Kalimat Presiden Prabowo Subianto pada peringatan May Day 2025 bak gemuruh yang mengguncang panggung politik ketenagakerjaan: "Kita harus menghapus outsourcing." Serikat buruh bersorak, publik terhenyak, media pun ramai membahas. Namun, beberapa minggu sebelumnya, bangsa ini diguncang kabar pahit: Immanuel Ebenezer (Noel), Wakil Menteri Ketenagakerjaan, tersandung kasus dugaan pemerasan sertifikat Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
Satu bicara masa depan penuh harapan, satunya lagi mengingatkan kita bahwa regulasi ketenagakerjaan sering kali bukan alat perlindungan buruh, melainkan komoditas kekuasaan.
Seragam Perusahaan, Status Vendor
Mari kita jujur. Coba tanya teknisi Indihome yang memperbaiki internet rumah kita, petugas pencatat meter PLN, teller bank, bahkan marketing deposito. Sebagian besar bukan pegawai tetap, meskipun seragam dan ID card mereka membawa nama besar perusahaan atau BUMN.
Status mereka outsourcing, dengan gaji minim, kontrak tahunan, dan tanpa kepastian karier. Lebih ironis lagi, BUMN---perusahaan negara---justru menjadi pemain terbesar dalam praktik ini. Bahkan anak dan cucu perusahaan ikut bermain, menciptakan "konglomerasi outsourcing": negara mempekerjakan rakyatnya sendiri melalui jalur berlapis-lapis yang memotong hak pekerja.
Noel dan Sertifikasi K3: Regulasi Jadi Mesin Uang
Kasus Noel membuka mata publik:
Tarif Resmi vs Praktik: Sertifikat K3 resmi hanya Rp 275 ribu, tapi dipatok hingga Rp 6 juta di lapangan.
Aliran Dana: KPK mencatat pungutan mencapai Rp 81 miliar. Noel sendiri menerima Rp 3 miliar dalam dua bulan plus motor Ducati.
Pengakuan: Noel mengakui kesalahan dan menolak melawan hukum.
K3, yang seharusnya menjadi tameng keselamatan buruh, justru menjadi ladang pemerasan. Jika keselamatan kerja saja diperdagangkan, bagaimana mungkin buruh percaya pada janji perlindungan negara?