Di tengah hiruk pikuk media sosial dan derasnya arus informasi, kritik kerap dianggap ancaman. Kasus Ferry Irwandi menjadi contoh nyata: seorang konten kreator dengan jutaan pengikut, bicara soal tunjangan DPR dan reformasi, langsung jadi sorotan aparat. TNI merasa dilecehkan, langkah konsultasi hukum pun ditempuh. Publik ramai, media heboh. Namun pertanyaannya sederhana: sejak kapan kritik berubah jadi kejahatan?
Padahal, kritik adalah bagian tak terpisahkan dari demokrasi. Ibarat cek kesehatan rutin, kritik mungkin pahit tapi menyelamatkan. Negara yang alergi kritik justru berisiko jatuh sakit karena tidak pernah tahu apa yang salah di dalam tubuhnya.
Kritik Itu Hak Konstitusional
UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) memberi hak kepada setiap warga negara untuk menyatakan pendapat. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 105/PUU-XXII/2024 bahkan mempertegas bahwa pencemaran nama baik tidak bisa dilaporkan oleh institusi, hanya individu. Logikanya sederhana: lembaga negara bukan manusia, dan kritik terhadap kebijakan publik adalah bagian dari mekanisme demokrasi, bukan pelanggaran hukum.
Maidina, peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), menilai langkah aparat yang terlalu reaktif justru mencederai demokrasi. "Tugas TNI adalah menjaga pertahanan negara, bukan mengawasi warga sipil apalagi memidanakan kritik. Jika ini dibiarkan, akan lahir iklim ketakutan," tegasnya.
Tantangan Aparat: Dewasa Hadapi Kritik
Budaya birokrasi dan militer yang sarat hierarki membuat kritik mudah dipersepsikan sebagai serangan. Namun demokrasi modern menuntut kedewasaan institusi. Di banyak negara, kritik tajam justru dijawab dengan data dan kebijakan, bukan laporan polisi.
Isnur, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), mengingatkan risiko efek jera: "Ketika kritik direspons dengan ancaman pidana, masyarakat akan takut bersuara. Demokrasi mati bukan karena perang, tapi karena rakyatnya diam."
Tugas Rakyat: Kritik dengan Cerdas
Namun warga juga punya PR besar. Di era media sosial, kritik sering bercampur hoaks dan framing. Banyak orang lebih suka judul sensasional ketimbang fakta lengkap. Kritik tanpa data bisa merusak, bahkan memicu kebencian.
Masyarakat perlu membiasakan diri melakukan literasi digital: