Ibu Kota Nusantara (IKN) dibangun sebagai simbol masa depan Indonesia. Kota pintar, hijau, dan terhubung internet; tempat berkumpulnya para pemikir, birokrat, dan investor. Namun di balik semangat futuristik itu, hadir ironi yang memukul realitas: prostitusi digital menjamur, bahkan sebelum sistem sosial kota selesai dirancang.
Fenomena ini bukan sekadar soal moralitas. Ia adalah indikator gagalnya tata kelola sosial dalam transisi megaproyek negara. PSK yang ditertibkan oleh Satpol PP hanyalah wajah permukaan dari sistem bawah tanah yang kini makin canggih, terorganisir, dan sulit dilacak---karena mereka hadir lewat layar, bukan lagi di pinggir jalan.
Dari MiChat hingga Transaksi Senyap
Pola lama prostitusi berubah. Kini, pekerja seks tak perlu lagi berdiri di sudut jalan. Mereka cukup aktif di MiChat, Telegram, atau layanan pesan privat lainnya. Dengan kode dan singkatan tertentu, mereka menawarkan jasa secara terselubung, bahkan menetapkan tarif, lokasi, dan sistem pemesanan layaknya aplikasi logistik.
IKN belum selesai dibangun, tapi transaksi seks digital sudah berlangsung. Ironis, karena di tengah kecanggihan digital kota baru, negara justru gagap menghadapi bentuk baru eksploitasi tubuh manusia.
Seksualitas dan Pembangunan: Hal yang Tak Pernah Dibicarakan
Dalam narasi resmi, pembangunan selalu bicara soal infrastruktur, ekonomi, dan tata ruang. Tapi jarang sekali pemerintah membahas bagaimana pembangunan akan berdampak pada relasi kuasa, hasrat, dan kerentanan sosial. Padahal, kota mana pun di dunia, saat kapital dan kekuasaan bertemu, industri seks akan mengikuti.
Yang lebih mengejutkan: prostitusi digital bukan hanya soal PSK lokal. Ada sinyal kuat bahwa IKN telah dilirik oleh jaringan bisnis esek-esek skala nasional dan internasional---karena mereka tahu: di sana ada aliran uang, pejabat, dan proyek besar. Sebuah pasar potensial yang belum punya pengawasan.
Masa Depan yang Lupa Mengatur Manusia
Kita sering mengira bahwa kota canggih akan otomatis menghadirkan masyarakat yang lebih tertib, aman, dan beradab. Padahal, seperti yang ditegaskan David Christian dalam pendekatan Big History-nya, masa depan bukan hanya dibentuk oleh teknologi, tapi juga oleh keteraturan sosial dan moral kolektif.
IKN seharusnya tidak hanya memindahkan meja kerja presiden, tapi juga mendesain ulang cara negara hadir dalam kehidupan sosial rakyatnya. Sayangnya, regulasi sosial tak pernah disiapkan secepat pembangunan fisik. Maka jangan heran jika kota itu menjadi tempat ideal bagi industri bawah tanah---karena teknologi sudah ada, tapi etikanya tertinggal.
Prostitusi Bukan Soal Moralitas, Tapi Soal Sistem
Melihat prostitusi digital sebagai sekadar penyakit moral adalah cara berpikir lama yang terus gagal. Yang perlu dibahas adalah:
Mengapa mereka hadir?
Apa yang membuat kota baru begitu cepat menyediakan pasar bagi transaksi seks?
Dan mengapa negara hanya bisa melakukan razia tanpa membangun sistem perlindungan?
Kota modern harus berani membicarakan seksualitas, eksploitasi, dan kebutuhan manusia secara terbuka. Bukan untuk melegalkan, tapi untuk mengatur dengan adil dan manusiawi.
Kembali ke Wifi, Nyali, dan Nurani
Dalam buku saya " IKN Hanya Butuh Wifi dan Nyali, Gelombang Ketiga Nusantara: Kajian Hukum dan Narasi Masa Depan Berbasis Data dan Peradaban".
saya menulis bahwa keberanian terbesar dalam pembangunan bukanlah memindahkan istana, tapi memanusiakan sistem. Wifi memang penting. Nyali juga diperlukan. Tapi tanpa nurani dan regulasi sosial yang cerdas, kota masa depan hanya akan jadi etalase palsu yang menyembunyikan perdagangan tubuh di balik sinyal 5G.
Masa depan telah datang. Tapi jika tidak kita atur dengan bijak, ia akan membawa serta sisi gelap yang tak siap kita hadapi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI