian ini wajar, bahkan alami. Usia awal 20-an adalah masa ketika idealisme masih murni, belum banyak dihitung dengan untung-rugi kehidupan. Tidak ada cicilan rumah, tidak ada jabatan yang harus dijaga, tidak ada bisnis yang menunggu stabil. Yang ada hanya satu: keinginan untuk bicara jujur.
Kalau dibandingkan dengan negara tetangga, suasananya berbeda.
Singapura: Anak muda tumbuh dalam sistem yang sangat teratur. Nekat bukan pilihan utama, karena konsekuensi hukum berat. Maka, aktivisme lebih banyak tersalurkan di ruang digital, forum akademis, atau diskusi kampus.
Malaysia: Mahasiswa kadang "pecah" dengan aksi massa, tapi tetap lebih hati-hati. Tradisi hukum dan politik di sana menekan terlalu banyak gaduh di jalanan.
Indonesia, dengan segala keruwetan dan kebebasan demokrasinya, membuat keberanian Gen Z lebih terlihat, lebih gaduh, tapi juga lebih rawan ditunggangi.
Worry: Cemas yang Menular
Namun, keberanian itu sering berjalan beriringan dengan worry. Kekhawatiran yang membuat dada sesak, kepala pusing, dan hati gelisah.