Lucunya, rumah kami tidak pernah benar-benar kosong. Aktivitas selalu ada. Grup WhatsApp keluarga ramai. Agenda harian padat. Tapi entah kenapa, saya merasa hampa di tengah semua itu.
Ada yang hilang. Bukan suara. Bukan aktivitas. Tapi kebersamaan.
Meja makan yang dulu jadi ruang temu, kini hanya jadi titik lewat. Kadang hanya untuk naruh tas, atau menaruh paket belanjaan. Tak ada lagi yang duduk lama-lama sambil cerita panjang lebar tentang hari ini. Semua berlangsung cepat. Serba efisien. Dan... terasa datar.
Saya sadar, ini bukan salah siapa-siapa. Anak-anak tumbuh. Istri pun berkembang. Dunia sosial mereka meluas. Dan saya harus belajar menyesuaikan ritme---walau kadang merasa tertinggal.
Meja Makan, Kini Lebih Banyak Menyimpan Kenangan
Kadang, saya duduk sendiri di meja makan. Menatap piring kosong di seberang. Bayangan masa lalu hadir, lengkap dengan suara, aroma, dan tawa. Tapi kini tinggal kenangan.
Saya tak marah. Tak kecewa. Hanya rindu.
Meja makan ini, yang dulu jadi panggung utama rumah, sekarang lebih banyak jadi saksi bisu. Tapi tetap saya rawat. Karena di sanalah jejak keluarga kami tertulis.
Dan kalau beruntung, saat liburan atau Lebaran nanti, meja ini akan kembali hidup---walau hanya sebentar.
Masih Perlukah Kita Memperjuangkan Makan Bareng?
Tentu. Tapi bukan untuk memaksakan kebiasaan masa lalu. Melainkan untuk menciptakan versi baru dari kebersamaan, sesuai zaman dan usia.