Indonesia baru saja melewati hari-hari penuh gejolak. Aksi demonstrasi memuncak di Jakarta dan berbagai kota besar, dipicu kemarahan publik terhadap tunjangan DPR yang fantastis. Kematian seorang pengemudi ojek online dalam kericuhan menambah bara emosi rakyat. Di media sosial, isu ini berpacu dengan gosip reshuffle kabinet, bisik-bisik politik, hingga perang narasi antar geng kekuasaan---dari "geng Solo" hingga "geng Cikeas". Negara terasa seperti panggung drama, di mana isu viral lebih cepat menyebar dibanding kabar pembangunan.
Namun, di tengah hiruk-pikuk itu, ada satu suara yang pelan-pelan hilang: optimisme nasional.
Demokrasi Itu Gaduh, Tapi Jangan Hilang Arah
Keributan bukan hal baru dalam demokrasi. Justru perbedaan pendapat adalah tanda sehatnya kebebasan. Namun energi bangsa ini terlalu sering habis untuk drama politik, bukan gagasan besar. Kita hafal siapa yang melotot di rapat paripurna, siapa yang marah di sidang kabinet, tapi jarang mendengar cerita riset anak bangsa yang menembus dunia, desa yang kini terkoneksi internet, atau bendungan yang mengubah nasib petani.
Narasi liar antar geng politik, jika terus mendominasi, hanya akan menenggelamkan suara pembangunan. Gaduh boleh, tapi harus gaduh dengan ide, bukan sekadar gosip kekuasaan
Optimisme Sebagai Bahan Bakar Sejarah
Sejarah membuktikan bangsa ini bisa bangkit dari keadaan jauh lebih parah: penjajahan, krisis '98, hingga pandemi global. Kebangkitan itu tidak datang dari elite semata, melainkan dari rakyat yang percaya bahwa Indonesia bisa lebih baik. Optimisme kolektif adalah bahan bakar sejarah bangsa ini.
Optimisme bukan berarti menutup mata dari masalah. Justru ia lahir dari keberanian mengakui masalah sambil mencari jalan keluar. Kita butuh cerita keberhasilan untuk melawan cerita kegagalan: kisah petani yang bisa ekspor produk, desa wisata yang mendunia, mahasiswa yang menang olimpiade internasional, dan UMKM yang bangkit dari pandemi.
Belajar dari Alvin Toffler: Visi Mengalahkan Ketakutan
Di tengah ketakutan Perang Dingin, dunia seolah menunggu kiamat nuklir. Namun Alvin Toffler menulis Future Shock (1970) dan The Third Wave (1980), memprediksi bahwa manusia sedang memasuki era informasi. Alih-alih ikut panik, ia memilih menulis optimisme berbasis visi: teknologi, inovasi, dan ekonomi pengetahuan akan membentuk peradaban baru.
Toffler benar. Internet, komputer pribadi, dan ekonomi digital yang ia bayangkan kini menjadi kenyataan. Ia membuktikan, narasi masa depan lebih kuat daripada ketakutan saat ini.